Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2018

Ilusi Maya di Ujung Senja

Cinta tumbuh kapan saja, dimana saja dan entah bagaimana. Berawal dari pertemuan-pertemuan sederhana. Senyum saling sapa. Konflik tak terduga. Tak jarang mengena. Dari sanalah hidup jauh terasa lebih hidup. Ketika beberapa masalah datang dan tak pernah merasa keberatan. Suaranya lain. Mengisi hariku melebihi cuitan camar di kala senja. Ada yang bilang padaku bahwa aku harus lebih cepat mengambil keputusan. Keputusan seperti apa, balasku. Lantas ia menepuk bahuku. Ia sadarkan aku dari lamunan. Ia mengerti. Jelas terlihat di kedua matanya isyarat itu. Kami terdiam. Bagi sebagian orang, jarak bukan masalah. Kata mereka jarak menjadi ruang satu pasangan memupuk rindu. Kalimat saja butuh jeda antar kata, kata seorang penyair. Tentu demikan dengan satu hubungan. Jeda dalam arti jarak terkadang dibutuhkan. Sebagai pengingat bahwa kedua orang dalam ikatan itu adalah satu. Kurasa itu benar adanya. Hanya saja beberapa waktu terakhir ada perbedaan terolah dalam diriku. Aku bertemu orang baru.

Sisi Magis Tinjomoyo

Salah satu tempat wisata yang menjadi primadona di Semarang. Berlokasi di dekat kampus Unika menjadikannya mudah diakses. Menyuguhkan alam yang sejuk dengan dialiri sungai, dihiasi pepohonan, beberapa bekas sangkar hewan (pasalnya dulu tempat ini berupa kebun binatang). Satu yang menjadi ciri khas adalah Pasar Semarangan. Namun sayang sekali pasar tersebut sudah jarang beroperasi. Menyisakan gasebo-gasebo berbahan bambu. Harga tiket masuk Tinjomoyo tidak akan menelan isi dompet. Cukup dengan Rp. 5.000,- kita bisa masuk menikmati keindahannya. Tempat ini sangat cocok bagi para fotografer yang ingin memberikan nuansa alam di karyanya. Bukan hanya alam, beauty juga tidak kalah pas. Perpaduan cahaya, konsep, model, dan latar akan mendukung. Penasaran? Langsung saja berkunjung kemari. Yuk piknik.

Nostalgia Kopi

5 tahun berlalu. Buah kurang lebih 1 bulan disana adalah kenangan. Memori maha dasyat yang agung. Tawa, canda, idealisme, perspektif, gaya hidup, detail-detail pribadi mewarnai lembar demi lembar kisahnya. Saat 8 anak mencari jati diri, kokoh dengan pemikiran masing-masing dikumpulkan pada satu titik dimana mereka harus mengukir sejarah bersama. Tentu cerita yang pantas diabadikan di masa depan. Tempat kecil dengan potensi besar. Warga yang ramah dan aktif di berbagai kegiatan, pemuda-pemuda yang handal bersepak bola, para perangkat yang membaur, dan kedelapan anak itu yang mencoba menyatukan berbagai elemen disana. Mampukah mereka melakukannya? Bisakah mereka meredam ego sendiri? Apakah sejarah akan terukir manis? Dunia membuktikan. Hari-hari awal menjadi masa menyesuaikan diri. Mereka mencoba memahami karakter satu sama lain. Setidaknya dari perbedaan itu, mereka punya bidang masing-masing. Perbedaan memang indah. Yang sulit adalah cara menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan

Cerita dalam Kanvas

Siapa tak suka senja. Ribuan mata tertuju padanya. Indah merah cakrawala. Putri kerajaan bidadari menyambut mesra. Ukiran kalbu Sang Rahwana. Jangankan jiwa, surga akan ia serahkan. Inilah bukti megahnya cinta dalam sukmanya. Andai kata kau adalah bunga. Senja akan menjadi teman menjemput bahagia. Temaram jingga ada di ujung cakrawala. Untaian melodi mengajarkan rindu. Tapi tidak dengan secangkir kopi ini. Ibarat hujan, kau adalah sela-selanya. Pengembara jalanan membelah debu. Ribuan cerita tertulis di kanvas. Ia berkelana demi cintanya. Mengarungi luasnya semesta. Aku memandangnya. Dalam kebekuan rintik hujan. Alam bersimponi begitu sejuk. Yang terlukis hanya merah di langit sana. Aku tetap diam. Nomina rindu tak terbendung. Tidakkah kau merasakan sama? Ia yang menjelma menyayat tanpa suara.

Aku dan Bintang

Pertemuan demi pertemuan berbuah rindu. Ia mengusang. Berkarat tak berbentuk. Sebentar lagi hancur. Ia mengendap tanpa ada yang tahu. Begitu besar hingga mengalir membanjiri nadi. Jiwanya lelah menopang. Gemanya mengangkasa. Membuat sakit di dada. Tawamu menjadi tujuan. Kucuri pandang matamu yang kian hari kian meneduhkan. Hangatmu melelehkan dinginku. Membara apimu mampu meluluhkan keras bekuku. Bergetar duniaku begitu kulihat dirimu. Berjalan, menatap satu titik, tetap begitu hingga berlalu. Dan aku, cukup bahagia hanya dengan mengamatimu. Setiap detailmu indah menetap. Kupandangi lekat. Kuulurkan tangan meraihnya. Perlahan kugapai bintang itu. Sedikit lagi. Mataku terpejam. Menyilaukan. Aku membuka mata. Sudah pagi. Bersiap hal itu berulang lagi, lagi, dan lagi. Kau tahu, betapa sulitnya aku ketika hendak bertanya apakah kau sudah makan atau belum? Kalimat sederhana yang tak mampu terucap. Hati semakin berontak saat diam membelenggu. Sekadar kirim pesan pun aku tak mampu. Cerita

Kopi, Pagi, dan sebuah Mimpi

Mentari terbit dengan agungnya. Perlahan mataku terbuka. Bayang-bayang muncul memenuhi sesak. Perihal engkau yang muncul di mimpiku. Entah bagaimana kau hadir di bunga tidurku. Kau juga lah sepertinya sudah menjadi bunga di setiap hariku. Kau pancarkan pesona menenangkan gundahku. Kau tersenyum bagai kopi mencanduku. Tak ada alasan bagiku tak menerimamu. Bagaimanapun, aku tetaplah aku. Seseorang yang menantimu bersandar di bahuku. Kenyamanan mungkin kunci suatu hubungan. Kosongnya hati mengisyaratkan harapan. Seiring berlangsungnya pertemuan, aku ingin mengenalmu lebih. Kau seperti kopi tubruk. Lugu, sederhana, namun begitu istimewa ketika aku mengenalmu lebih dalam. Tetaplah seperti itu, menjadi racikan kopi di setiap pagi aku membuka mata.