Kau seperti senja yang kemarin aku buru. Hilangmu meninggalkan malam berkepanjangan yang tak mampu kutanggalkan dalam lelap. Di antara lelapku masih sering kau hadir menyisakan kenangan jatuh bertubi. Aku yang sendirian ini bisa apa. Aku mengutuk diri sendiri agar mampu melangkah. Berkali-kali aku bicara pada hati agar mampu mendamaikan diri. Nyatanya yang kudapat hanya semakin basah luka terbasuh air mata. Sebenarnya, apa yang membuat luka sebegini deritanya? Tidakkah itu tanda tanya besar untuk seseorang yang sudah tak percaya akan cinta?
Kepadamu aku pernah menaruh hati utuh. Bersamamu aku pernah mengamini seluruh doa, berharap akan jadi selamanya. Jauh di diri ini ada kau yang melukis senyum bahagia. Semesta tahu, gema teriakanku tak akan mampu ia bendung. Yang akhirnya hanya jatuh abadi dan biar aku saja yang tahu.
Hati yang tertinggal ini sedang sakit. Ia tak tahu bagaimana menemukan hal-hal yang membuatnya bahagia kembali. Ia masih jatuh di dalam jurang nestapa gulita. Tak ada uluran tangan terlihat. Untuk bertemu dengan separuh hatinya yang pernah ia beri kepada seseorang saja ia tak mampu. Luka lalu meninggalkan murka. Sedalam itu ternyata gores yang tercipta. Ingin ia menghapusnya tapi malam selalu mengingatkannya. Bahkan tak jarang ada hujan tiba dengan derasnya membasuh perih yang semakin menganga.
Selasa, 10 Januari 2017, dini hari yang membangunkan seluruh derita.
Comments
Post a Comment