Aku mengagumimu.
Bagaimana caraku mengatakannya? Tak harus kukatakan padamu. Entah pada angin, ombak, senja, atau secangkir kopi yang bersahaja. Setiap hembus nafas ini kembali menyebut namamu. Jatuh badanku ingin berlabuh di bahumu. Redup mataku berharap kau teduhkan dengan tatap manjamu. Ada lain yang dapat disamakan denganmu? Semesta selalu mengerti betapa seisinya mampu menggemakan rindu untukmu.
Di sela perjumpaan kita tak banyak kata terucap. Sedikit banyak mata mencuri pandang. Betapa berdebar ragaku saat mata kita bertemu di satu titik. Waktuku beku. Diriku membatu. Kau tega membiarkanku larut dalam pesonamu. Demi sepasang bola mata itu aku rela mengayuh rindu. Matamu, senyummu. Dua hal yang ingin aku lukis setiap hari.
Aku adalah manusia jauh dari sempurna. Predikat baik juga sepertinya tak pantas aku sandang. Egois, keras kepala, tak mau mendengarkan siapapun, begitu dunia memandangku. Dan semua berbalik setelah aku bertemu kamu. Egoku mampu kau redam. Sifat keras kepalaku kau lunakkan. Suaramu memenuhi ruang kepalaku. Kau mampu membuatku luluh. Aku menjadi bukan aku. Seseorang lain yang aku ketahui muncul dari diriku. Seseorang yang jauh lebih baik.
Betapa magisnya rasa ini mampu merubah manusia sepertiku. Meski kau bukan milikku, izinkan aku memiliki rasa ini. Biarkan aku mengembara jauh ke lubuk hatimu. Pintu mengenalmu selalu terbuka. Aku tahu siapapun bisa masuk ke dalamnya. Aku pun demikian. Aku ingin masuk dan berdiam di sana. Tanpa peduli bisa keluar atau tidak. Tanpa peduli di dalamnya telah terisi satu nama atau tidak. Jika memang rasa ini terlarang, kenapa Tuhan membangun megah perasaan ini di dalam tubuhku?
Comments
Post a Comment