Skip to main content

Posts

Showing posts from 2017

Tentangmu yang Masih Melekat

Terkadang aku merindukanmu. Terkadang aku berpikir mampu tanpamu. Terkadang pula aku rela menunggu betapa gundah ini ingin terobati. Bagaimana denganmu? Tidakkah kau miliki rasa yang sama? Atau hanya aku yang bertanya-tanya? Darimana aku tahu jawabnya? Cinta yang kurasa kemarin masih melekat sempurna. Ia tak kurang suatu apa. Ia masih setia menemani hingga tua. Ia masih menyebutkan nama yang sama. Senja miliknya selalu merindu orang yang sama. Tak perlu disebutkan siapa, dunia mengetahuinya. Pun engkau, sang pemilik segalanya. Lihatlah senja di tempat yang dulu pernah kita datangi berdua. Masih sama bukan? Cerita tentangmu ada disana. Telah kutulis tepat pada nadi yang menyala. Goreslah nadi itu, temukan darah merah mengembara. Di dalamnya ada engkau. Tentangmu yang mampu merubah segalaku. Denganmu yang membuat hidup jauh lebih hidup.

Surat tentang Luka

Untuk kamu, seseorang yang sangat aku cintai. Seseorang yang pernah menjatuhkanku ke dalam jurang tergelap di hidupku. Lubang yang sengaja aku gali bernama jatuh cinta. Engkau yang tak hentinya menjadi sebab di antara tawa dan air mata. Kau yang sampai detik ini masih sebagai inspirasi dalam sajak. Kau yang telah lama tak kutemui. Kau tahu, aku menyayangimu utuh. Telah kau dapati aku yang berkali-kali kembali padamu tanpa peduli berapa kali hati ini merasa tersakiti. Semua peluh yang tumpah seakan membeku oleh waktu. Terhapus sementara oleh cerita tawa tentang kita. Kau yang aku sayangi, lihatlah orang yang mencintaimu ini. Lihatlah dengan mata hatimu. Pandang ia lekat-lekat. Tidakkah kau merasakan luka yang kau benamkan di ulu hatinya? Apakah kau melihat matanya membengkak bekas menangis semalaman? Mengertikah engkau akan derita yang ia rasa ketika ia jatuh bertubi-tubi karena mencintaimu? Sayatan lukanya membekas. Nestapa telah kau goreskan dengan tinta yang sama. Sayang, orang ya

Secangkir Salam dari Sang Perindu

Malamku di kota kelahiran. Kota tempat aku mengenal segalanya. Kota penting yang sebaliknya justru jarang aku tinggali. Lebih banyak aku habiskan waktu di kota orang. Di kota rantau itulah aku menemukan beberapa arti hidup yang banyak aku baca dari buku. Ingin aku ceritakan sepenggal kisah di kota itu. Satu cerita yang sebenarnya ingin aku hapus. Tapi semakin ingin aku menghapusnya, semakin tersiksa aku dibuatnya. Dunia tak mampu membaca betapa lara air mata jatuh terbuang sia-sia. Tak ada yang tahu. Tak usah. ~ Bumi Kartini, 8 September 2017 ketika rindu benar menggebu kepada yang entah dimana.

Tentangmu yang Masih Melekat

Terkadang aku merindukanmu. Terkadang aku berpikir mampu tanpamu. Terkadang pula aku rela menunggu betapa gundah ini ingin terobati. Bagaimana denganmu? Tidakkah kau miliki rasa yang sama? Atau hanya aku yang bertanya-tanya? Darimana aku tahu jawabnya? Cinta yang kurasa kemarin masih melekat sempurna. Ia tak kurang suatu apa. Ia masih setia menemani hingga tua. Ia masih menyebutkan nama yang sama. Senja miliknya selalu merindu orang yang sama. Tak perlu disebutkan siapa, dunia mengetahuinya. Pun engkau, sang pemilik segalanya. Lihatlah senja di tempat yang dulu pernah kita datangi berdua. Masih sama bukan? Cerita tentangmu ada disana. Telah kutulis tepat pada nadi yang menyala. Goreslah nadi itu, temukan darah merah mengembara. Di dalamnya ada engkau. Tentangmu yang mampu merubah segalaku. Denganmu yang membuat hidup jauh lebih hidup.

Cukup 1 Hal Saja, Dia

Tuhan, di sepertiga malam terakhir ini aku ingin berbisik. Aku ingin mengadu. Tentang kondisi hati yang begitu tak menentu. Aku mulai lupa pada siapa hati ini tertuju. Cinta yang terkadang terlahir egois. Pikiran melayang tiada arah. Semesta mengundang firasat. Bahasa mana yang harus aku ikuti. Aku ingin bersandar. Tuhan, aku ingin tidur nyenyak. Andaikata Engkau masih menuliskan cerita di diriku dan dia, kuatkan kami. Jagalah hati kami dari para penggoda. Engkau dengan mudah mempertemukan kami, mendekatkan kami, menumbuhkan benih-benih cinta di hati kami. Kenapa Engkau menciptakan semua ini, Tuhan? Cinta yang aku tahu sungguh Engkau larang. Engkau ciptakan sesuatu yang Engkau larang. Tuhan, kuawali hari dengan berbincang dengan-Mu. Kuungkapkan hatiku yang porak-poranda. Hati berkata cinta. Cinta yang kesekian kali aku terima kembali setelah luka yang tergores. Hati yang selalu memaafkan dan menerima. Meski maaf mungkin belum sepenuhnya ada. Apa dikata aku masih cinta. Tiada pedul

Sebuah Harapan

Bulan semakin angkuh di singgasana. Seolah berkata engkau ada di setiap aku membuka mata. Seperti matahari dengan tulus menyiangi bumi. Begitu sederhana makna ketulusan. Engkau, baik-baik sajakah? Bisakah rindu terulang? Akankah tangan kembali menggenggam? Ada yang diam-diam pergi dari ingatan. Tanpa aba-aba. Lalu mati kemudian.

Sepotong Kue Manis di Akhir Cerita

Bahagia katanya sederhana. Sesederhana senyuman manja seorang yang dicinta. Layaknya kepompong, mungkin kita sama. Sedang dalam masa metamorfosis. Lalu, di bagian mana kita dipandang lebih baik? Kau sempat ada di hidupku. Kau sempat menjadi jalan untukku pulang. Kau pernah pula menjadi alasan betapa aku ingin terjaga setiap malam. Kau, alasanku untuk hidup. Aku. Kau bilang aku adalah segalanya. Aku yang utama katamu. Bahagiamu sekarang tak pernah sebahagia kala bersamaku. Palsu? Sejauh langkah kakiku terrajut, kau memang yang terindah. Sungguh kau telah merubahku menjadi manusia yang melek tentang dunia. Kepada hati, aku tak pernah bercanda. Sajak tentangmu mengalir setiap malam. Perihal bahagia. Perihal nestapa. Sedikit cerita sederhana seseorang pemuja cinta. Cinta yang baginya adalah segalanya kini harus musnah berlumur noda. Masihkah engkau pantas berucap kata maha agung itu, wahai yang pernah aku cinta. Bertanyalah pada kaca, sampai mana kau layak untuk dicinta.

Sepercik Imaji Masa

Tak bosan aku berkata bahwa aku pernah mencintai seseorang dengan amat sangat. Setiap hari aku jatuh cinta padanya. Matanya, senyumnya, tingkah lakunya, segala di dirinya aku cinta. Ia telah menjadi candu, saat itu. Saat aku sedang terbang di ketinggian tanpa batas. Aku berselancar berirama imaji hidupku dengannya. Yang pada nyatanya, kami memang dimabuk asmara. Aku pernah mencintai seseorang hingga rasa itu berubah jadi benci. Benci yang entah kenapa tak bisa hilang begitu saja. Ia yang dulu aku harap tak akan terganti, kini harus aku hapus. Lantas bagaimana aku mampu melumpuhkan ingatan tentang seseorang yang pernah aku harap tidak akan pergi dari hidupku? Bukankah sama halnya dengan menyakiti diri sendiri? "Selamat pagi..." "Jangan lupa makan ya." "Nanti ketemu yuk." Beberapa ucapan sederhana dengan kesan luar biasa. Pesan singkat yang notifikasinya paling aku harap segera muncul di layar ponsel. Bahkan, menunggunya menjadi alasan aku tetap berdiri

Pernah Memiliki

Bermalam-malam aku menikmati bintang. Mereka beriak bergemuruh. Mereka tertawa tak peduli luka yang kuderita. Ada yang bahagia melihat gemerlapnya. Sedang aku hanya menganga menghabiskan nestapa. Mencoba melupa tapi tak bisa. Berusaha berlari namun kaki merintih tersiksa. Aku hanya berdiri disini tanpa apa-apa. Sepanjang jalan aku merindu bulan. Aku menemukannya anggun di singgasananya. Bundar dengan sinar keemasan. Ia seperti apa yang pernah kumiliki. Aku pernah memiliki sesuatu yang selalu aku cari. Aku pernah memiliki hal yang pasti aku cari. Aku pernah memiliki segala sesuatu dalam diri seseorang. Aku pernah memilikinya. Semua hulu dari hilir rasa. Waktu terus tumbuh. Aku menyadari sesuatu. Ternyata aku masih disini. Aku tidak kemana-mana. Aku masih setia menunggu. Entah apa. Lantas bagaimana?

Sepatah Kata di Awal Juni

Satu bulan tanpa mengunjungi rumah ini. Terlalu sibuk dengan urusan dunia nyata. Setelah selama itu tanpa tulisan apa-apa, keinginan menulis muncul kembali. Mungkin tema masih sama, tentang cerita yang bisa dinikmati segala kalangan dan usia. Cinta. Cinta, satu kata agung penuh makna. Sayang, benci, rindu, semuanya. Muara segala rasa. Bahkan tak jarang ketika mencintai seseorang, benci akan mengikuti. Begitulah manusia. Bicara soal cinta, kapankah seseorang dinilai sebagai pecinta sejati? Seperti apa tolok ukurnya? Indikatornya bagaimana? Bisakah? Atau mungkin pertanyaan tepatnya adalah adakah? Pertanyaan-pertanyaan itu akan menjadi topik pada tulisan saya selanjutnya. Berlatar dari berbagai sudut pandang, semoga cinta bukan hanya kata manis dari bibir pendusta. Lantas, adakah seseorang yang pantas mengatakan cinta? Kita lihat saja. Saya beberapa tahun lalu di sela-sela mengajar.

Air Mata di Malam yang Sama

Ah selamat pagi buta semesta! Seperti biasa, tidurku selalu terbangun tak menentu. Khusus hari ini mungkin efek kemarin, trip seharian melepas penat agar terlihat baik-baik saja. Sebelumnya bertemu kawan lama sampai tengah malam, tidur, bangun di angka 3, mandi, berangkat. Maksud hati ingin membayar hutang tidur, kok masih saja terbangun di tengah malam begini. Lalu, hal yang paling membuat kesal muncul. Sama dengan malam-malam sebelumnya. Dia. Ini yang aku benci dari terjaganya aku di malam gelap. Bayangan-bayangan itu selalu muncul. Aku ingin mengalihkan. Membuka laptop, bermain game, atau sekadar cuci muka. Tapi bayangan tetaplah bayangan. Aku tak bisa mengusirnya begitu saja. Ia akan tetap ada walaupun kadang tidak tampak. Bagaimana sekarang? Apakah bayangan itu bisa hilang? Tentu tak sesederhana itu. Ya, begitu rumit kurasa. Entahlah. Mau dijalani tapi... Cinta. Apa itu cinta? Banyak orang bilang cinta tapi mereka tak tahu artinya. Banyak orang berkata cinta tapi perilakunya berk

Akulah Orang yang Terluka Sementara Engkau Baik-Baik Saja

Mengenalmu adalah hal baru bagiku. Tiada tahu kehadiranmu dalam hidupku. Aku yang kering, kau basuh dengan senyummu. Aku yang tandus, kau hujani dengan tawamu. Bagai malam tak berbintang, kau tetap ada dalam awan. Serta angin pelan yang membelaiku telah kau rasuki. Sementara aku masih terbujur kaku menikmati dirimu. Aku ingat beberapa hari lalu kita sering bercakap. Tentang aku, engkau, hari-hari kita, mimpi, masa depan, segalanya. Pandai aku membenih harapan padamu. Harapan yang setiap hari aku aminkan. Sebuah cita yang ingin aku gapai bersamamu. Kudedikasikan arah agat bisa menjagamu. Memperjuangkan apa yang ingin kumiliki darimu. Pun engkau, mengaku akan melakukan hal sama. Bukankah terlalu indah cinta kita? Kita yang berjuang. Kita yang bertahan. Sesalu aku bertanya apakah aku sendirian. Dan kau runtuhkan segala sepiku. Tentang kita yang begitu keras menggema di angkasa. Hari-hari denganmu kulalui begitu indah. Indah tak kan terasa indah jika tidak ada lawan. Kadang bebera

Kisah di antara Malam, Masih Sama, Tentang Kita

Seperti biasa aku terbangun di sepertiga malam terakhir. Kebiasaan yang muncul setelah beberapa perselisihan denganmu. Aku lelah seperti ini. Aku lelah bila setiap malam harus terjaga dan terbayang namamu. Semua kenanganmu ikut bermunculan. Satu persatu menggerogoti sisa malamku. Setiap hari. Tidakkah naif bila aku berkata membencimu? Pelipur duka alih-alih ingin lupa akan luka yang bersemayam. Sebaliknya, semakin ingin aku melupakanmu semakin aku tak bisa menghapusmu. Kau telah menjalar. Kau ambil jantungku dan kau ganti fungsinya. Kau edarkan rindu di setiap pembuluh darahku. Kau bagai udara. Tak terlihat namun begitu terasa bagi tubuh rapuh ini. Oh sembuhlah cinta. Pada malam dingin ini aku bercerita kepada angin. Kupandang lekat hitam langit. Tak begitu banyak bintang terlihat. Beberapa ada malu-malu bertahta. Kupejamkan mata sejenak menengadahkan segala doa. Berharap lupa dan berserah pada semesta. Ada kehangatan kuperoleh. Hangatnya aku kenal. Perlahan memanas. Seuntai mendun

Semua adalah Rahasia, Tentang Kita

Sayangku, hanya kepadamu aku merindu. Di dermagamu aku berlabuh di antara gelap malam tanpa lentera. Tepi senja terbenam rindu bermuara di matamu. Kutepis pelan rambut yang menghalangiku memandang indah parasmu. Kukecup mesra keningmu. Tenang. Jangan menangis sayang. Aku menjagamu. Terluka. Ujung sore yang kita nikmati berdua, kau ingat? Bersamamu aku melepas mentari. Cahayanya yang sebentar lagi digantikan ratu malam. Bukan itu cahayaku. Melainkan kamu. Seseorang yang sedang bersamaku, di sampingku, menghabiskan sepotong hari, menikmati indahnya dunia, melakukan segalanya demi cinta. Indahnya masa muda. Akan sempurna bila menua bersama. Sayang, cinta ini kau lunturkan dengan luka. Deritamu parau. Kini senja tak lagi seindah dulu. Jingganya memerah darah bekas gores luka. Semakin merah, semakin ngilu. Bergegaslah, percuma disini. Hanya luka yang akan membuntuti. Kataku pada hati yang kau bawa mati. Masih terkenang semua tentangmu. Kau, sekali lagi kukatakan kau terindah yang p

Cinta dan Permainannya

Bagiku cinta bukanlah permainan. Cinta adalah tentang hati. Tidak seharusnya cinta dijadikan candaan. Mungkin beberapa orang di belahan bumi lain mengartikan demikian. Apakah cinta serendah itu? Tidakkah terlalu maha besar cinta jika hanya sebagai gurauan? Beberapa hati bahagia karena cinta. Beberapa lain terluka karenanya. Beberapa juga berjuang mendapatkan cinta dengan melukai seseorang. Dimanakah cinta sebenarnya? Apakah sebenarnya cinta? Tanda tanya tanpa jawaban. Bukan retoris, hanya tak ada satu manusia yang benar-benar mampu menunjukkan bahwa ia adalah pecinta sejati. Apa itu pecinta sejati saja tiada yang tahu. Dikutip dari situs-situs dan akun-akun penyebar berita di internet, banyak membuktikan cinta merupakan muara dari segalanya. Bahagia, tawa, canda, air mata, tangis, perang, apa lagi? Luka? Derita? Positif negatif cinta ternyata punya perspektif berbeda. Cinta tidaklah sama di mata manusia. Seseorang yang pernah terluka akan cinta tidak akan semudah itu mengartikan c

Beranda Aku dan Semesta di Pagi Buta

Cinta, satu kata berjuta makna. Kata agung. Ketika cinta menggema, angkasa tak mampu menahannya. Apalah hati manusia, berbolak-balik begitu saja. Mereka yang berjuang mempertahankan cinta akan kalah dengan mereka yang hanya memanipulasi cinta. Bercerita sedemikian rupa. Lihai mereka berbohong. "Aku cinta kamu", "Jangan tinggalkan aku", kalimat yang sempat mencandu hingga akhirnya palsu. Jangan salahkan mereka yang menyerah karena sadar hanya mereka bertahan sendirian. Ketika "Cinta tak harus memiliki" hanya menjadi pelipur. Sesungguhnya cinta harus memiliki. Jika tidak bisa dimiliki, untuk apa dicintai. Jangankan bahagia, sakit bertubi-tubi meracuni sendi. Lepaskan. Bila tak mampu merelakan, setidaknya tidak ada lagi ikatan. Ikat dalam diam. Dalam doa-doa. Aku pernah mencintai seseorang. Ia sampai hari ini masih menjadi inspirasi dalam beberapa tulisan. Ia meyakinkan aku akan segalanya, membuatku bertahan, membantuku mencintai diri sendiri. Aku mencin

Hati yang Kehilangan Masih Ingin Bertahan

Aku pernah mencintai seseorang. Cinta dan percaya menjadi bekalku bertahan. Tak peduli apa kata orang, rasa itu begitu tulus. Mungkin memang ketulusan bukan lagi ketulusan jika diperdebatkan. Tapi hati berkata rasa kepadanya sangatlah dalam. Begitu dalamnya, ia belum tergantikan. Semesta tahu bagaimana cintaku tumbuh. Semesta tahu seperti apa rasa yang tersembunyi tertelan bisu. Sembari menikmati senja terakhir bersarang di matanya, aku berbisik kepada angin tentang betapa sakit luka yang pernah ada. Sungguh menyayat segalanya menghilangkan semi cinta. Angin pun membalas, "Hai kau yang jatuh cinta. Tahukah kau mengapa bisa engkau sebegitu terluka? Adalah engkau terlalu mencintai seseorang yang kau cinta. Engkau yang berharap ia tak pernah menjadi sangkar derita. Engkau pula yang percaya mati-matian terhadapnya. Terimalah lukamu. Sembuhmu adalah kamu." Di malam sama aku bermimpi. Dengan ia aku bersama. Seolah mengulang waktu lalu yang tergilas hari. Bagaimana kami membela

Cerita yang Usai

Pada tepian senja aku menceritakan derita. Aku bercerita kepada angin. Kusampaikan semuanya hingga meneteslah air mata. Seluruh rahasia penyebab nestapa. Sang angin hanya berhembus setiap kali ada bulir bening jatuh dari sudut mata. Ia membelai rambutku. Kukira ia akan menghapus air mata ini, tapi aku tahu air mata ini terlalu membatu. Titik kekecewaan terdalam saat aku diam dan tanpa sebab tiba-tiba ada air mata. Aku hanya bisa menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, berharap aku segera lupa. Kian hari aku berdoa ini semua akan berakhir tak berbekas. Tapi sejauh ini aku belum bisa. Masih ada tanda akan luka. Semoga lekas sembuh wahai yang pernah jatuh cinta. Kupandang lekat matahari yang sebentar lagi pergi. Apakah tidak ada yang benar-benar menetap? Apakah tidak ada yang benar-benar singgah? Pintu yang telah kau buka kini tertutup rapat. Bagaimana caraku membukanya dan mengusirmu dari sana? Bisakah? Padahal setiap malam aku terbangun dari lelapnya mimpi, menyadari

Masih Ada Luka di antara Tawa

Malam bergeming, hujan temaram, gemintang malas menerawang. Seorang anak terbaring pada ingatan. Di tengah samudera air mata. Di antara liku asmara. Di atas pedih menganganya luka. Ngilu ia menatap kaca. Bayang orang tercinta setia di hadapan mata. Ingin lupa namun tak bisa. Seolah candu, kata mesra terlintas kelu. Sebentar sebentar ia mengalir. Tak butuh waktu lama ia berdamai. Waktu tak berpihak, memori hadir kembali. Dingin tak terhingga. Sembrana pula ia titipkan rasa. Ia terima kembali kecewanya. Yang berujung patah segalanya. Kasihan. Semakin ingin melupakan, semakin pula kuat di ingatan. Rabu, 2-22-2017, tanggal cantik di bulan cantik. Tempat segala angan tergantung di langit. Tepat saat memori tentangmu muncul. Dan satu novel yang masih belum habis kubaca.

Disini Merenungi Kau yang Pergi

Mencintaimu bukanlah hal yang aku sengaja. Merindukanmu tidaklah yang aku rencanakan sebelumnya. Memilikimu dalam situasi terburukku adalah anugerah semesta. Aku terlahir sakit, menemukanmu yang mengobati. Kau mengajarkan hidup lebih hidup. "Kita akan menjadi lebih hidup ketika mencintai seseorang." Katamu. Kenyataan memang begitu adanya. Cinta yang kurasa sempurna kau hempas begitu saja. Malam itu, aku mengingatnya. Belati menancap memaksa kepergianmu. Bertubi-tubi ingin aku terbangun dari mimpi. Menyesakkan. Jika kau pergi meninggalkan luka, bolehkah aku menitipkan karma?

Kepada Ilusi yang Ingin Kukemasi

Menerawang angkasa. Merajut asa. Menuai luka. Agar bahagia. Harap-harap tak ada air lagi terjatuh dari sudut mata. Kau kembali. Munculkan memori. Kau hampiri hati yang mau pergi. Aku permisi. Luka belum mengering. Masih menganga. Pilu, ngilu, kelu menjadi satu. Peraduan masa lalu. Denganmu yang aku ingin segera berlalu. Satu tempat, kau masih tersimpan. Tempat lain kau layak dibuang. Mana yang harus terpilih. Mati segan hidup tak mau. Lelah. Jika harus dibiarkan mati, matilah. Jangan tumbuh lagi. Kubur segala nyeri dan ilusi.

Pengiring Hujan Hari Ini

Cerita yang Masih Sama, Luka

Ketika melupakan masa lalu tak semudah bercandamu tentang kita. Lelah sudah perjalanan ini tercipta. Demi beranjak dari luka, kulakukan segalanya. Apapun kusemogakan asal kau bisa kulupa. Mencoba hal-hal baru agar tak mengusik ceritamu. Pantai, gunung, jalanan, semua membantuku. Tidak dengan seseorang. Tidakkah alam punya cara sendiri untuk membantuku melupakan? Tidak dengan cerita seseorang yang hari demi hari hadir mengisi malam. Semesta masih menjebakku dalam buaian masa tentangmu. Bahkan, untuk menjalin kisah baru pun sulit sekali rasanya. Bukan tak bisa pindah. Ada yang merasa lelah dan takut kecewa untuk kesekian kalinya. Senja kali ini aku habiskan di kota kelahiran, Jepara. Jingganya menenangkan. Pesonanya mengalahkan segalanya. Karenanya aku mencoba lahir kembali. Aku yang baru. Aku yang tanpamu. Aku yang membencimu. Lupakan itu. Rasa itu biar aku yang tanggung. Kau tak perlu memikirkan. Senja masih setia menungguku pulang. Ia sedia mendengar keluh. Tak ragu kadang peluh ikut

Buat Kamu yang Ingin Kulupakan

Kenapa melupakanmu begitu berat? Apakah aku masih setia pada masa lalu? Tak bisakah kupandang lurus ke depan? Sayang, kau selalu hadir di setiap sudut mata memandang. Harap kata ingin melepaskan, yang ada ternyata hanya lelah. Ingin diri merelakan, apa dikata hati masih sayang. Doa lekas melupakan, tapi rindu tetaplah rindu. Candu tetaplah candu. Rindu dan candu menyatu. Kamu.

Berawal dari Hujan

Hujan. Apakah kau sama merindu? Tentang kita dan hujan. Malam pertama menghabiskan waktu bersama. Di bawah tenda beralas tikar. Pukul 12.00 malam kita bercengkerama. Membunuh waktu. Berteduh lelah. Hujan dengan deras membanjir. Kau dan aku masih setia berbekal seporsi mie rebus. Dingin di luar. Ada hangat menyelimut diam-diam. Di antara perbincangan sederhana. Berbalut tatap mata manja. Berakhir senyum sipu. Membekas rindu. Akhirnya kau mencandu.

Masih Ada Derita

Tubuh sandaranmu rapuh. Hati naunganmu murka. Masih kau mencinta? Luka disana sudah mereda? Bisa kau megajarinya tertawa? Yang pernah kau cinta kini merana. Nestapa mengusik. Derita di ujung malam berujung candu. Masih ada rindu untuk pilu. Tidak. Ini bukan rindu. Rindu padamu sudah habis kau bumiratakan. Mari berpisah. Aku lelah.

Antara Hati dan Tuannya

Masih sama seperti malam-malam sebelumnya, aku terbangun. Entah kenapa. Sebenarnya apa yang mengganggu tidurku? Aku bahagia? Biasa saja. Aku bersedih? Tidak juga. Lantas apa? Secara teratur dan berirama, malam mampu membangunkan lalu membuat terjaga. Di mimpi mana sekarang aku hidup? Aku bercengkerama sebentar dengan hati. Apakah ia masih terluka? Apakah ia masih belum berdamai dengan keadaan? Apakah ia belum bisa memaafkan? Entah, katanya. Apa yang ia mau? Tak ada, katanya. Apa yang terjadi? Bukan apa-apa, hanya mencoba melangkah dengan kaki terluka, katanya. Oh ternyata masih ada luka. Tak apa, paling tidak ia tidaklah mati rasa. Itu jauh lebih menakutkan. "Hai hati, tempat aku merasa segalanya. Masihkah engkau melibatkan putus asamu kemarin? Tak bisakah kau kunjung pulih lagi? Apakah terlalu sakit yang kau derita hingga sembuh tiada kau dapat sampai sekarang? Masihkah ada sisa rasa percaya di sana? Walaupun bukan untuk orang yang sama, setidaknya milikilah untuk orang lain. K

Rindu Akan Semu Bila Tiada Temu

Subuh kali ini aku merindu seseorang. Seseorang yang aku harap ada. Seseorang yang tak pernah lelah menyemangati walau sesungguhnya ia pun lelah. Seseorang yang mampu membuatku menjadi segalanya. Aku merindunya. Malam demi malam aku memimpikannya. Mungkin karena ini suasana hati jadi berubah tak menentu. Ya, karena rindu yang menggebu. Lama tak bersua menjadikan hati berdebar jika mengingatnya. Satu persatu bulu mata jatuh. Kata orang itu pertanda ada yang merindukan. Kuharap ia juga sama merinduku. Rindu akan semu bila tiada temu. Bukan begitu? Aku ingin berjumpa dengan dia. Memandang matanya, tersenyum bersamanya, bercanda bersama, melakukan semuanya dengannya. Salah? Kurasa tidak. Aku ingin dia. Engkau, apa kabar? Lama tak bersua. Kau baik-baik saja? Semoga engkau tak kurang suatu apa. Ada namamu terhembus di sela tengadah tangan pada-Nya. Aku merindukanmu. Ibu. Dari anakmu yang belum bisa apa-apa.

Jingga yang Begitu Getir

Malam demi malam berlalu. Gugusan bintang nampak begitu agung perkasa di atas sana. Bulan juga dengan anggunnya sinarkan lembutnya. Di hadapanku ada jingga tak tak pernah usai. Jingga yang berkedip bagai mata seseorang yang pernah aku cinta dengan amat sangat. Rasa yang tertanam begitu dalam. Untuk menghapusnya, tubuh ini merintih kesakitan. Sendirian. Aku berdiri tepat di sini. Diantara malam, gemintang, bisik angin, dan jingga yang selalu kukagumi. Tiada keindahan tanpa rasa sakit. Untuk melihat jingga yang sempurna, bisakah aku melihat langit diam saja? Jangan ada hujan malam ini. Bilapun air mata menetes, biarlah. Semesta sudah tahu rapuhnya seorang itu. Diam dalam kepedihan mendalam, menyayatkan luka tiada henti. Sampai kapan? Sampai waktu memberi aba-aba untuk memaafkan. Tepat di ujung jingga kugetirkan apa yang disebut derita. Akankah dunia mendengar? Aku tak peduli. Bila tak mendengar juga tak apa. Masih ada cara menyampaikan keluh. Barangkali dengan sendirian, semua akan pad

Kamu

Kamu adalah racun. Kamu begitu candu. Kamu adalah kopi yang memaksaku menenggakmu. Aku bukan penikmat kopi. Tapi aku menyukai kamu yang hadir di hidupku. Kamu adalah hujan. Kamu adalah siang. Kamu adalah surya. Kamu adalah ketiganya yang aku jumpai setiap hari. Kamu buat pelangi yang mampu mengelabuhi hati. Kamu adalah nadi. Kamu adalah sendi. Kamu adalah aku. Kamu, bunuhlah aku!

Terbangun Lagi

Teringat lagi aku akan engkau. Bagaimana caramu memelukku, menatapku, tersenyum ke arahku, tawamu, tak mampu kulupa. Satu persatu melintas manis. Saat kita berboncengan membelah jalanan, saat kita duduk berdua menikmati senja, saat kita berjalan beriringan, semua itu selalu hadir di malamku seperti ini. Mereka memaksa masuk tanpa permisi seperti engkau yang hadir lalu menaruh hati. Mereka yang membangunkanku di antara malam begini. Tak bisakah kau biarkan aku tidur nyenyak? Oh sekalah air mataku. Iringan lagu dari salah satu radio ternama masih bersendawa. Siapa lagi yang menemani malamku selain lagu-lagu itu? Dulu memang ada engkau, tapi sekarang berbeda. Engkau bukan lagi engkau yang kutemui dulu. Engkau mendadak diam. Lalu aku, aku tak mampu memulai duluan. Ada rasa trauma berkepanjangan. Sering aku memohon pada Tuhan, beri aku kekuatan untuk melangkah tapi yang kudapat hanya bayangmu saja. Lagi, kau membuatku jatuh berkali-kali. Apakah aku telah mati? Kau, hapuslah air mata yang m

Prosa Sederhana di bawah Langit Malam

Malam ini langit terlihat mendung. Pendar sinar lampu kota memantul angkasa. Kutengadahkan kepala kepadanya meminta lupa. Tubuhku terlentang terhempas ke atas tanah. Rerumputan tak mampu membantuku menahan sakitnya. Kutemukan ada diri lain di hadapanku. Ia tersenyum padaku. Matanya mengingatkanku pada seseorang. Aku tak mampu berpikir apa-apa. Kupandangi ia. Bayangannya perlahan memudar. Sampai ia benar menghilang. Tubuhku masih ada di atas hijau rerumputan. Tepat di bawah langit malam aku prosakan segalanya. Tentang engkau, aku, kita, bahagia dan luka. Semua menjadi satu dalam cerita. Melebur bersama uap embun dingin malam. Kekal beriringan udara. Satu melodi tercipta dari air mata dan cinta. Aku menyebutnya kita.

Hati yang Terbawa Mati

Pagi ini aku bercermin. Bangun tidur di pagi buta dan merasakan semuanya. Kupikir tubuhku mengurus, mataku layu, pandanganku kosong, lebih dalam lagi ada luka yang masih basah dan menganga. Seperti kemarin, aku masih berdiri di ujung tebing. Tak tahu harus melangkah kemana. Apakah aku harus menerjunkan diri ke dalam sana atau haruskah aku meniti jembatan yang siap putus kapan saja ataukah mungkin aku harus kembali? Kembali kepadamu? Oh aku sudah gila. Aku kembali ke sangkar derita? Ingin kujaga hati ini agar tak kecewa untuk kedua kalinya. Kembalikan hati yang pernah tak peduli tentang orang lain. Kemarilah hati yang dulu keras bagai batu. Aku ingin tahu kabar aku yang dulu. Aku yang ada sebelum mengenalmu. Melangkah ternyata tidak mudah, apalagi setelah terluka. Untuk berdiri saja butuh kekuatan. Kekuatan yang datang dari dalam diri. Tapi bagaimana dengan orang yang tak mampu melakukannya? Bagaimana jika ada orang yang tak kunjung sembuh dari lukanya? Senyumnya yang pura-pura. Ta

Dini Hari yang Membangunkan Seluruh Derita

Kau seperti senja yang kemarin aku buru. Hilangmu meninggalkan malam berkepanjangan yang tak mampu kutanggalkan dalam lelap. Di antara lelapku masih sering kau hadir menyisakan kenangan jatuh bertubi. Aku yang sendirian ini bisa apa. Aku mengutuk diri sendiri agar mampu melangkah. Berkali-kali aku bicara pada hati agar mampu mendamaikan diri. Nyatanya yang kudapat hanya semakin basah luka terbasuh air mata. Sebenarnya, apa yang membuat luka sebegini deritanya? Tidakkah itu tanda tanya besar untuk seseorang yang sudah tak percaya akan cinta? Kepadamu aku pernah menaruh hati utuh. Bersamamu aku pernah mengamini seluruh doa, berharap akan jadi selamanya. Jauh di diri ini ada kau yang melukis senyum bahagia. Semesta tahu, gema teriakanku tak akan mampu ia bendung. Yang akhirnya hanya jatuh abadi dan biar aku saja yang tahu. Hati yang tertinggal ini sedang sakit. Ia tak tahu bagaimana menemukan hal-hal yang membuatnya bahagia kembali. Ia masih jatuh di dalam jurang nestapa gulita. Tak ada

Hati yang Terluka belum Bisa Melangkah, Tolonglah

Lama kumemendam luka ini. Luka yang tak mampu aku sembuhkan. Entah sampai kapan. Ingin aku melupakan. Tapi setiap kali memori datang, sakit kembali menyeruak bagai belati bertubi-tubi menancap di hati. Luka yang tak kusangka ada. Luka yang aku tak berdaya dibuatnya. Luka yang tak kupercaya bermuara darimu. Engkau yang aku cinta. Engkau yang aku semogakan menjadi sumber bahagia, ternyata menjadi sangkar adanya luka. Engkau yang namamu selalu terucap dalam tengadah tangan, ternyata menyisakan sesak amat sangat. Engkau yang katanya dulu kita sehati, tidakkah kau rasakan betapa dingin duniaku sekarang? Pegang jantungku, rasakan denyutnya. Sebanyak itulah engkau kuingat dan selalu membuat tetes air mata tumpah. Kau datang saat aku butuh seseorang dan kau pergi saat aku terjatuh. Kau datang mengisi hari. Tiada malamku tanpa hadirmu. Ingat saat entah sampai jam berapa kita saling beradu lewat udara? Saat kita tiada hentinya saling berkabar. Ketika kita tertawa bersama, kadang ada perseli

Senja yang Mengingatkan Semuanya

Senja hari ini. Aku ingat, aku pernah jatuh hati setengah mati pada seseorang. Betapa aku gila dibuatnya. Sungguh ia yang pertama membuatku sebegini jatuhnya. Banyak yang telah singgah tak mampu menarikku ke dalam peluk yang amat dalam. Mereka hanya mampu mengantarkaku sampai di ambang pintu. Tak ada yang mampu menyeretku ke dalam. Berbeda dengan dia. Sampai sekarang aku tak tahu kenapa aku bisa jatuh cinta kepadanya. Aku tak memandang rupanya, fisiknya (yang dia selalu cemberut ketika aku bilang gendut), materi (ah otakku tak mampu berpikir sejauh itu), entah. Aku mencintainya tanpa alasan. Mungkin karena aku tak butuh alasan. Dan aku memilihnya tanpa pilihan. Aku tak ingin menjadi pilihan. Begitu pula aku memperlakukannya. Suatu hari ia bertanya apa aku lupa semuanya. Kujawab saja tidak. Mana mungkin aku melupakan dia, orang yang membuatku jatuh cinta teramat dalam. Orang yang mengambil segalaku. Orang yang merubah duniaku. Mana mungkin. Butuh waktu dan kerja keras untuk itu. Sa

Hati yang Mencari Teman

Selalu terbangun di tengah tidur. Pikiran melayang-layang tak terarah. Aku ingin tidur nyenyak. Tak bisakah aku amnesia saja? Aku lelah. Lelah dengan hati yang selalu memberontak. Lelah dengan hati yang mendendam. Lelah dengan hati yang sampai sekarang masih kesakitan. Bisakah aku melupakannya? Paling tidak aku tak boleh terbangun dan terjaga seperti ini di malam hari. Atau mati. Ternyata tak mudah bertahan di situasi seperti ini. Menyembunyikan sesuatu hanya akan menjadikan luka semakin perih. Namun mengungkapkannya pun kurasa akan sia-sia saja. Mau menangis di depan siapa? Diri ini terlalu sendiri. Bukan. Bukan sendiri. Ia hanya tak tahu bagaimana caranya berbicara. Tak ada yang tahu apa yang ia rasa. Ia sendiri juga entah bagaimana mengartikannya. Yang ia tahu, saat ini ia sedang susah. Susah melangkah, gelisah. Bintang malam ini terlalu sedikit. Aku hanya bercerita pada langit. Ia diam. Hitamnya menandakan tiada jawaban. Bulan enggan membantu. Akhirnya aku bercerita pada lampu-la

Coklat Pagi Ini

Selamat pagi Januari. Aku masih disini menata hati. Memperbaiki semuanya. Belajar meninggalkan kepingan-kepingan lalu. Mencoba menyembuhkan luka yang masih menganga. Cinta, jangan dulu datang begitu saja. Ada yang belum siap menerimanya. Ada yang masih takut kecewa untuk kedua kalinya.