Pagi ini aku bercermin. Bangun tidur
di pagi buta dan merasakan semuanya. Kupikir tubuhku mengurus, mataku layu,
pandanganku kosong, lebih dalam lagi ada luka yang masih basah dan menganga. Seperti
kemarin, aku masih berdiri di ujung tebing. Tak tahu harus melangkah kemana. Apakah
aku harus menerjunkan diri ke dalam sana atau haruskah aku meniti jembatan yang
siap putus kapan saja ataukah mungkin aku harus kembali? Kembali kepadamu? Oh aku
sudah gila. Aku kembali ke sangkar derita? Ingin kujaga hati ini agar tak
kecewa untuk kedua kalinya. Kembalikan hati yang pernah tak peduli tentang
orang lain. Kemarilah hati yang dulu keras bagai batu. Aku ingin tahu kabar aku
yang dulu. Aku yang ada sebelum mengenalmu.
Melangkah ternyata tidak mudah, apalagi
setelah terluka. Untuk berdiri saja butuh kekuatan. Kekuatan yang datang dari
dalam diri. Tapi bagaimana dengan orang yang tak mampu melakukannya? Bagaimana jika
ada orang yang tak kunjung sembuh dari lukanya? Senyumnya yang pura-pura. Tawanya
yang sebenarnya hanyalah topeng penutup air mata. Matanya yang memandang kelu
semuanya. Betapa menderita orang sepertinya. Tidakkah ada yang bisa
menyembuhkan? Semuanya penuh tanda tanya. Pertanyaan agung tertanam jauh di
lubuk terdalam. Berharap ada yang menemukan. Semua pertanyaan itu tersimpan
rapi. Mereka terkubur dalam kepura-puraan. Pura-pura yang menyakitkan namun
tetap harus dilakukan.
Kau, apa kabar? Baik-baik sajakah
kau dengan hidupmu sekarang? Puaskah kau melihat aku sebegini jatuhnya? Sudahkah
engkau tertawa melihat derita yang kau cipta? Aku seolah tak berhak tahu lagi
tentangmu. Kita yang dulu bahagia, penuh canda tawa, sekarang menutup semuanya,
katamu. Memang benar. Setiap malam dalam kesendirian, engkau selalu hadir di
sini. Meski sekuat aku menepis, kau tetaplah engkau yang hadir kapanpun kau
mau. Manis dan getir masa lalu begitu menjelma memakan waktu. Mana mungkin aku
bisa melupakanmu, kau ingat itu? Memaksa tak memikirkanmu saja aku tak mampu,
bagaimana aku bisa menghapus memori tentangmu? Menghapusmu seakan aku melukai
diri sendiri. Ibarat hati ini adalah rumah, kau sudah datang. Kau ketuk
pintunya, kau tinggal di dalamnya. Pada suatu malam kau berantakan isinya. Tapi
kau tetap terpenjara di dalamnya.
Kau, ketika aku seperti ini,
apakah kau merasakan hal sama? Ketika aku mengangis menderita, apakah kau juga
menangisinya? Saat aku memikirkanmu, apa aku juga terbesit dalam dirimu? Atau hanya
aku yang merasa? Hanya aku yang menderita sendirian? Hanya aku yang mencinta
sebegini dalamnya dan terluka mati sia-sia? Oh ternyata aku saja. Iya, aku
sendirian yang merasa. Biarlah aku saja. Aku sedang belajar memaafkan. Berdamai
dengan hidup yang memang kejam untuk hati yang dikecewakan. Semoga hati itu
mampu melewati semuanya. Jika tidak, izinkan ia hidup dalam dunia yang ia buat
sendiri. Dalam ilusi warna-warni yang membuat orang lain iri. Doakan saja ia
mengerti bahwa mencintai dengan terlalu dalam hanya akan membawa mati.
Comments
Post a Comment