Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2018

Senja dan Isinya

Senja kembali datang. Tak lama kemudian ia kembali pergi. Esok berulang lagi. Namun tak bosan aku menyambutnya. Selalu ada secangkir kopi di tengah jumpa dengannya. Sampai langit menjadi gelap, aku enggan beranjak. Sampai tinggal ampas yang terendap. Seperti rindu yang masih tak mau lepas. Warna langit di ujung sana masih memukau. Indah memanjakan mata. Tak heran banyak pujangga mengagungkan sang jingga. Pesonanya tiada dua. Satu warna melekat di dada. Dengan mengelilingi sebuah bola siap tenggelam itu mengingatkanku tentang sepasang bola mata yang tak ingin kulepas. Sinar matanya memburuku hingga petang. Sebelum esok jumpa, diamnya cukup kuartikan lewat pandangnya. Kuiringi senja kali ini dengan sepotong kue manis bikinan bunda. Tentu saja kopi tak pernah lupa. Aku memilih diam menikmati hidangan. Manis, pahit. Seperti mata uang, hidup punya dua sisi yang akan selalu berdampingan. Manis, ketika apa yang aku mau ada di depan mata. Pahit, begitu nyatanya adalah sebaliknya. Manis pula

Jalan Sunyi

Senja berlabuh. Di tepi durjana bersinar nestapa. Ombak memecah kebuntuan, menggulung kenikmatan. Burung camar tahu cara merasakan luka. Belati di kanan. Tengok kiri gerinda siap menebas. Lantang berdiri melawan. Dunia enggan merayakan menang. Sunyi jalannya, bisu raganya. Rona jingga di cakrawala tak usutkan nyalinya. Demi hancur berkeping-keping ia rela tertawa. Sakit sejadi-jadinya. Bukti semesta masih menyayanginya. Ksatria tanpa nama.

Antara Dendam dan Pemujanya

Hai kamu. Sudah tidur? Sudah malam. Apa yang kamu lakukan sekarang? Kenapa belum terpejam? Apa yang kau pikirkan? Hati mana yang sedang kau ingin singgahi? Adakah aku di antara renungmu? Masih hangatkah kopi yang sedari tadi tersaji di meja makanmu? Mengapa engkau tak kunjung tidur? Apa engkau lelah? Kau menangis? Ataukah kau sakit? Aku terus menatapmu. Dalam heningku dunia terisi atas namamu. Di depanku kau buatku membeku. Tanpamu duniaku benar-benar ngilu. Pertemuan denganmu begitu singkat. Tak butuh waktu isyaratkan rindu. Sendu bergurau di setiap senja. Mengadu pada semesta raya bahwa kopiku tersaji kepadamu. Meski belum ada kesempatan duduk berdua, dunia tahu betapa agung cinta bergema. Alam raya seisinya paham betul isi kepala seorang perindu. Akan dilakukanlah segalanya demi sekejap senyuman penuh makna dari yang tercinta. Dingin malam tak akan sanggup melumat hangat jiwanya. Terik surya seketika buta akibat kesungguhannya. Dan bulan, tinggallah saksi riuh malamnya akan nest

Sesaat Sebelum Gelap

Beberapa hari ini mata terasa berat. Dunia berputar seenaknya. Hingga gelap datang. Di saat seperti itu ia hadir. Seseorang yang senyumnya kunantikan. Ia yang memandangku dengan sayu. Cara ia membuatku terbang masih teringat. Tak lelah ia hadapi terik demi semesta. Tak kusangka, ia mampu mencuri pandanganku. Ego ini angkuh meraksasa. Keras kepalaku kokoh bagai benteng di tengah samudera. Sikap tak peduliku menetap mengakari nadi. Kemudian semua itu runtuh tiba-tiba. Kehadirannya bagai hujan di kemarau panjang. Aku rindu hal itu. Ego, keras kepala, tak peduli, semua bersih tersapu olehnya. Hanya di depannya aku luluh. Di depannya aku berkata 'iya'. Lama tak jumpa dengannya. Apa kabar ia? Baik-baik sajakah? Sepertinya memastikan ia baik-baik saja bukanlah urusanku. Ia jauh dari jangkauan. Aku tak bisa menggapainya. Jikapun bisa, aku tak ingin ia masuk terlalu dalam. Melupakan menjadi alasan. Bagaimana mungkin menghapusnya harus dengan cara menyakiti diri sendiri? Menjemukan. Na