Seperti biasa aku terbangun di
sepertiga malam terakhir. Kebiasaan yang muncul setelah beberapa perselisihan
denganmu. Aku lelah seperti ini. Aku lelah bila setiap malam harus terjaga dan
terbayang namamu. Semua kenanganmu ikut bermunculan. Satu persatu menggerogoti
sisa malamku. Setiap hari. Tidakkah naif bila aku berkata membencimu? Pelipur
duka alih-alih ingin lupa akan luka yang bersemayam. Sebaliknya, semakin ingin
aku melupakanmu semakin aku tak bisa menghapusmu. Kau telah menjalar. Kau ambil
jantungku dan kau ganti fungsinya. Kau edarkan rindu di setiap pembuluh
darahku. Kau bagai udara. Tak terlihat namun begitu terasa bagi tubuh rapuh
ini. Oh sembuhlah cinta.
Pada malam dingin ini aku
bercerita kepada angin. Kupandang lekat hitam langit. Tak begitu banyak bintang
terlihat. Beberapa ada malu-malu bertahta. Kupejamkan mata sejenak
menengadahkan segala doa. Berharap lupa dan berserah pada semesta. Ada
kehangatan kuperoleh. Hangatnya aku kenal. Perlahan memanas. Seuntai mendung
mungkin mengarah tiba-tiba. Datanglah hujan di sudut mataku. Bulir bening
mengalir membasahi peluh. Puitis sekali caraku mengenangmu. Tanpa temu, hanya
rindu yang mengakar namun tak ingin ada temu.
Kubiarkan malam memelukku. Dengan
angkuhnya ia mengusap rambutku. Seperti caramu bukan? Caramu beberapa waktu
lalu ketika berkata rindu. Semakin mata terpejam, bayangmu semakin jelas. Warna
bola matamu, bibir lembutmu, raut wajahmu, semua ada di hadapanku. Kulihat
senyummu. Matamu menyipit menggoda. Caramu membuatku bungkam. Kau yang selalu
sukses membuatku bisu. Kau yang mampu membekukan isi kepalaku. Waktu yang
kupunya kuserahkan padamu. Kepada tinta yang kita tulis bersama. Lembar demi
lembar yang kita pernah harap abadi. Sekarang semua telah abadi, dalam cerita
lama yang kusebut luka.
Bayangmu jelas terlihat di
pelupuk mata. Ingin kugapai. Ingin kubelai rambutmu, kukecup bibir itu,
kudengar hembus nafasmu, kurasakan degub jantung dan kuseiramakan denganku,
segala padamu. Masihkah aku ingin memilikimu? Sementara untuk memiliki dan dimiliki
aku saja belum mampu. Masih ada jera. Entah sampai kapan luka hati akan sirna.
Tak ada jawaban kudengar. Malam masih membisu. Cukuplah ia tahu aku sedang
berduka. Kumakamkan hari bersamamu yang penuh haru. Pada nisannya kutuliskan
namamu. Nama yang pernah terharap bersama. Nama yang sempat mengisi segala
ruang. Nama yang kini mengantar derita.
Kubuka mata pelan. Aku masih
disini. Di teras kamar sederhana tempat aku menghabisi diri. Gemerisik dedaunan
menandakan angin berbicara. Dinginnya menusuk. Kurasakan mataku sembab. Air
mata tadi nyata kupikir. Ternyata aku masih menjadi manusia. Setidaknya aku
masih bisa menangis seperti manusia-manusia lain yang juga terluka hatinya. Aku
terjaga di antara sinar kekuningan lampu sepanjang teras. Saat semua terlelap,
aku berjaga seolah tak ingin malam lekas berlalu. Tak ingin berganti pagi yang
memaksaku mengelabuhi diri sendiri. Pun aku begitu ingin malam segera berakhir
agar bayangmu pergi. Lelah masih bersandar tanpa lelah. Entah bagaimana aku
mengusir rasa ini. Rasa yang ingin kubunuh mati.
Kamis, 23 Maret 2017 ketika kau
ingin bertamu. Pengecut ini ingin menghindarimu. Pengecut ini tak mampu
memandangmu. Pengecut ini tak mau kau melihat matanya menangis. Pengecut ini
hanya ingin terbebas dari derita tentangmu. Dan pengecut ini ternyata telah
mati. Kuburlah ia, kasih.
Comments
Post a Comment