Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2017

Sepotong Kue Manis di Akhir Cerita

Bahagia katanya sederhana. Sesederhana senyuman manja seorang yang dicinta. Layaknya kepompong, mungkin kita sama. Sedang dalam masa metamorfosis. Lalu, di bagian mana kita dipandang lebih baik? Kau sempat ada di hidupku. Kau sempat menjadi jalan untukku pulang. Kau pernah pula menjadi alasan betapa aku ingin terjaga setiap malam. Kau, alasanku untuk hidup. Aku. Kau bilang aku adalah segalanya. Aku yang utama katamu. Bahagiamu sekarang tak pernah sebahagia kala bersamaku. Palsu? Sejauh langkah kakiku terrajut, kau memang yang terindah. Sungguh kau telah merubahku menjadi manusia yang melek tentang dunia. Kepada hati, aku tak pernah bercanda. Sajak tentangmu mengalir setiap malam. Perihal bahagia. Perihal nestapa. Sedikit cerita sederhana seseorang pemuja cinta. Cinta yang baginya adalah segalanya kini harus musnah berlumur noda. Masihkah engkau pantas berucap kata maha agung itu, wahai yang pernah aku cinta. Bertanyalah pada kaca, sampai mana kau layak untuk dicinta.

Sepercik Imaji Masa

Tak bosan aku berkata bahwa aku pernah mencintai seseorang dengan amat sangat. Setiap hari aku jatuh cinta padanya. Matanya, senyumnya, tingkah lakunya, segala di dirinya aku cinta. Ia telah menjadi candu, saat itu. Saat aku sedang terbang di ketinggian tanpa batas. Aku berselancar berirama imaji hidupku dengannya. Yang pada nyatanya, kami memang dimabuk asmara. Aku pernah mencintai seseorang hingga rasa itu berubah jadi benci. Benci yang entah kenapa tak bisa hilang begitu saja. Ia yang dulu aku harap tak akan terganti, kini harus aku hapus. Lantas bagaimana aku mampu melumpuhkan ingatan tentang seseorang yang pernah aku harap tidak akan pergi dari hidupku? Bukankah sama halnya dengan menyakiti diri sendiri? "Selamat pagi..." "Jangan lupa makan ya." "Nanti ketemu yuk." Beberapa ucapan sederhana dengan kesan luar biasa. Pesan singkat yang notifikasinya paling aku harap segera muncul di layar ponsel. Bahkan, menunggunya menjadi alasan aku tetap berdiri

Pernah Memiliki

Bermalam-malam aku menikmati bintang. Mereka beriak bergemuruh. Mereka tertawa tak peduli luka yang kuderita. Ada yang bahagia melihat gemerlapnya. Sedang aku hanya menganga menghabiskan nestapa. Mencoba melupa tapi tak bisa. Berusaha berlari namun kaki merintih tersiksa. Aku hanya berdiri disini tanpa apa-apa. Sepanjang jalan aku merindu bulan. Aku menemukannya anggun di singgasananya. Bundar dengan sinar keemasan. Ia seperti apa yang pernah kumiliki. Aku pernah memiliki sesuatu yang selalu aku cari. Aku pernah memiliki hal yang pasti aku cari. Aku pernah memiliki segala sesuatu dalam diri seseorang. Aku pernah memilikinya. Semua hulu dari hilir rasa. Waktu terus tumbuh. Aku menyadari sesuatu. Ternyata aku masih disini. Aku tidak kemana-mana. Aku masih setia menunggu. Entah apa. Lantas bagaimana?

Sepatah Kata di Awal Juni

Satu bulan tanpa mengunjungi rumah ini. Terlalu sibuk dengan urusan dunia nyata. Setelah selama itu tanpa tulisan apa-apa, keinginan menulis muncul kembali. Mungkin tema masih sama, tentang cerita yang bisa dinikmati segala kalangan dan usia. Cinta. Cinta, satu kata agung penuh makna. Sayang, benci, rindu, semuanya. Muara segala rasa. Bahkan tak jarang ketika mencintai seseorang, benci akan mengikuti. Begitulah manusia. Bicara soal cinta, kapankah seseorang dinilai sebagai pecinta sejati? Seperti apa tolok ukurnya? Indikatornya bagaimana? Bisakah? Atau mungkin pertanyaan tepatnya adalah adakah? Pertanyaan-pertanyaan itu akan menjadi topik pada tulisan saya selanjutnya. Berlatar dari berbagai sudut pandang, semoga cinta bukan hanya kata manis dari bibir pendusta. Lantas, adakah seseorang yang pantas mengatakan cinta? Kita lihat saja. Saya beberapa tahun lalu di sela-sela mengajar.