Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2017

Buat Kamu yang Ingin Kulupakan

Kenapa melupakanmu begitu berat? Apakah aku masih setia pada masa lalu? Tak bisakah kupandang lurus ke depan? Sayang, kau selalu hadir di setiap sudut mata memandang. Harap kata ingin melepaskan, yang ada ternyata hanya lelah. Ingin diri merelakan, apa dikata hati masih sayang. Doa lekas melupakan, tapi rindu tetaplah rindu. Candu tetaplah candu. Rindu dan candu menyatu. Kamu.

Berawal dari Hujan

Hujan. Apakah kau sama merindu? Tentang kita dan hujan. Malam pertama menghabiskan waktu bersama. Di bawah tenda beralas tikar. Pukul 12.00 malam kita bercengkerama. Membunuh waktu. Berteduh lelah. Hujan dengan deras membanjir. Kau dan aku masih setia berbekal seporsi mie rebus. Dingin di luar. Ada hangat menyelimut diam-diam. Di antara perbincangan sederhana. Berbalut tatap mata manja. Berakhir senyum sipu. Membekas rindu. Akhirnya kau mencandu.

Masih Ada Derita

Tubuh sandaranmu rapuh. Hati naunganmu murka. Masih kau mencinta? Luka disana sudah mereda? Bisa kau megajarinya tertawa? Yang pernah kau cinta kini merana. Nestapa mengusik. Derita di ujung malam berujung candu. Masih ada rindu untuk pilu. Tidak. Ini bukan rindu. Rindu padamu sudah habis kau bumiratakan. Mari berpisah. Aku lelah.

Antara Hati dan Tuannya

Masih sama seperti malam-malam sebelumnya, aku terbangun. Entah kenapa. Sebenarnya apa yang mengganggu tidurku? Aku bahagia? Biasa saja. Aku bersedih? Tidak juga. Lantas apa? Secara teratur dan berirama, malam mampu membangunkan lalu membuat terjaga. Di mimpi mana sekarang aku hidup? Aku bercengkerama sebentar dengan hati. Apakah ia masih terluka? Apakah ia masih belum berdamai dengan keadaan? Apakah ia belum bisa memaafkan? Entah, katanya. Apa yang ia mau? Tak ada, katanya. Apa yang terjadi? Bukan apa-apa, hanya mencoba melangkah dengan kaki terluka, katanya. Oh ternyata masih ada luka. Tak apa, paling tidak ia tidaklah mati rasa. Itu jauh lebih menakutkan. "Hai hati, tempat aku merasa segalanya. Masihkah engkau melibatkan putus asamu kemarin? Tak bisakah kau kunjung pulih lagi? Apakah terlalu sakit yang kau derita hingga sembuh tiada kau dapat sampai sekarang? Masihkah ada sisa rasa percaya di sana? Walaupun bukan untuk orang yang sama, setidaknya milikilah untuk orang lain. K

Rindu Akan Semu Bila Tiada Temu

Subuh kali ini aku merindu seseorang. Seseorang yang aku harap ada. Seseorang yang tak pernah lelah menyemangati walau sesungguhnya ia pun lelah. Seseorang yang mampu membuatku menjadi segalanya. Aku merindunya. Malam demi malam aku memimpikannya. Mungkin karena ini suasana hati jadi berubah tak menentu. Ya, karena rindu yang menggebu. Lama tak bersua menjadikan hati berdebar jika mengingatnya. Satu persatu bulu mata jatuh. Kata orang itu pertanda ada yang merindukan. Kuharap ia juga sama merinduku. Rindu akan semu bila tiada temu. Bukan begitu? Aku ingin berjumpa dengan dia. Memandang matanya, tersenyum bersamanya, bercanda bersama, melakukan semuanya dengannya. Salah? Kurasa tidak. Aku ingin dia. Engkau, apa kabar? Lama tak bersua. Kau baik-baik saja? Semoga engkau tak kurang suatu apa. Ada namamu terhembus di sela tengadah tangan pada-Nya. Aku merindukanmu. Ibu. Dari anakmu yang belum bisa apa-apa.

Jingga yang Begitu Getir

Malam demi malam berlalu. Gugusan bintang nampak begitu agung perkasa di atas sana. Bulan juga dengan anggunnya sinarkan lembutnya. Di hadapanku ada jingga tak tak pernah usai. Jingga yang berkedip bagai mata seseorang yang pernah aku cinta dengan amat sangat. Rasa yang tertanam begitu dalam. Untuk menghapusnya, tubuh ini merintih kesakitan. Sendirian. Aku berdiri tepat di sini. Diantara malam, gemintang, bisik angin, dan jingga yang selalu kukagumi. Tiada keindahan tanpa rasa sakit. Untuk melihat jingga yang sempurna, bisakah aku melihat langit diam saja? Jangan ada hujan malam ini. Bilapun air mata menetes, biarlah. Semesta sudah tahu rapuhnya seorang itu. Diam dalam kepedihan mendalam, menyayatkan luka tiada henti. Sampai kapan? Sampai waktu memberi aba-aba untuk memaafkan. Tepat di ujung jingga kugetirkan apa yang disebut derita. Akankah dunia mendengar? Aku tak peduli. Bila tak mendengar juga tak apa. Masih ada cara menyampaikan keluh. Barangkali dengan sendirian, semua akan pad

Kamu

Kamu adalah racun. Kamu begitu candu. Kamu adalah kopi yang memaksaku menenggakmu. Aku bukan penikmat kopi. Tapi aku menyukai kamu yang hadir di hidupku. Kamu adalah hujan. Kamu adalah siang. Kamu adalah surya. Kamu adalah ketiganya yang aku jumpai setiap hari. Kamu buat pelangi yang mampu mengelabuhi hati. Kamu adalah nadi. Kamu adalah sendi. Kamu adalah aku. Kamu, bunuhlah aku!

Terbangun Lagi

Teringat lagi aku akan engkau. Bagaimana caramu memelukku, menatapku, tersenyum ke arahku, tawamu, tak mampu kulupa. Satu persatu melintas manis. Saat kita berboncengan membelah jalanan, saat kita duduk berdua menikmati senja, saat kita berjalan beriringan, semua itu selalu hadir di malamku seperti ini. Mereka memaksa masuk tanpa permisi seperti engkau yang hadir lalu menaruh hati. Mereka yang membangunkanku di antara malam begini. Tak bisakah kau biarkan aku tidur nyenyak? Oh sekalah air mataku. Iringan lagu dari salah satu radio ternama masih bersendawa. Siapa lagi yang menemani malamku selain lagu-lagu itu? Dulu memang ada engkau, tapi sekarang berbeda. Engkau bukan lagi engkau yang kutemui dulu. Engkau mendadak diam. Lalu aku, aku tak mampu memulai duluan. Ada rasa trauma berkepanjangan. Sering aku memohon pada Tuhan, beri aku kekuatan untuk melangkah tapi yang kudapat hanya bayangmu saja. Lagi, kau membuatku jatuh berkali-kali. Apakah aku telah mati? Kau, hapuslah air mata yang m

Prosa Sederhana di bawah Langit Malam

Malam ini langit terlihat mendung. Pendar sinar lampu kota memantul angkasa. Kutengadahkan kepala kepadanya meminta lupa. Tubuhku terlentang terhempas ke atas tanah. Rerumputan tak mampu membantuku menahan sakitnya. Kutemukan ada diri lain di hadapanku. Ia tersenyum padaku. Matanya mengingatkanku pada seseorang. Aku tak mampu berpikir apa-apa. Kupandangi ia. Bayangannya perlahan memudar. Sampai ia benar menghilang. Tubuhku masih ada di atas hijau rerumputan. Tepat di bawah langit malam aku prosakan segalanya. Tentang engkau, aku, kita, bahagia dan luka. Semua menjadi satu dalam cerita. Melebur bersama uap embun dingin malam. Kekal beriringan udara. Satu melodi tercipta dari air mata dan cinta. Aku menyebutnya kita.

Hati yang Terbawa Mati

Pagi ini aku bercermin. Bangun tidur di pagi buta dan merasakan semuanya. Kupikir tubuhku mengurus, mataku layu, pandanganku kosong, lebih dalam lagi ada luka yang masih basah dan menganga. Seperti kemarin, aku masih berdiri di ujung tebing. Tak tahu harus melangkah kemana. Apakah aku harus menerjunkan diri ke dalam sana atau haruskah aku meniti jembatan yang siap putus kapan saja ataukah mungkin aku harus kembali? Kembali kepadamu? Oh aku sudah gila. Aku kembali ke sangkar derita? Ingin kujaga hati ini agar tak kecewa untuk kedua kalinya. Kembalikan hati yang pernah tak peduli tentang orang lain. Kemarilah hati yang dulu keras bagai batu. Aku ingin tahu kabar aku yang dulu. Aku yang ada sebelum mengenalmu. Melangkah ternyata tidak mudah, apalagi setelah terluka. Untuk berdiri saja butuh kekuatan. Kekuatan yang datang dari dalam diri. Tapi bagaimana dengan orang yang tak mampu melakukannya? Bagaimana jika ada orang yang tak kunjung sembuh dari lukanya? Senyumnya yang pura-pura. Ta

Dini Hari yang Membangunkan Seluruh Derita

Kau seperti senja yang kemarin aku buru. Hilangmu meninggalkan malam berkepanjangan yang tak mampu kutanggalkan dalam lelap. Di antara lelapku masih sering kau hadir menyisakan kenangan jatuh bertubi. Aku yang sendirian ini bisa apa. Aku mengutuk diri sendiri agar mampu melangkah. Berkali-kali aku bicara pada hati agar mampu mendamaikan diri. Nyatanya yang kudapat hanya semakin basah luka terbasuh air mata. Sebenarnya, apa yang membuat luka sebegini deritanya? Tidakkah itu tanda tanya besar untuk seseorang yang sudah tak percaya akan cinta? Kepadamu aku pernah menaruh hati utuh. Bersamamu aku pernah mengamini seluruh doa, berharap akan jadi selamanya. Jauh di diri ini ada kau yang melukis senyum bahagia. Semesta tahu, gema teriakanku tak akan mampu ia bendung. Yang akhirnya hanya jatuh abadi dan biar aku saja yang tahu. Hati yang tertinggal ini sedang sakit. Ia tak tahu bagaimana menemukan hal-hal yang membuatnya bahagia kembali. Ia masih jatuh di dalam jurang nestapa gulita. Tak ada

Hati yang Terluka belum Bisa Melangkah, Tolonglah

Lama kumemendam luka ini. Luka yang tak mampu aku sembuhkan. Entah sampai kapan. Ingin aku melupakan. Tapi setiap kali memori datang, sakit kembali menyeruak bagai belati bertubi-tubi menancap di hati. Luka yang tak kusangka ada. Luka yang aku tak berdaya dibuatnya. Luka yang tak kupercaya bermuara darimu. Engkau yang aku cinta. Engkau yang aku semogakan menjadi sumber bahagia, ternyata menjadi sangkar adanya luka. Engkau yang namamu selalu terucap dalam tengadah tangan, ternyata menyisakan sesak amat sangat. Engkau yang katanya dulu kita sehati, tidakkah kau rasakan betapa dingin duniaku sekarang? Pegang jantungku, rasakan denyutnya. Sebanyak itulah engkau kuingat dan selalu membuat tetes air mata tumpah. Kau datang saat aku butuh seseorang dan kau pergi saat aku terjatuh. Kau datang mengisi hari. Tiada malamku tanpa hadirmu. Ingat saat entah sampai jam berapa kita saling beradu lewat udara? Saat kita tiada hentinya saling berkabar. Ketika kita tertawa bersama, kadang ada perseli

Senja yang Mengingatkan Semuanya

Senja hari ini. Aku ingat, aku pernah jatuh hati setengah mati pada seseorang. Betapa aku gila dibuatnya. Sungguh ia yang pertama membuatku sebegini jatuhnya. Banyak yang telah singgah tak mampu menarikku ke dalam peluk yang amat dalam. Mereka hanya mampu mengantarkaku sampai di ambang pintu. Tak ada yang mampu menyeretku ke dalam. Berbeda dengan dia. Sampai sekarang aku tak tahu kenapa aku bisa jatuh cinta kepadanya. Aku tak memandang rupanya, fisiknya (yang dia selalu cemberut ketika aku bilang gendut), materi (ah otakku tak mampu berpikir sejauh itu), entah. Aku mencintainya tanpa alasan. Mungkin karena aku tak butuh alasan. Dan aku memilihnya tanpa pilihan. Aku tak ingin menjadi pilihan. Begitu pula aku memperlakukannya. Suatu hari ia bertanya apa aku lupa semuanya. Kujawab saja tidak. Mana mungkin aku melupakan dia, orang yang membuatku jatuh cinta teramat dalam. Orang yang mengambil segalaku. Orang yang merubah duniaku. Mana mungkin. Butuh waktu dan kerja keras untuk itu. Sa

Hati yang Mencari Teman

Selalu terbangun di tengah tidur. Pikiran melayang-layang tak terarah. Aku ingin tidur nyenyak. Tak bisakah aku amnesia saja? Aku lelah. Lelah dengan hati yang selalu memberontak. Lelah dengan hati yang mendendam. Lelah dengan hati yang sampai sekarang masih kesakitan. Bisakah aku melupakannya? Paling tidak aku tak boleh terbangun dan terjaga seperti ini di malam hari. Atau mati. Ternyata tak mudah bertahan di situasi seperti ini. Menyembunyikan sesuatu hanya akan menjadikan luka semakin perih. Namun mengungkapkannya pun kurasa akan sia-sia saja. Mau menangis di depan siapa? Diri ini terlalu sendiri. Bukan. Bukan sendiri. Ia hanya tak tahu bagaimana caranya berbicara. Tak ada yang tahu apa yang ia rasa. Ia sendiri juga entah bagaimana mengartikannya. Yang ia tahu, saat ini ia sedang susah. Susah melangkah, gelisah. Bintang malam ini terlalu sedikit. Aku hanya bercerita pada langit. Ia diam. Hitamnya menandakan tiada jawaban. Bulan enggan membantu. Akhirnya aku bercerita pada lampu-la

Coklat Pagi Ini

Selamat pagi Januari. Aku masih disini menata hati. Memperbaiki semuanya. Belajar meninggalkan kepingan-kepingan lalu. Mencoba menyembuhkan luka yang masih menganga. Cinta, jangan dulu datang begitu saja. Ada yang belum siap menerimanya. Ada yang masih takut kecewa untuk kedua kalinya.