Beberapa hari ini mata terasa berat. Dunia berputar seenaknya. Hingga gelap datang. Di saat seperti itu ia hadir. Seseorang yang senyumnya kunantikan. Ia yang memandangku dengan sayu. Cara ia membuatku terbang masih teringat. Tak lelah ia hadapi terik demi semesta. Tak kusangka, ia mampu mencuri pandanganku.
Ego ini angkuh meraksasa. Keras kepalaku kokoh bagai benteng di tengah samudera. Sikap tak peduliku menetap mengakari nadi. Kemudian semua itu runtuh tiba-tiba. Kehadirannya bagai hujan di kemarau panjang. Aku rindu hal itu. Ego, keras kepala, tak peduli, semua bersih tersapu olehnya. Hanya di depannya aku luluh. Di depannya aku berkata 'iya'.
Lama tak jumpa dengannya. Apa kabar ia? Baik-baik sajakah? Sepertinya memastikan ia baik-baik saja bukanlah urusanku. Ia jauh dari jangkauan. Aku tak bisa menggapainya. Jikapun bisa, aku tak ingin ia masuk terlalu dalam. Melupakan menjadi alasan. Bagaimana mungkin menghapusnya harus dengan cara menyakiti diri sendiri? Menjemukan. Namun terkadang begitulah manusia menikmati patah hati. Jatuh cinta sesakit-sakitnya.
Ia tak pernah kumiliki. Ia nyata. Ia di depanku selalu. Sebelum mata terpejam, ia datang. Ia berjalan pelan menuju diriku yang tak kuat lagi berdiri. Mataku menatap kedua bola matanya. Tanpa berucap kata, ia melempar senyum ke arahku. Bibirku kelu. Jantung berdebar. Nafas memburu. Semakin dekat ia, semua menjadi hitam. Gelap.
Comments
Post a Comment