Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2020

Datangmu dalam Petangku

Tak ada mimpi yang berujung. Kau datang dengan caramu. Memaksa mata memandangmu. Di dalam mimpi kau tak tanggal. Mengikuti jauh sampai samudera. Sayu cara pandangmu. Dan, melepasmu aku tak mampu.   Jangan pergi. Aku mau. Add caption

Pembunuh Itu Bernama Rindu

Segenap bintang menyiratkan cahyamu. Rembulan memucat. Angin menderau. Kali ini hujan mengalah pergi.   Hai... Aku tak sanggup menatapmu. Sungguh. Berburu kutekan tombol Kembali di layar ponselku. Sungguh. Kau membius.   Udara membeku. Waktu mengerdil. Semesta tertawa. Lalu hatiku kelu.   Engkau terlalu jauh. Tanganku tak sampai. Jahat benar dunia. Tiada bantu seorang anak yang perlahan merapuh.

Rindu yang Lucu

Perkara merindukanmu aku tak pernah kenal rasa lelah. Kepada angin aku titip peluk. Kepada bintang aku sematkan kecup. Melalui lagu aku rapalkan doa. Semoga engkau merasakan. Malam kali ini tidak cukup gelap. Ada seberkas cahaya di antara semua gulita. Lentera demi lentera sukarela mengembara. Menjemput hati yang tengah tersesat di belantara. Rindu katanya. Angkasa tertawa mendengarnya. Langit tak kuasa menahan gemuruh tawa hingga meledak nebula-nebula kecil antariksa. Angin begitu riang hingga ombak sekian meter tak sengaja dibuatnya. Selucu itukah?

Cerita kepada Senja

Senja adalah satu-satunya hal yang aku cintai saat ini. Tidak ada yang melebihi teduhnya. Pesona jingga memanjakan mata terkadang enggan kuizinkan mata kamera ikut menikmatinya. Keindahan ini enggan aku bagi-bagi. Burung camar bebas sekali menari-nari mengarungi cakrawala. Menambah magis senja membius pemujanya. Sesekali ia mampir menyalami riak ombak. Entah mencari apa. Aku pastikan jarang sekali ikan nampak di perairan ini. Hai pasir, kenapa engkau diam saja? Apa yang sedang kau pikirkan? Begitu pasrah engkau membiarkan ombak dengan bebas dan sombong menyetubuhimu. Tidakkah kau geli karenanya? Ataukah sebegitu cinta kau kepadanya hingga kau rela ia menyeretmu masuk ke dalam sukmanya? Tanpa tahu ujungnya kau akan berlabuh di mana. Ah senja, beruntung sekali kau mendapati hati yang benar-benar kosong ini. Aku tak tahu pasti seperti apa manusia yang mampu mengisi kosong ini. Terlalu lelah menulis cerita sama setiap hari. Terlalu tabah melihat luka menggoresi nadi. Terlalu pasrah b

Cinta, Rindu, dan Segala Isinya

Pernahkah kau merasa dicintai seseorang dengan tepat? Ia mencintaimu dengan caranya memahami duniamu. Ia merelakan cemburunya demi hal-hal yang kau suka. Ia senang melihatmu tenggelam dalam duniamu. Pandangannya tak lepas darimu meskipun kau memilih menikmati bacaan atau gim   di tanganmu. Bahkan ketika tawamu meledak, ia ikut tertawa tanpa mengapa. Setiap pagi datang, rindu tak pernah terbuang. Siang menjelang, makan siang ditemani ucapan semangat hangat. Senja membentuk tali tunggu yang semakin hari semakin haru. Malam bergemintang gugus Aquarius menandakan namamu jelas dalam radius. Sebegitu tepat waktu mengatur ritme mengulangnya rindu. Meski berputar, tolong, jangan berakhir. Ini masih terlalu awal.

Kamuku

Peraduanku masih tentang senja. Perihal namamu yang terbang bersama jingga. Juga semilir angin menyibak resah. Betapa tidak, sesederhana ini kau kurindu. Sesulit itu pulakah aku memilikimu?

Semestaku Bernama Dia

Bersama senja-senja berdatangan aku memandang dunia. Bergelas-gelas kopi habis tersisa ampas. Belai angin memaksaku menutup mata membayangkan wujud kesempurnaan. Gelap. Sepekat kopi yang sedari tadi merasa asing. Kuteguk pahitnya. Ada sebuah perasaan ingin diselamatkan. Matahari dan bulan ditakdirkan hidup dalam jarak. Betapa jauhnya mereka hingga dengan pengantar cahaya mereka bercengkerama. Tak lelah mentari memberi sinarnya demi rebulan. Tanpa henti. Demi dunia bernama bumi, ratu dan raja semesta itu rela tak peduli jauh jarak antara mereka. Begitulah agungnya cinta. Semesta menggaungkannya. Demikian ruang dalam diri ini berbicara, Kasih. Dalam gelapnya langit, berbagai bintang berlomba menjadi lentera. Gemerlapnya begitu rupawan. Satu bintang tersenyum cerah. Matanya berbinar membuat lupa kepalang. Lambaian tangannya meruntuhkan tebing yang kubangun tanpa makna setelah patah. Kugapai uluran tangannya sembari berbisik bahwa aku tak akan melepaskannya. Satu terindah dari yang ter

Senja dan Jarak yang Saling Bertarung

Aku cukup jengah dengan jarak. Ia seolah-olah tak beretika. Tanpa peduli perasaan seorang anak manusia menanggung rindu yang sangat menyebalkan. Jarak ini tak bisa diukur dengan jengkal. Beratus kilometer jauhnya ia ada di sana. Menapaki waktu yang tak menjanjikan temu. Selalu jarak menjadi pengingkar. Tidak bisakah sedikit saja kau mengalah? Pada setiap malam yang dingin selalu bayangnya merasuk. Hawanya menyentuh rusuk. Terulur tangan merapuh menuju sesuatu yang jauh. Nanar mata ini berharap pada bulan berbinar. Percaya diri sekali senyumnya mengolok-olok harapku yang entah menjadi nyata atau fana. Barangkali ia tahu jawabnya. Setidaknya sedikit saja ia bisikkan secercah cerita tentangnya. Sengaja kukosongkan bangku sebelah. Tak pernah ada seorang berani mendekat. Andai ada pun aku abai. Tempat ini telah tertulis namanya. Ukiran indah menghiasi sandaran tangannya. Tepat nanti tanganmu dan tanganku bergenggaman. Saat itu terjadi, betapa aku tak ingin melepasnya pergi. Cukup sekali

Sederhananya, Kita Rumit

Beberapa hal sederhana terbilang rumit. Sebaliknya ada hal rumit yang ternyata sangat sederhana ketika dilakukan. Banyak orang memilih melihat dari luar daripada harus repot menelaah lebih dalam. Asumsi timbul beriringan dengannya. Sebuah argumen disebarkan. Anggukan kepala bagi mereka yang mengiyakan. Gelengan kepala berbuntut terpinggirkan. Sederhana sekali menemukan kebenaran bukan? Hitam putih yang kau puja selalu terngiang di kepala. Tentang apa yang semua orang percayai kebenarannya, perihal segala bentuk ketidaksucian yang dapat mencederai keharmonisan alam. Bagaimana dunia berlangsung jika hanya memandang hitam dan putih? Bukankah akan sangat tidak menyenangkan hanya berkutat di kedua warna itu? Seperti yang tergambar sebelumnya, kau hanya memegang dua pilihan. Iya atau tidak. Begitu sederhana kan ketika ingin memutuskan sesuatu? Pada malam yang begitu dingin kau bertanya sambil membenamkan wajah lugumu ke dalam dekapku. Semakin dalam semakin tak kuasa kau menahan letupan r

Pelita Tanpa Nama

Apa kabar, Pelita? Lama tak bersua. Baik-baiklah kau di sana. Demi senyummu, janganlah ada yang menggores luka. Kepada binar matamu, jagalah sinarnya. Tak baik jika ada setitik sendu menyapa. Lalu di sela-sela jemarimu, biar aku saja yang melengkapi kosongnya. Sudah kusiapkan bingkai-bingkai romansa menjelang senja. Sembari mengantar perginya mentari, kuantar pula engkau menuju ruang paling megah dalam singgasana semesta. Hiduplah di sana menikmati sisa usia. Kita bersama, selayaknya laut dan ombak enggan ada jarak di antara mereka. Pernah sekali kutemui engkau dalam bunga tidurku. Tidak biasanya kau hadir begitu. Di mimpiku kita berjalan beriringan berdua saling mendekapkan telapak tangan. Aku ingat betul tepat di tepi pantai, malam hari kita bercengkerama tiada usai. Sesekali aku berjalan di belakangmu. Aku tak ingin tersipu jika kau tahu bagaimana mataku memandangmu tanpa merasa kelu. Sungguh, kau kuncian segala termangu. Biar aku saja dan dunia yang mengerti arti tatap mata ini t

Mengendapnya Kata-Kata

Kau masih belum terlepas dari memori. Tangan ini kosong tanpa uluran jemarimu. Hampa pandangan mata ini tanda hadirmu. Tiada isi menyemai setiap hari. Bersamaan dengan itu, penuhlah isi kepalaku dengan namamu. Sedang apa kau di sana, bagaimana hari-harimu, makan apa kau nanti, dan segala bentuk kekhawatiran lainnya. Bukan apa-apa, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Di sela rutinitas, tak jarang kubuka aplikasi perpesanan demi melihat kau sedang aktif atau tidak. Buru-buru kututup aplikasi setiap melihat kau online . Lucu sekali setiap aku sadar telah melakukan itu. Kenapa sapaan-sapaan selalu naif terpendam? Tak bisakah layaknya semua orang yang dengan mudah menanyakan apa kabar? Semua perkataanku selalu tenggelam dan akhirnya terbuang. Seperti endapan ampas kopi di dalam gelas-gelas pemabuknya. Sebenar-benarnya sumber kenikmatan yang teracuhkan. Usai berkali-kali menatap layar ponsel, pikiranku melayang tak tentu arah. Ada kalanya aku memandang langit dengan tatapan ya

Kita, Jarak, dan Sebuah Sesal

Jauh darimu bukan berarti menarik diri darimu. Sebuah perasaan muncul tiba-tiba ketika waktu kita sekarat. Matamu, senyummu, gaya bicaramu, tak ingin aku memandangnya usai. Bisakah hal-hal itu tetap ada bersamaku? Ingin kugenggam jemarimu dan tak kulepas. Menjaga senyummu adalah tugas yang ingin kusematkan pada diriku di hari-hari ke depan.  Kau paham perkenalan kita masih seumur jagung. Tak banyak perbincangan antara kita. Obrolan mengalir apa adanya. Tak ada yang istimewa. Demikian bagiku. Semua biasa saja. Sebiasa orang-orang datang dan pergi pada masanya.  Akan ada satu titik di mana manusia mulai berkata seharusnya. Kalimat-kalimat yang ia tujukan kepada masa lalunya. Cerminan sebuah penyesalan.  Aku duduk diam dalam bekunya waktu. Saat pandangan mata kita bertemu. Sungguh aku tak ingin kehilangannya. Terkadang mutiara itu sedikit menyipit karena tawa. Aku bersyukur tawa itu pengaruh dari obrolan kita yang kadang tak ada artinya. Sekadar bualan anak muda yang merasa riuh.  Melihat