Cinta, satu kata berjuta makna. Kata agung. Ketika cinta menggema, angkasa tak mampu menahannya. Apalah hati manusia, berbolak-balik begitu saja. Mereka yang berjuang mempertahankan cinta akan kalah dengan mereka yang hanya memanipulasi cinta. Bercerita sedemikian rupa. Lihai mereka berbohong. "Aku cinta kamu", "Jangan tinggalkan aku", kalimat yang sempat mencandu hingga akhirnya palsu. Jangan salahkan mereka yang menyerah karena sadar hanya mereka bertahan sendirian. Ketika "Cinta tak harus memiliki" hanya menjadi pelipur. Sesungguhnya cinta harus memiliki. Jika tidak bisa dimiliki, untuk apa dicintai. Jangankan bahagia, sakit bertubi-tubi meracuni sendi. Lepaskan. Bila tak mampu merelakan, setidaknya tidak ada lagi ikatan. Ikat dalam diam. Dalam doa-doa.
Aku pernah mencintai seseorang. Ia sampai hari ini masih menjadi inspirasi dalam beberapa tulisan. Ia meyakinkan aku akan segalanya, membuatku bertahan, membantuku mencintai diri sendiri. Aku mencintai diriku yang mencintainya. Ia membuatku berdiri menantang aral. Ia membakar semangat hari-hariku dengan senyumannya. Matanya, tawanya, itu yang aku jaga. Tak ingin ada duka di penghujung harinya. Semua tampak indah saat berdua bersama. Tanpanya aku tiada. Bersamanya aku sempurna. Segalanya ada padanya, termasuk aku. Sungguh, betapa indah jatuh cinta. Aku ingin dunia tahu bahwa aku bahagia. Semesta harus tahu, aku sedang jatuh hati. Bawalah hati ini kasih. Taruhlah pada tahta tertinggi di singgasanamu. Penjarakan ia agar tidak kemana-mana. Aku ada bersamanya.
Aku pernah berjuang hingga jatuh dalam kekecewaan. Apa yang membuatku kecewa? Sampai detik ini aku bertanya. Seandainya ia mencintaiku sama seperti aku padanya, ia tak mungkin mengecewakan. Ia tak cinta padaku? Lantas kata cinta yang beberapa waktu lalu keluar dari bibirnya apakah hanya gurauan? Mungkinkah genggaman tangannya yang mengajakku terbang, ketika sudah sampai di puncak ia menjatuhkan aku demikian? Ataukah aku yang hanyut mencintainya mati-matian sampai tak melihat belati yang ia tancapkan di dada berselimut pelukan? Sayang, pandai sekali ia bermain. Kukira untuk mengucap kata cinta sangat tidak pantas buatnya. Cinta terlalu agung keluar dari mulut para pendusta. Tak usah mengatasnamakan cinta bila hanya bercanda. Aku tak pernah bercanda soal hati. Dan ia menertawakan hati yang telah ia buat bersimpuh kepadanya. Kekecewaan ini tak layak ada. Tak sepantasnya rindu bersarang padanya. Manusia malang.
Hari demi hari aku ingin bebas. Bebas dari belenggu rasa sakit. Ingin melupakan, tapi tak kunjung sembuh. Aku memang tak bisa melupakannya. Tak apa, karena ia pernah masuk ke dalam hidupku dan membuatku mengenal asam manis cinta. Tak dipungkiri ia pernah membuatku bahagia. Setidaknya ketika kami bersama memadu asmara. Bukan itu masalahnya. Aku ingin sembuh dari luka yang ia sayat. Itu saja. Karenanya, mengenal orang-orang baru di sekeliling terasa susah. Ingin melangkah namun lumpuh. Pernah ia berjanji akan menyembuhkan, tapi pendusta tetaplah pendusta. Kesempatan kedua yang tak akan pernah kuberi lagi padanya atau penyesalan akan datang lagi dan lagi. Semesta, lihat ia sekarang. Sampaikan kabar duka padaku bila ia tak bahagia. Akan kurayakan dengan seteguk anggur yang sudah di tangan. Mari bersulang merayakan kehilangan.
Minggu, 19 Maret 2017, ketika 2 bayi kucing mungil lahir dan ia masih melekat di memori.
Comments
Post a Comment