Selalu terbangun di tengah tidur. Pikiran melayang-layang tak terarah. Aku ingin tidur nyenyak. Tak bisakah aku amnesia saja? Aku lelah. Lelah dengan hati yang selalu memberontak. Lelah dengan hati yang mendendam. Lelah dengan hati yang sampai sekarang masih kesakitan. Bisakah aku melupakannya? Paling tidak aku tak boleh terbangun dan terjaga seperti ini di malam hari. Atau mati.
Ternyata tak mudah bertahan di situasi seperti ini. Menyembunyikan sesuatu hanya akan menjadikan luka semakin perih. Namun mengungkapkannya pun kurasa akan sia-sia saja. Mau menangis di depan siapa? Diri ini terlalu sendiri. Bukan. Bukan sendiri. Ia hanya tak tahu bagaimana caranya berbicara. Tak ada yang tahu apa yang ia rasa. Ia sendiri juga entah bagaimana mengartikannya. Yang ia tahu, saat ini ia sedang susah. Susah melangkah, gelisah.
Bintang malam ini terlalu sedikit. Aku hanya bercerita pada langit. Ia diam. Hitamnya menandakan tiada jawaban. Bulan enggan membantu. Akhirnya aku bercerita pada lampu-lampu yang kulihat dari tempatku sekarang. Kupandang gemerlap kota dari atas. Jingganya memantul di angkasa. Hitam langit berganti di sudut sana. Jingga yang tak pernah usai. Aku menceritakan semuanya padanya. Dalam diam aku berharap ia mendengarku. Tak ada jawaban. Semuanya bisu.
Lelah. Aku pulang. Sepanjang perjalanan hatiku tetap meracau. Diriku yang lain mengutuk kapan hati bisa berhenti melukai. Kau saja tak mampu bicara dan menenangkan diri, bagaimana kau menjalani semua ini? Jika dengan menangis akan meringankan beban, menangislah. Menangislah sendirian jika memang tak ada bahu untuk kau sandari. Paling tidak kau akan merasa lebih tenang. Bila kau ingin marah, marahlah. Tak usah kau tahan. Walaupun marahmu tanpa sasaran. Begitu katanya.
Entahlah.
Comments
Post a Comment