Bersama senja-senja berdatangan
aku memandang dunia. Bergelas-gelas kopi habis tersisa ampas. Belai angin
memaksaku menutup mata membayangkan wujud kesempurnaan. Gelap. Sepekat kopi
yang sedari tadi merasa asing. Kuteguk pahitnya. Ada sebuah perasaan ingin
diselamatkan.
Matahari dan bulan ditakdirkan
hidup dalam jarak. Betapa jauhnya mereka hingga dengan pengantar cahaya mereka
bercengkerama. Tak lelah mentari memberi sinarnya demi rebulan. Tanpa henti.
Demi dunia bernama bumi, ratu dan raja semesta itu rela tak peduli jauh jarak
antara mereka. Begitulah agungnya cinta. Semesta menggaungkannya.
Demikian ruang dalam diri ini
berbicara, Kasih. Dalam gelapnya langit, berbagai bintang berlomba menjadi
lentera. Gemerlapnya begitu rupawan. Satu bintang tersenyum cerah. Matanya
berbinar membuat lupa kepalang. Lambaian tangannya meruntuhkan tebing yang
kubangun tanpa makna setelah patah. Kugapai uluran tangannya sembari berbisik
bahwa aku tak akan melepaskannya. Satu terindah dari yang terindah. Satu yang
terpilih dari semua yang datang. Satu yang sungguh di antara mereka yang
singgah.
Telah ia isi ruang semestaku. Ia
duduk di atas singgasana yang kubangunkan untuknya. Bermahkota bahagia
kusematkan. Sebuah istana megah berbentuk hati menghadap senja. Luasnya samudera
tak sebanding dengan halaman yang kuciptakan dari berbagai jenis bunga.
Warna-warninya mengalahkan anggun pelangi. Sempurnakanlah, Kasih.
Comments
Post a Comment