Pernah pada malam itu ponselku berdering. Ada satu pesan masuk. Sebuah pertemuan baru akan terjadi pikirku. Bagaimana aku harus bertahan dengan segala bentuk perpisahan disini menjadi tanda tanya besar. Seperti apa langkah selanjutnya agar yang berpindah dapat menetap menjadi hal matang yang harus dipikirkan. Apakah semudah itu menjadikan pertemuan dan perpisahan sebagai drama?
Beberapa kali pertemuan diiringi dengan kenyamanan yang tumbuh di dalamnya. Rasa yang menjadikan segalanya. Saling mengisi, melengkapi, memperhatikan, memiliki, semula acuh kini berpengaruh. Seperti cermin, mereka adalah sama. Seolah dendam, ia tak ingin terbungkam. Kemudian perpisahan itu menjadikannya diri yang ingin terbang. Tanpa haluan.
Beberapa kenangan diciptakan untuk abadi. Sisanya dibiarkan pergi. Memandang senyum-senyum itu aku merasa abadi. Di sisi lain tak dipungkiri, seseorang juga harus pergi. Bukan meninggalkan, hanya merasakan kebahagiaan dari sisi lain. Jika angin mampu membawa pesan, akan kutinggalkan seluruh ingatan waktu itu bersamanya hingga aku lupa. Lupa siapa kalian, lupa bagaimana kita dulu, dan lupa bagaimana cara merindu. Ketakutan sangat dalam disini. Ia telah menanam jangkar pada terumbu masa.
Pada bayangan hitam yang sedari tadi datang aku berpesan. Jika ia bertemu seseorang yang ada di kenanganku, sampaikan banyak terima kasih pada mereka. Tanpa mereka, anak ini tak akan bisa apa-apa. Tanpa uluran tangan mereka, anak ini hanya akan menjadi pilu. Demi senyum mereka pula anak ini mampu melangkah dan berdiri sejauh ini. Dan tanpa doa mereka, anak ini tak akan mampu mendekatkan diri dengan Tuhan-nya, lebih dekat dari ini. Di akhir waktu biarkan aku menuai waktu agar abu yang nanti kita sebar akan menanam keabadian cerita dunia. Semesta tahu, kita ada. Dan akan selalu ada.
Comments
Post a Comment