Skip to main content

Posts

Showing posts from 2018

Kau Bahagiaku

Hai kamuku. Apa kabar? Sudahkah merindu? Kau tahu, beberapa hari terakhir ini aku memimpikanmu. Bukan hal biasa sejak kita memutuskan kembali menjadi kita. Merindumu memang candu, tapi memimpikanmu sungguh pilu. Kau selalu tahu cara kembali. Berbeda denganku, betapa aku malu karena tak paham bagaimana mencintai. Senyum ini mudah terurai di depanmu. Kau menutup segala pandangku. Di mataku hanya engkau yang benar-benar hidup. Jauh di sanubari cukup engkau lentera dalam temaram. Semesta mengirimmu tanpa pilihan. Kuterima datangmu dengan pelukan. Senyummu meneduhkan. Matamu menenangkan. Engkau, bahagiaku yang paling berharga.

Kita yang Sama

Menemukanmu bukanlah hal baru. Aku pernah melaluinya beberapa waktu lalu. Kau juga sama. Kita pernah meninggalkan, atau entah namanya. Setelah itu kita kembali menjadi kita. Memutar kenangan, melaluinya lagi bersama. Segala dosa seolah lenyap oleh tawa. Jauh di balik itu, tahukah engkau ada belati masih tertancap mesra memeluki hati. Lagi-lagi sesak nafas ini mengingatnya. Bukan inginku mengungkit masa lalu. Sungguh, jika bisa akan kuhapus segala luka. Bagaimana menghapus sedang engkau masih ada. Seolah tak rela jika melupakanmu harus dengan cara menyakiti diri sendiri. Lelah dengan air mata, melangkah saja tak bisa. Sering kau anggap aku berpikiran buruk padamu. Memang. Aku hanya belum siap terluka. Meski sudah kuberi kesempatan berdamai, tetap saja sama. Kupikir kau tahu betul kenapa. Kau pun paham benar bahwa kau selalu bisa membuatku bungkam. Sedari dulu. Memintamu pergi, menghapus segala tentangmu, membencimu, demi menjauhimu semua pernah kulakukan. Melepaskan, merelakan, melup

Teruntuk yang Terindah

Rasa kepadamu tak tergoyahkan. Setelah melewati berbagai suasana senja, semua masih sama. Ribuan jingga tetap mengangkasa laksana cerita kita. Di samudera sana, ada namamu kuat menggoyahkan kapal para perompak. Di lapisan langit terluar terdapat senyummu magis merasuki nadi. Lalu, ada sepasang mata yang ingin kujaga. Tak akan kubiarkan sekecil apapun air mata keluar darinya. Biar bahagia terpatri di sinarnya. Di antara beribu jingga, kenangan bersamamu adalah yang terindah. Berhari-hari purnama melenggang, bundar bola matamu kurasa paling bersinar. Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan tak sanggup duakan warna lengkung senyum bibirmu. Semesta tahu, di segalaku ada engkau yang tak pernah padam. Kau tahu, seberapa sakit nafas ini saat masa lalu datang? Sesak di dada saat segala nestapa itu melintas. Perih mata ini menahan air mata yang tak ingin ku hadirkan di depanmu. Ternyata semuanya masih sama. Perasaan ini, harapan ini, mimpi ini, duniaku masih berpusat padamu. Hanya saja, masih ada luka

Seutas Lalu

Sampai Jumpa

Mencintaimu tanpa aba-aba. Itu bukanlah keharusan. Namun nampaknya aku takluk. Perlahan-lahan aku mulai merindukanmu. Aku merindukan gaya bicaramu. Aku mengenang senyummu setiap malam sebelum tidur. Berharap esok kan bertemu. Rentetan kata ini berujung pada kenangan. Masa lalu kita terlalu indah kusinggahi kembali, pikirku. Setidaknya dengan tulisan ini aku akan mengabadikan kita yang sempat bahagia bersama. Meski berujung pisah, kurasa kita tak harus berpasrah. Mari memaknai kehilangan dengan yang baik-baik. Aku yakin semua itu butuh perjuangan dan kerja keras. Sudah saatnya kita belajar melangkah tanpa alasan yang sama. Bagaimana kau dan aku akan hidup? Seperti apa aku dan kau di masa depan? Apa yang kau lakukan sekarang? Pertanyaan-pertanyaan kecil menghinggapi kepala. Wajar saja, kita baru saja berpisah. Kebiasaan bersama di hari-hari lalu tak mudah hilang begitu saja. Kita butuh waktu. Bukan sekadar seperti dulu, mencintai, kita juga butuh waktu untuk saling melepaskan,

Hitam Putih

Kau begitu menggoda. Dengan secangkir kopi buatanmu kau mencandu. Tatapan matamu sendu. Dan aku tertipu. Senyummu merekah seperti senja. Meski mudah meninggalkan, ia selalu aku utamakan. Begitulah aku padamu. Tak lelah mendamba, walau peluru derita kerap mendera.

Senja dan Isinya

Senja kembali datang. Tak lama kemudian ia kembali pergi. Esok berulang lagi. Namun tak bosan aku menyambutnya. Selalu ada secangkir kopi di tengah jumpa dengannya. Sampai langit menjadi gelap, aku enggan beranjak. Sampai tinggal ampas yang terendap. Seperti rindu yang masih tak mau lepas. Warna langit di ujung sana masih memukau. Indah memanjakan mata. Tak heran banyak pujangga mengagungkan sang jingga. Pesonanya tiada dua. Satu warna melekat di dada. Dengan mengelilingi sebuah bola siap tenggelam itu mengingatkanku tentang sepasang bola mata yang tak ingin kulepas. Sinar matanya memburuku hingga petang. Sebelum esok jumpa, diamnya cukup kuartikan lewat pandangnya. Kuiringi senja kali ini dengan sepotong kue manis bikinan bunda. Tentu saja kopi tak pernah lupa. Aku memilih diam menikmati hidangan. Manis, pahit. Seperti mata uang, hidup punya dua sisi yang akan selalu berdampingan. Manis, ketika apa yang aku mau ada di depan mata. Pahit, begitu nyatanya adalah sebaliknya. Manis pula

Jalan Sunyi

Senja berlabuh. Di tepi durjana bersinar nestapa. Ombak memecah kebuntuan, menggulung kenikmatan. Burung camar tahu cara merasakan luka. Belati di kanan. Tengok kiri gerinda siap menebas. Lantang berdiri melawan. Dunia enggan merayakan menang. Sunyi jalannya, bisu raganya. Rona jingga di cakrawala tak usutkan nyalinya. Demi hancur berkeping-keping ia rela tertawa. Sakit sejadi-jadinya. Bukti semesta masih menyayanginya. Ksatria tanpa nama.

Antara Dendam dan Pemujanya

Hai kamu. Sudah tidur? Sudah malam. Apa yang kamu lakukan sekarang? Kenapa belum terpejam? Apa yang kau pikirkan? Hati mana yang sedang kau ingin singgahi? Adakah aku di antara renungmu? Masih hangatkah kopi yang sedari tadi tersaji di meja makanmu? Mengapa engkau tak kunjung tidur? Apa engkau lelah? Kau menangis? Ataukah kau sakit? Aku terus menatapmu. Dalam heningku dunia terisi atas namamu. Di depanku kau buatku membeku. Tanpamu duniaku benar-benar ngilu. Pertemuan denganmu begitu singkat. Tak butuh waktu isyaratkan rindu. Sendu bergurau di setiap senja. Mengadu pada semesta raya bahwa kopiku tersaji kepadamu. Meski belum ada kesempatan duduk berdua, dunia tahu betapa agung cinta bergema. Alam raya seisinya paham betul isi kepala seorang perindu. Akan dilakukanlah segalanya demi sekejap senyuman penuh makna dari yang tercinta. Dingin malam tak akan sanggup melumat hangat jiwanya. Terik surya seketika buta akibat kesungguhannya. Dan bulan, tinggallah saksi riuh malamnya akan nest

Sesaat Sebelum Gelap

Beberapa hari ini mata terasa berat. Dunia berputar seenaknya. Hingga gelap datang. Di saat seperti itu ia hadir. Seseorang yang senyumnya kunantikan. Ia yang memandangku dengan sayu. Cara ia membuatku terbang masih teringat. Tak lelah ia hadapi terik demi semesta. Tak kusangka, ia mampu mencuri pandanganku. Ego ini angkuh meraksasa. Keras kepalaku kokoh bagai benteng di tengah samudera. Sikap tak peduliku menetap mengakari nadi. Kemudian semua itu runtuh tiba-tiba. Kehadirannya bagai hujan di kemarau panjang. Aku rindu hal itu. Ego, keras kepala, tak peduli, semua bersih tersapu olehnya. Hanya di depannya aku luluh. Di depannya aku berkata 'iya'. Lama tak jumpa dengannya. Apa kabar ia? Baik-baik sajakah? Sepertinya memastikan ia baik-baik saja bukanlah urusanku. Ia jauh dari jangkauan. Aku tak bisa menggapainya. Jikapun bisa, aku tak ingin ia masuk terlalu dalam. Melupakan menjadi alasan. Bagaimana mungkin menghapusnya harus dengan cara menyakiti diri sendiri? Menjemukan. Na

Ilusi Maya di Ujung Senja

Cinta tumbuh kapan saja, dimana saja dan entah bagaimana. Berawal dari pertemuan-pertemuan sederhana. Senyum saling sapa. Konflik tak terduga. Tak jarang mengena. Dari sanalah hidup jauh terasa lebih hidup. Ketika beberapa masalah datang dan tak pernah merasa keberatan. Suaranya lain. Mengisi hariku melebihi cuitan camar di kala senja. Ada yang bilang padaku bahwa aku harus lebih cepat mengambil keputusan. Keputusan seperti apa, balasku. Lantas ia menepuk bahuku. Ia sadarkan aku dari lamunan. Ia mengerti. Jelas terlihat di kedua matanya isyarat itu. Kami terdiam. Bagi sebagian orang, jarak bukan masalah. Kata mereka jarak menjadi ruang satu pasangan memupuk rindu. Kalimat saja butuh jeda antar kata, kata seorang penyair. Tentu demikan dengan satu hubungan. Jeda dalam arti jarak terkadang dibutuhkan. Sebagai pengingat bahwa kedua orang dalam ikatan itu adalah satu. Kurasa itu benar adanya. Hanya saja beberapa waktu terakhir ada perbedaan terolah dalam diriku. Aku bertemu orang baru.

Sisi Magis Tinjomoyo

Salah satu tempat wisata yang menjadi primadona di Semarang. Berlokasi di dekat kampus Unika menjadikannya mudah diakses. Menyuguhkan alam yang sejuk dengan dialiri sungai, dihiasi pepohonan, beberapa bekas sangkar hewan (pasalnya dulu tempat ini berupa kebun binatang). Satu yang menjadi ciri khas adalah Pasar Semarangan. Namun sayang sekali pasar tersebut sudah jarang beroperasi. Menyisakan gasebo-gasebo berbahan bambu. Harga tiket masuk Tinjomoyo tidak akan menelan isi dompet. Cukup dengan Rp. 5.000,- kita bisa masuk menikmati keindahannya. Tempat ini sangat cocok bagi para fotografer yang ingin memberikan nuansa alam di karyanya. Bukan hanya alam, beauty juga tidak kalah pas. Perpaduan cahaya, konsep, model, dan latar akan mendukung. Penasaran? Langsung saja berkunjung kemari. Yuk piknik.

Nostalgia Kopi

5 tahun berlalu. Buah kurang lebih 1 bulan disana adalah kenangan. Memori maha dasyat yang agung. Tawa, canda, idealisme, perspektif, gaya hidup, detail-detail pribadi mewarnai lembar demi lembar kisahnya. Saat 8 anak mencari jati diri, kokoh dengan pemikiran masing-masing dikumpulkan pada satu titik dimana mereka harus mengukir sejarah bersama. Tentu cerita yang pantas diabadikan di masa depan. Tempat kecil dengan potensi besar. Warga yang ramah dan aktif di berbagai kegiatan, pemuda-pemuda yang handal bersepak bola, para perangkat yang membaur, dan kedelapan anak itu yang mencoba menyatukan berbagai elemen disana. Mampukah mereka melakukannya? Bisakah mereka meredam ego sendiri? Apakah sejarah akan terukir manis? Dunia membuktikan. Hari-hari awal menjadi masa menyesuaikan diri. Mereka mencoba memahami karakter satu sama lain. Setidaknya dari perbedaan itu, mereka punya bidang masing-masing. Perbedaan memang indah. Yang sulit adalah cara menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan

Cerita dalam Kanvas

Siapa tak suka senja. Ribuan mata tertuju padanya. Indah merah cakrawala. Putri kerajaan bidadari menyambut mesra. Ukiran kalbu Sang Rahwana. Jangankan jiwa, surga akan ia serahkan. Inilah bukti megahnya cinta dalam sukmanya. Andai kata kau adalah bunga. Senja akan menjadi teman menjemput bahagia. Temaram jingga ada di ujung cakrawala. Untaian melodi mengajarkan rindu. Tapi tidak dengan secangkir kopi ini. Ibarat hujan, kau adalah sela-selanya. Pengembara jalanan membelah debu. Ribuan cerita tertulis di kanvas. Ia berkelana demi cintanya. Mengarungi luasnya semesta. Aku memandangnya. Dalam kebekuan rintik hujan. Alam bersimponi begitu sejuk. Yang terlukis hanya merah di langit sana. Aku tetap diam. Nomina rindu tak terbendung. Tidakkah kau merasakan sama? Ia yang menjelma menyayat tanpa suara.

Aku dan Bintang

Pertemuan demi pertemuan berbuah rindu. Ia mengusang. Berkarat tak berbentuk. Sebentar lagi hancur. Ia mengendap tanpa ada yang tahu. Begitu besar hingga mengalir membanjiri nadi. Jiwanya lelah menopang. Gemanya mengangkasa. Membuat sakit di dada. Tawamu menjadi tujuan. Kucuri pandang matamu yang kian hari kian meneduhkan. Hangatmu melelehkan dinginku. Membara apimu mampu meluluhkan keras bekuku. Bergetar duniaku begitu kulihat dirimu. Berjalan, menatap satu titik, tetap begitu hingga berlalu. Dan aku, cukup bahagia hanya dengan mengamatimu. Setiap detailmu indah menetap. Kupandangi lekat. Kuulurkan tangan meraihnya. Perlahan kugapai bintang itu. Sedikit lagi. Mataku terpejam. Menyilaukan. Aku membuka mata. Sudah pagi. Bersiap hal itu berulang lagi, lagi, dan lagi. Kau tahu, betapa sulitnya aku ketika hendak bertanya apakah kau sudah makan atau belum? Kalimat sederhana yang tak mampu terucap. Hati semakin berontak saat diam membelenggu. Sekadar kirim pesan pun aku tak mampu. Cerita

Kopi, Pagi, dan sebuah Mimpi

Mentari terbit dengan agungnya. Perlahan mataku terbuka. Bayang-bayang muncul memenuhi sesak. Perihal engkau yang muncul di mimpiku. Entah bagaimana kau hadir di bunga tidurku. Kau juga lah sepertinya sudah menjadi bunga di setiap hariku. Kau pancarkan pesona menenangkan gundahku. Kau tersenyum bagai kopi mencanduku. Tak ada alasan bagiku tak menerimamu. Bagaimanapun, aku tetaplah aku. Seseorang yang menantimu bersandar di bahuku. Kenyamanan mungkin kunci suatu hubungan. Kosongnya hati mengisyaratkan harapan. Seiring berlangsungnya pertemuan, aku ingin mengenalmu lebih. Kau seperti kopi tubruk. Lugu, sederhana, namun begitu istimewa ketika aku mengenalmu lebih dalam. Tetaplah seperti itu, menjadi racikan kopi di setiap pagi aku membuka mata.

Rasa Ini

Aku mengagumimu. Bagaimana caraku mengatakannya? Tak harus kukatakan padamu. Entah pada angin, ombak, senja, atau secangkir kopi yang bersahaja. Setiap hembus nafas ini kembali menyebut namamu. Jatuh badanku ingin berlabuh di bahumu. Redup mataku berharap kau teduhkan dengan tatap manjamu. Ada lain yang dapat disamakan denganmu? Semesta selalu mengerti betapa seisinya mampu menggemakan rindu untukmu. Di sela perjumpaan kita tak banyak kata terucap. Sedikit banyak mata mencuri pandang. Betapa berdebar ragaku saat mata kita bertemu di satu titik. Waktuku beku. Diriku membatu. Kau tega membiarkanku larut dalam pesonamu. Demi sepasang bola mata itu aku rela mengayuh rindu. Matamu, senyummu. Dua hal yang ingin aku lukis setiap hari. Aku adalah manusia jauh dari sempurna. Predikat baik juga sepertinya tak pantas aku sandang. Egois, keras kepala, tak mau mendengarkan siapapun, begitu dunia memandangku. Dan semua berbalik setelah aku bertemu kamu. Egoku mampu kau redam. Sifat keras kepalaku

Bahagia Itu Sederhana

Duduk berdua denganmu. Kopi hangat ada di antara kita. Kau suguhkan cerita masa kecil. Ingatan kita beradu. Beberapa hal ada yang hangat membekas di kenangku. Yang lain tentu kau lebih paham. Permataku, ketika semesta menua, izinkan aku menjadi orang pertama yang membuatmu tersenyum. Biarkan hanya aku yang menjadi sebabmu. Seluruh perjalananku hanya akan tertuju padamu. Ibu.

Senja di Ujung Kopi

Beberapa kali aku mengingatmu. Tak ingin memang, tapi mau bagaimana lagi. Memori itu datang begitu saja. Tanpa aba-aba. Kenangan bersamamu tak sebegitu banyak. Sedikit tapi seolah kita sudah lama bersama. Hal-hal kecil yang membuat tawa kita lepas menorehkan tempat tersendiri di sudut hatiku. Beberapa kejadian yang mampu menjatuhkan air mata terukir manis di dinding nadi. Kau punya tempat di sini. Senja kali ini senyummu indah ikut merasuki mentari. Meski sebentar lagi pergi, ia tetap abadi menunggu kusinggahi. Berhias jingga, ia menjadi candu. Bersama secangkir kopi, aku nikmati kehadiranmu, kasih. Waktu tak menggariskan pertemuan kita berlama-lama. Mungkin ia iri melihat kebersamaan kita. Siapa tak mau? Kita yang selalu berdua tak peduli kapan, dimana, dan bagaimana. Bahkan bintang terbesar di tata surya enggan menyaksikannya hingga senja sebagai pertanda ia ke singgasana. Ketahuilah, ada seseorang yang begitu merindukanmu. Ia ingin mengulang segalanya bersamamu. Ya, hanya mengul

Ketika Aku Tiada

Menjelang pergi. Apakah nanti kita akan merasa hilang? Apakah aku akan merasa kehilangan? Apakah juga sebaliknya? Atau apakah mungkin tidak terjadi apa-apa? Waktu semakin mengajarkanku untuk pasrah. Meski rela sulit terbuka. Bersamamu tenang. Duduk berdampingan, tidak melakukan apa-apa, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesederhana itu. Sesekali kucuri pandang. Matamu, senyummu, teduh. Tak henti aku memujamu. Tak lelah aku menatapmu. Segalaku tertuju padamu. Kau tahu, inginku begitu kuat memilikimu. Rinduku tak bertepi pada dermaga lain selain hatimu. Alunan lagu senja tertuju padamu. Aroma kopi hangat perlahan ikut membisikkan namamu. Lantas kusruput pekatnya. Sontak dada bergejolak. Tubuh ini telah mengalir deras darahmu, kasih. Begitu adil semesta raya. Ia menyuguhkan keindahan tiada tara. Pesona tiada dua. Ciptaan maha mulia. Keagungan mengangkasa. Cinta. Hai semesta, berbisiklah padanya. Bawa aku larut di nadinya. Sampaikan cumbuku pada peluhnya. Hadirkan pelukku di letihnya.

Aku dan Kamu

Memujamu adalah kebahagiaanku. Tak pernah aku berpikir memilikimu akan menjadi hakku. Di dalam duniamu aku sempat membeku. Pada senyummu langkahku tertuju. Namun sayang, dari berjuta inginku, genggaman tanganmu tak pernah singgah di jemariku.

Tanya-Tanya Kecil

Saat semua rasa itu tercipta, beberapa bagian tubuh ini tak logis bekerja. Kadang seolah dunia berhenti berputar dan aku tidak melangkah maju sedikitpun. Saat itu aku benar-benar merasa menjadi manusia paling bodoh yang sebentar lagi akan hancur. Di waktu lain, ada seseorang yang selalu tersenyum bersamaku. Melihat wajah paniknya, tak jarang aku tertawa kecil. Menyenangkan. Meski pikiran dibuat berkunang-kunang. Sesuatu. Ia yang ingin menarikku pergi. Ia yang selalu mendorongku masuk. Lebih dalam dari sekadar ingin memiliki. Sesuatu yang mampu membuat dunia bertolakbelakang hadir dalam satu waktu. Memang, tak ada yang tak mungkin. Tapi kali ini berbeda. Sungguh. Tak ada variabel lain kecuali ia. Hanya ia. Bisakah terhapus rasa itu? Berkali sudah rasa semacam itu ada. Hampir bosan berganti tanpa pasti. Apakah ia hanya hadir mengisi tanpa memenuhi? Akankah ia melengkapi tanpa mengurangi? Atau mungkin sekadar memiliki tanpa memberi arti? Simpan saja jawabannya. Ia memang ada hanya untuk

Rotasi

Kita pernah bersama. Sampai detik ini tak jarang kita saling memandang. Meski bicara tak sepadan, interaksi selalu terjalin aman. Sempat memang beberapa kali kita tak saling bersahutan. Sekali muncul namamu di layar, senyum ini tak kuasa terkembang. Benarkah muncul rasa nyaman? Seiring waktu berjalan aku tak tahan jika dirimu belum hadir di permukaan. Mata ini mencari-cari tujuan. Pedih jika kau tak kunjung kutemukan. Lalu tergerak nalar memulai percakapan maya. Namun luntur oleh ego yang membabi buta. Dan ketika kau di ujung mata, tahukah kau bahwa di sini ada yang sedang terbang jiwanya. Lupa membawa raganya. Kubiarkan hal ini mengalir sedemikian rupa. Aku tak memberi batas. Meski rasa entah berbalas, ingin saja hati merasa puas.

Candu Tiada Satu

Teruntuk seseorang penggenggam rindu. Tanpa kamu, aku tak akan mengerti beratnya berpisah. Karena kamu, aku paham bagaimana cara menghargai pertemuan. Denganmu hidupku terasa lebih hidup. Rindu kepadamu telah menjadi candu. Sedikit terhitung temu namun engkau mampu membiusku masuk ke segalamu. Bahkan di pagiku kau menjadi hal pertama yang terpikir pada sujudku. Bayang-bayang masa depan begitu indah bersamamu. Haruskah aku mengungkapkan itu? Di lain sisi aku tahu kita tak seharusnya bersatu.

Kemarilah Wahai Hati yang Pergi

Di bawah langit malam aku melihat bintang. Beratap awan menjelma dirimu. Tak henti angin berhembus pelan menerka-nerka rindu. Ada sepasang bola mata terbesit dalam kelamnya langit. Ada senyum yang diam-diam aku amati muncul dalam angan. Ternyata benar, jatuh hati butuh berjuang. Meski semua tahu kadang berusaha harus sendirian. Kau tahu, aku adalah seorang pengembara. Jauh-jauh aku berjalan tanpa lentera agar aku tersesat di hatimu. Aku juga dapat menjelma menjadi pendaki. Jalanan terjal aku hadapi tuk menggapai asa kita bersama. Terkadang aku berubah bagai seorang pujangga. Kata demi kata aku rangkai berdalih engkau luluh olehnya. Itulah aku. Aku bisa berubah sewaktu-waktu. Menjadi apapun. Tak lepas dari satu tujuan. Kamu. Engkau. Kepada malam ini aku bersaksi bahwa segalanya telah bermuara. Darah yang mengalir di dalam tubuh ini mengisyaratkannya. Di setiap sudut mata ini menatap, ia tahu siapa yang baru saja menetap. Oleh jemari yang bertautan, mereka menuliskan namamu abadi dalam

Sajak sebelum Pergi

Pernah pada malam itu ponselku berdering. Ada satu pesan masuk. Sebuah pertemuan baru akan terjadi pikirku. Bagaimana aku harus bertahan dengan segala bentuk perpisahan disini menjadi tanda tanya besar. Seperti apa langkah selanjutnya agar yang berpindah dapat menetap menjadi hal matang yang harus dipikirkan. Apakah semudah itu menjadikan pertemuan dan perpisahan sebagai drama? Beberapa kali pertemuan diiringi dengan kenyamanan yang tumbuh di dalamnya. Rasa yang menjadikan segalanya. Saling mengisi, melengkapi, memperhatikan, memiliki, semula acuh kini berpengaruh. Seperti cermin, mereka adalah sama. Seolah dendam, ia tak ingin terbungkam. Kemudian perpisahan itu menjadikannya diri yang ingin terbang. Tanpa haluan. Beberapa kenangan diciptakan untuk abadi. Sisanya dibiarkan pergi. Memandang senyum-senyum itu aku merasa abadi. Di sisi lain tak dipungkiri, seseorang juga harus pergi. Bukan meninggalkan, hanya merasakan kebahagiaan dari sisi lain. Jika angin mampu membawa pesan, akan ku

Barangkali Kamu adalah Satu

Sahabat paling dekat saat ini adalah kenangan. Aku tak pernah tahu kapan ia muncul dan hilang. Ia hadir tanpa tanda. Tanpa isyarat. Apakah karena hujan, musik, atau bahkan ketika mencium bau suatu parfum. Terkadang ingatan-ingatan itu membuat semuanya mundur seolah aku kembali pada waktu itu. Apa kau juga merasakan hal sama? Aku tak yakin. Lama tak berkabar denganmu membuat gundah mereda. Sayangnya aku tak bisa memilih kenangan mana yang menetap di kepala. Selalu isi kepala ada tanpa permisi. Bahkan tentang namamu, tak ada yang terhapus sedikitpun. Meski keinginan kuat melupakan berjalan beriringan. Saat aku memikirkan ini, wajahmu terlintas. Kemudian aku bertanya apakah kau mengalami hal yang sama? Ataukah hanya aku saja yang tak bisa melangkah? Seberapa jauh kaki menginjak, kau tetap menjadi rumah kuberpulang. Seberapa lapang jarak kumemandang, kau tetap menjadi tujuan. Dan seberapa banyak hati yang hinggap, kau menjadi yang paling tak tergantikan. Begitulah adanya. Aku yang pada

Sepasang Arah yang Berlawanan

Saat seperti ini rindu terasa amat berat. Pasalnya rindu ini seharusnya bukan milikku. Peraduannya lepas sudah. Aku hanya serpihan masa lalu yang siap terbuang, tanpa dikenang. Jamuan malam selalu sama. Apakah aku mencintaimu teramat sangat? Jika itu benar, kenapa kau selalu bilang kita adalah sebuah kesalahan? Mengapa pula kita berujung pisah? Tak bisakah kita melangkah menuju masa depan yang megah? Tanda tanya biarlah terjawab oleh semesta. Jika dulu kita adalah sepasang senja dan jingga, sekarang kita menjelma menjadi siang dan malam. Jika dulu kita adalah bintang dan malam, sekarang kita hanyalah mentari dan hujan. Jika kemarin kita adalah dua hati yang saling mengisi, kini kita adalah sepasang nurani yang diam-diam pergi. Aku sering meminta waktu berputar mundur. Bukan untuk memperbaiki segalanya, melainkan bagaimana caranya agar aku tak bertemu denganmu. Lalu aku tidak mengenalmu. Dan aku tak akan menjadi pecundang yang kian murka akan betapa agungnya kata cinta. Cinta. Karen

Senja dan Luka yang Sama

Senja ini masih sama. Tentang luka yang selalu bercengkerama. Mendekap merona pada jingga. Laksana buih debur ombak saling mengejar. Berteriak... Meminta satu nama. Kuletakkan cangkir kopiku di ujung pasir. Sembari meraih angin yang memelukku. Namamu berbisik. Merdu. Menyayat. Luka ini masih basah.

Aku yang Gagal Tentangmu

Mengenangmu di sela-sela senja adalah anugerah. Aku iri pada angin yang sewaktu-waktu memelukmu. Aku iri pada sepatumu yang menemanimu kemanapun engkau melangkah. Aku ingin menjadi payung yang melindungimu dari segala. Tapi itu semua bukanlah aku. Gemintang tak kunjung padam. Malam menangis sejadinya. Demi ibanya hati manusia. Nestapa membayang mesra. Mencumbui setiap detik mata bercengkerama. Biru langit tinggal kelabu. Pelangi mengeruh. Semua berduka.

Kembali Tentangnya

Kisah cinta adalah kisah yang paling banyak diterima khalayak luas. Kecil, remaja, dewasa, semua menikmatinya. Aku adalah satu dari sekian banyak penikmatnya. Kukira tak ada yang lebih puitis dari kisah itu. Setiap orang mempunyai kisahnya sendiri. Ada yang berakhir romantis, ada pula yang tragis. Begitu pula aku, aku punya cerita cinta sendiri. Aku pernah mencintai seseorang dengan amat sangat. Hanya dengan melihat matanya, duniaku membeku. Saat ia tersenyum adalah waktu paling membuat dada berdebar. Beradu argumen masa depan membuatku semakin yakin padanya. Hari dan malam banyak kulewati bersamanya. Adalah semangat tersendiri ketika beraktivitas sambil memandangnya. Sungguh matanya membuatku terpana. Sejauh ini hanya ia yang mampu membuatku bungkam. Apa kabar ia sekarang? Beberapa waktu terakhir rindu kembali tersemat padanya. Berat rasanya tapi mau bagaimana. Entah angin apa yang membuat nestapa. Segalanya kembali indah jika ada dia. Kesalahan yang sengaja aku ulang.

Langkah Awal Rainbow Cake

Kami punya segudang kenangan yang teramat manis jika dilupakan. Berawal dari tak saling kenal, mimpi menjadi tujuan kemudian. Awal dan akhir selalu datang beriringan. Membawa penasaran bagaimana akhir disematkan. Untuk kalian yang sudah berada di luar, berkaryalah. Tetap jadi yang membanggakan. Hasna Maul Devi Intan Fitri Elisa Sinta Tanty Pavita

Cerita yang Usai

Pada tepian senja aku menceritakan derita. Aku bercerita kepada angin. Kusampaikan semuanya hingga meneteslah air mata. Seluruh rahasia penyebab nestapa. Sang angin hanya berhembus setiap kali ada bulir bening jatuh dari sudut mata. Ia membelai rambutku. Kukira ia akan menghapus air mata ini, tapi aku tahu air mata ini terlalu membatu. Titik kekecewaan terdalam saat aku diam dan tanpa sebab tiba-tiba ada air mata. Aku hanya bisa menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, berharap aku segera lupa. Kian hari aku berdoa ini semua akan berakhir tak berbekas. Tapi sejauh ini aku belum bisa. Masih ada tanda akan luka. Semoga lekas sembuh wahai yang pernah jatuh cinta. Kupandang lekat matahari yang sebentar lagi pergi. Apakah tidak ada yang benar-benar menetap? Apakah tidak ada yang benar-benar singgah? Pintu yang telah kau buka kini tertutup rapat. Bagaimana caraku membukanya dan mengusirmu dari sana? Bisakah? Padahal setiap malam aku terbangun dari lelapnya mimpi, menyadari

Mimpi Kita

Setiap pagi aku membuka mata, ingin aku melihatmu di sampingku. Menghabiskan malam berdua meski tanpa melakukan apa-apa. Menonton film, menyanyikan lagu, berpegangan tangan, tertawa, semua bersama. Mungkinkah? Rasa ini mengendap sudah. Ibarat kopi, aku telah menuangkanmu ke dalam gelas kosongku. Meminumnya sampai mengaliri denyut nadi. Dan namamu terukir sudah di setiap pori. Kamu menjadi alasan aku bangun di setiap pagi. Mimpiku bersamamu tidakkah cukup sederhana? Mengaitkan jemariku agar kau selalu terjaga dalam hangat. Berjalan beriring denganmu dan menatap ke arah yang sama. Sembari merancang angan masa depan. Rumah kita sedang kita lukis bersama. Kamu, seseorang yang membuatku ingin menghabiskan waktu berdua, merenta. Sekarang kamu bukan lagi kamuku. Segala rasa purna sudah. Cerita yang pernah rapi tertulis, kau hapus paksa. Meski telah sirna, entah apa sebabnya kau masih menjadi topik di setiap prosa. Biarlah. Mari belajar menjadi dewasa.

Kenangan yang Terpintas Lalu

Mengenalmu , mencintaimu, memilikimu adalah halaman indah yang tertulis dengan tinta warna-warni di cawan hidupku. Kamu yang baik. Kamu yang manja. Kamu yang tak hentinya membuatku tersenyum sendiri saat memandangi handphone. Satu lagi. Kamu yang mampu membuatku bungkam. Mengenangmu seperti membariskan jajaran doa yang pernah aku siapkan untuk kita di masa depan. Tak ada yang mengamini. Tiada pula yang memaksanya pergi. Hanya detikan jarum jam sebagai saksi betapa kita pernah melukis langit dengan tawa. Langit tak pernah lepas dari hujan. Begitupun cerita kita, tawa yang berakhir di antara air mata. Melihatmu kembali masih membuat dada berdebar. Senyummu masih sama. Senyum yang pernah menjadi semangatku. Mata kamu tetap seperti yang melekat di dinding memoriku. Mata yang meluluhkan segala waktuku. Bukankah amat lucu jika aku ternyata masih seperti dulu? Di saat malam begini selalu terngiang kenangan akan kamu. Bagaimana jemari kita menari saling berpautan. Secangkir coklat panas ter

Jatuh Cinta Bersamanya

Mencintai seseorang memang menyenangkan. Tiada rindu yang tak pernah bersarang setiap malamnya. Jantung berdebar setiap melihat sosok dirinya. Lalu mata ini seolah hanya terpaku padanya. Saat itu dunia benar-benar beku. Otak tak berjalan dengan semestinya. Waktu berhenti. Hanya ada aku dan dia. Senyumnya membuat hati berbunga. Matanya cukup menjadikan segalaku luruh tiba-tiba. Hanya mendengar suaranya, aku ingin melihat cermin, memastikan penampilanku luar biasa. Tapi ketika bertemu dia, cuek melanda. Sungguh, endapan sesak di dada yang istimewa. Kepada malam aku pernah bercerita tentangnya. Di antara semilir angin, rerumputan, beberapa bakau, laut, dan senja. Tiada yang lebih rapat menyimpan rahasia dibanding mereka. Tak hengkang air mata ikut andil bersama. Air mata penyesalan mengapa cinta ini terlalu kuat melekat. Bahkan untuk menghapusnya, aku harus melukai diri sendiri. Secara rahasia.