Malam demi malam berlalu. Gugusan bintang nampak begitu agung perkasa di atas sana. Bulan juga dengan anggunnya sinarkan lembutnya. Di hadapanku ada jingga tak tak pernah usai. Jingga yang berkedip bagai mata seseorang yang pernah aku cinta dengan amat sangat. Rasa yang tertanam begitu dalam. Untuk menghapusnya, tubuh ini merintih kesakitan. Sendirian.
Aku berdiri tepat di sini. Diantara malam, gemintang, bisik angin, dan jingga yang selalu kukagumi. Tiada keindahan tanpa rasa sakit. Untuk melihat jingga yang sempurna, bisakah aku melihat langit diam saja? Jangan ada hujan malam ini. Bilapun air mata menetes, biarlah. Semesta sudah tahu rapuhnya seorang itu. Diam dalam kepedihan mendalam, menyayatkan luka tiada henti. Sampai kapan? Sampai waktu memberi aba-aba untuk memaafkan.
Tepat di ujung jingga kugetirkan apa yang disebut derita. Akankah dunia mendengar? Aku tak peduli. Bila tak mendengar juga tak apa. Masih ada cara menyampaikan keluh. Barangkali dengan sendirian, semua akan padam. Meski sakit memang akan bertambah sakit jika dipendam sendirian, apa daya seseorang yang tak punya teman? Seseorang yang tak mampu mengungkapkan perasaan. Seseorang yang hidup sendirian. Ini bukan tentang melihat seberapa menderita dia memendam sendirian, ini hanya tentang luka yang tidak terdengar. Mencari bagaimana cara menyembuhkan sama saja dengan bunuh diri pelan-pelan. Apakah akan lebih baik jika melupakan? Bahkan untuk melupakan pun rasanya seperti jatuh kembali.
Minggu, 15 Januari 2017, malam dimana aku kena efek drama korea. Maafkan kebaperan ini. Hidup memang sudah drama, tak perlu didramatisir lagi. Ah dasar drama.
Comments
Post a Comment