Masih sama seperti malam-malam sebelumnya, aku terbangun. Entah kenapa. Sebenarnya apa yang mengganggu tidurku? Aku bahagia? Biasa saja. Aku bersedih? Tidak juga. Lantas apa? Secara teratur dan berirama, malam mampu membangunkan lalu membuat terjaga. Di mimpi mana sekarang aku hidup?
Aku bercengkerama sebentar dengan hati. Apakah ia masih terluka? Apakah ia masih belum berdamai dengan keadaan? Apakah ia belum bisa memaafkan? Entah, katanya. Apa yang ia mau? Tak ada, katanya. Apa yang terjadi? Bukan apa-apa, hanya mencoba melangkah dengan kaki terluka, katanya. Oh ternyata masih ada luka. Tak apa, paling tidak ia tidaklah mati rasa. Itu jauh lebih menakutkan.
"Hai hati, tempat aku merasa segalanya. Masihkah engkau melibatkan putus asamu kemarin? Tak bisakah kau kunjung pulih lagi? Apakah terlalu sakit yang kau derita hingga sembuh tiada kau dapat sampai sekarang? Masihkah ada sisa rasa percaya di sana? Walaupun bukan untuk orang yang sama, setidaknya milikilah untuk orang lain. Kawanmu, orang-orang yang masih ada di sampingmu, mereka yang mau dan layak tertawa bersamamu, tidakkah kau bisa tanam lagi rasa percaya pada mereka? Hati, tak usah kau merasa sendiri. Jangan mengucilkan diri. Dunia bukan untuk orang yang mengecewakan. Ada banyak hal jauh lebih berharga daripada memelihara luka." Kataku malam ini pada cermin. Semoga diamini.
Kemudian hati menjawab, "Aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah. Aku hanya berhenti sebentar. Tapi entah aku yang berhenti atau tak tahu arah. Entah. Belum ada nyali. Ada hal lain yang membuat aku duduk diam. Dekat dengan orang-orang baru seolah menjadi phobia. Takut mengenal. Kelainan? Entah. Purna? Tepat."
Comments
Post a Comment