Aku cukup jengah dengan jarak. Ia
seolah-olah tak beretika. Tanpa peduli perasaan seorang anak manusia menanggung
rindu yang sangat menyebalkan. Jarak ini tak bisa diukur dengan jengkal.
Beratus kilometer jauhnya ia ada di sana. Menapaki waktu yang tak menjanjikan
temu. Selalu jarak menjadi pengingkar. Tidak bisakah sedikit saja kau mengalah?
Pada setiap malam yang dingin
selalu bayangnya merasuk. Hawanya menyentuh rusuk. Terulur tangan merapuh
menuju sesuatu yang jauh. Nanar mata ini berharap pada bulan berbinar. Percaya
diri sekali senyumnya mengolok-olok harapku yang entah menjadi nyata atau fana.
Barangkali ia tahu jawabnya. Setidaknya sedikit saja ia bisikkan secercah
cerita tentangnya.
Sengaja kukosongkan bangku
sebelah. Tak pernah ada seorang berani mendekat. Andai ada pun aku abai. Tempat
ini telah tertulis namanya. Ukiran indah menghiasi sandaran tangannya. Tepat
nanti tanganmu dan tanganku bergenggaman. Saat itu terjadi, betapa aku tak
ingin melepasnya pergi. Cukup sekali jarak menyiksa.
Kepadamu yang rela beradu.
Pergilah jauh di tengah riuh.
Meronta rasa karenamu.
Bermalam duka dua hati menanggung rindu.
Senja demi senja terlintas tanpa
sedia batas. Seperti ujung langit dan bumi, titik temu hanya fatamorgana. Tak
pernah ada. Tetapi dipaksa ada.
Comments
Post a Comment