Senja kembali datang. Tak lama kemudian ia kembali pergi. Esok berulang lagi. Namun tak bosan aku menyambutnya. Selalu ada secangkir kopi di tengah jumpa dengannya. Sampai langit menjadi gelap, aku enggan beranjak. Sampai tinggal ampas yang terendap. Seperti rindu yang masih tak mau lepas.
Warna langit di ujung sana masih memukau. Indah memanjakan mata. Tak heran banyak pujangga mengagungkan sang jingga. Pesonanya tiada dua. Satu warna melekat di dada. Dengan mengelilingi sebuah bola siap tenggelam itu mengingatkanku tentang sepasang bola mata yang tak ingin kulepas. Sinar matanya memburuku hingga petang. Sebelum esok jumpa, diamnya cukup kuartikan lewat pandangnya.
Kuiringi senja kali ini dengan sepotong kue manis bikinan bunda. Tentu saja kopi tak pernah lupa. Aku memilih diam menikmati hidangan. Manis, pahit. Seperti mata uang, hidup punya dua sisi yang akan selalu berdampingan. Manis, ketika apa yang aku mau ada di depan mata. Pahit, begitu nyatanya adalah sebaliknya. Manis pula layaknya hadirmu yang menenangkanku. Sungguh. Pahit pun tak ingin mengalah sewaktu jantung berdegub kencang kala menatapmu. Mereka selalu tahu cara bermain bukan? Inilah permainanku dengan mereka. Perihal hati yang siap dicandai naluri.
Senja, kue, kopi, engkau, empat hal berbeda yang menjadi satu. Beradu dalam kepalaku. Kau tahu, mungkin aku adalah pemuja keindahan yang buruk. Aku tak paham bagaimana mengatakan indahmu seperti kebanyakan orang. Mereka dengan leluasa mampu membuka obrolan denganmu. Sedangkan aku, bungkam. Mereka lihai tertawa bersamamu. Aku? Melihatmu tersenyum saja serasa di bianglala yang seenaknya memutar-mutarku dari atas ke bawah. Lantas, bisakah aku ada di sana? Aku. Hanya aku. Kita berdua. Bukan dengan yang lain.
Comments
Post a Comment