Lama kumemendam luka ini. Luka yang
tak mampu aku sembuhkan. Entah sampai kapan. Ingin aku melupakan. Tapi setiap
kali memori datang, sakit kembali menyeruak bagai belati bertubi-tubi menancap
di hati. Luka yang tak kusangka ada. Luka yang aku tak berdaya dibuatnya. Luka yang
tak kupercaya bermuara darimu. Engkau yang aku cinta. Engkau yang aku semogakan
menjadi sumber bahagia, ternyata menjadi sangkar adanya luka. Engkau yang
namamu selalu terucap dalam tengadah tangan, ternyata menyisakan sesak amat
sangat. Engkau yang katanya dulu kita sehati, tidakkah kau rasakan betapa
dingin duniaku sekarang? Pegang jantungku, rasakan denyutnya. Sebanyak itulah
engkau kuingat dan selalu membuat tetes air mata tumpah.
Kau datang saat aku butuh
seseorang dan kau pergi saat aku terjatuh. Kau datang mengisi hari. Tiada malamku
tanpa hadirmu. Ingat saat entah sampai jam berapa kita saling beradu lewat
udara? Saat kita tiada hentinya saling berkabar. Ketika kita tertawa bersama,
kadang ada perselisihan, kecupan manis di kening, ingatkah kau akan itu semua? Tak
ada satu pun waktu bersamamu yang mampu kuhapus. Semua tampak melekat sempurna.
Sepekat coklat yang kita minum bersama. Semua kini berbeda adanya. Kau dan aku
tak lagi sama. Aku tak lagi merasakan engkauku. Kau yang berubah atau aku, aku
tak tahu. Kau yang kau bilang biasa saja, tidak berubah, bukan kau yang menilai
dirimu. Itu aku. Aku yang menilaimu. Sebaliknya, kau punya hak sama, menilaiku.
Tidakkah kau bisa menggenggam
tanganku ini? Apakah kau bisa menguatkan aku lagi? Apakah kita bisa kembali? Ataukah
aku yang telalu buta? Seolah aku hanya melihatmu di dunia ini. Aku tak melihat
ke arah lain. Ajarkan aku bagaimana caranya menyembuhkan luka. Ajarkan aku
bagaimana cara membuka hati kepada orang lain. Ajarkan aku bagaimana menjadi
naif. Ajari aku menjadi engkau, yang bisa menghilang kapanpun engkau mau. Aku lelah
berpura-pura. Aku lelah bersandiwara. Aku bukan batu karang yang tegar
menantang ombak di tepian. Aku bukan hujan yang selalu datang berkawan. Aku bukan
pula mawar yang selalu mekar dan beraroma manja. Aku manusia biasa yang hatinya
bisa merasakan luka. Aku biasa saja, tidak sempurna. Aku bisa kecewa. Hati batu
ini telah kau lunakkan. Hingga ia mudah terluka dan sulit menghapusnya.
Sekarang aku tak tahu harus
kemana. Namamu masih sempurna adanya. Senyummu dengan bangga muncul di mimpi
malamku. Selalu engkau datang tanpa permisi dan pergi tiba-tiba meninggalkan
sesak. Langkahku gontai. Mungkin jika diumpamakan, di depanku ada jurang. Jauh di
dalam sana yang kulihat hanya gelap, sunyi. Menakutkan. Untuk melangkah sampai
sisi lain di depan, ada jembatan kayu. Kulihat jembatan itu mulai usang. Ada lubang
di sana-sini. Tali penyangganya juga sebentar lagi putus. Mau tak mau aku harus
melangkah. Ada dua pilihan. Apakah aku harus menjatuhkan diri ke jurang, dan
mati, atau aku harus menitihi jembatan yang mungkin saja ketika aku di
tengahnya, jembatan itu bisa putus. Tetap saja aku akan jatuh ke jurang, dan
mati. Bukankah hanya ada 2 pilihan itu yang sekarang terlihat? Aku masih
berhenti di ujung jalan. Aku tak tahu harus memilih cara mana jika ujungnya
sama, aku jatuh ke jurang. Timbul pertanyaan, apakah aku sedang meratapi
kesedihan atau aku memang telah tiada.
Jumat, 6 Januari 2017, pagi saat
aku tak bisa terlelap dan hanya bisa mengingat.
Comments
Post a Comment