Kau masih belum terlepas dari
memori. Tangan ini kosong tanpa uluran jemarimu. Hampa pandangan mata ini tanda
hadirmu. Tiada isi menyemai setiap hari. Bersamaan dengan itu, penuhlah isi
kepalaku dengan namamu. Sedang apa kau di sana, bagaimana hari-harimu, makan
apa kau nanti, dan segala bentuk kekhawatiran lainnya. Bukan apa-apa, aku hanya
ingin memastikan kau baik-baik saja.
Di sela rutinitas, tak jarang
kubuka aplikasi perpesanan demi melihat kau sedang aktif atau tidak. Buru-buru
kututup aplikasi setiap melihat kau online.
Lucu sekali setiap aku sadar telah melakukan itu. Kenapa sapaan-sapaan selalu
naif terpendam? Tak bisakah layaknya semua orang yang dengan mudah menanyakan
apa kabar? Semua perkataanku selalu tenggelam dan akhirnya terbuang. Seperti
endapan ampas kopi di dalam gelas-gelas pemabuknya. Sebenar-benarnya sumber
kenikmatan yang teracuhkan.
Usai berkali-kali menatap layar
ponsel, pikiranku melayang tak tentu arah. Ada kalanya aku memandang langit
dengan tatapan yang mungkin dikira kosong oleh sebagian orang. Di antara awan
putih di atas sana, ada yang menjelma menjadi sesosok manusia yang paling
kurindukan. Seseorang yang diam-diam mengisi penatnya hati. Seseorang dengan
senyum dan mata paling indah. Seseorang yang entah sejak kapan membuka pintu
berkarat bernama hati. Uniknya, semakin lebar pintu terbuka, semakin aku diam
merasakan lara. Tidak ada yang lebih nestapa dibandingkan mendengapnya
kata-kata.
Comments
Post a Comment