Mencintaimu tanpa aba-aba. Itu bukanlah
keharusan. Namun nampaknya aku takluk. Perlahan-lahan aku mulai merindukanmu. Aku
merindukan gaya bicaramu. Aku mengenang senyummu setiap malam sebelum tidur. Berharap
esok kan bertemu.
Rentetan kata ini berujung pada
kenangan. Masa lalu kita terlalu indah kusinggahi kembali, pikirku. Setidaknya dengan
tulisan ini aku akan mengabadikan kita yang sempat bahagia bersama. Meski
berujung pisah, kurasa kita tak harus berpasrah. Mari memaknai kehilangan
dengan yang baik-baik. Aku yakin semua itu butuh perjuangan dan kerja keras. Sudah
saatnya kita belajar melangkah tanpa alasan yang sama.
Bagaimana kau dan aku akan hidup?
Seperti apa aku dan kau di masa depan? Apa yang kau lakukan sekarang? Pertanyaan-pertanyaan
kecil menghinggapi kepala. Wajar saja, kita baru saja berpisah. Kebiasaan bersama
di hari-hari lalu tak mudah hilang begitu saja. Kita butuh waktu. Bukan sekadar
seperti dulu, mencintai, kita juga butuh waktu untuk saling melepaskan,
merelakan, dan melupakan.
Ketika aku menuliskan ini, aku
merasa takut. Apa yang akan terjadi nanti jika aku membaca tulisan ini? Atau mungkin
kau membacanya? Apakah kita akan tersenyum sendiri ketika mengingat masa lalu
berdua? Ataukah salah satu dari kita akan berpikir menghapus tulisan ini? Sederhana
bukan? Sesederhana itu mengenang dan ingin menghapus sesuatu yang pernah kita
miliki. Sama seperti kau yang datang dengan sederhana, kemudian dengan
sederhana pula aku mulai merindukanmu. Kita memang terlalu sederhana untuk
sebuah kisah cinta.
Sudahlah, mari kita bahagia. Berbahagialah.
Kini aku tak lagi menjadi pelita redup malammu. Kau pun sama. Kau bukan lagi
bintang bercahaya di tengah malamku. Sekarang kita mempunyai malam-malam
sendiri. Kini kita akan memeluk senja masing-masing. Kutitipkan sedikit rindu
kepada senja yang akan kau jumpai esok. Semoga ia menyampaikannya padamu. Karena
aku tak akan lagi melakukannya.
Sampai jumpa.
Comments
Post a Comment