Rasa kepadamu tak tergoyahkan. Setelah melewati berbagai suasana senja, semua masih sama. Ribuan jingga tetap mengangkasa laksana cerita kita. Di samudera sana, ada namamu kuat menggoyahkan kapal para perompak. Di lapisan langit terluar terdapat senyummu magis merasuki nadi. Lalu, ada sepasang mata yang ingin kujaga. Tak akan kubiarkan sekecil apapun air mata keluar darinya. Biar bahagia terpatri di sinarnya.
Di antara beribu jingga, kenangan bersamamu adalah yang terindah. Berhari-hari purnama melenggang, bundar bola matamu kurasa paling bersinar. Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan tak sanggup duakan warna lengkung senyum bibirmu. Semesta tahu, di segalaku ada engkau yang tak pernah padam.
Kau tahu, seberapa sakit nafas ini saat masa lalu datang? Sesak di dada saat segala nestapa itu melintas. Perih mata ini menahan air mata yang tak ingin ku hadirkan di depanmu. Ternyata semuanya masih sama. Perasaan ini, harapan ini, mimpi ini, duniaku masih berpusat padamu. Hanya saja, masih ada luka menganga di dalam jiwa. Ia masih basah, tak berdarah. Belum sembuh sempurna.
Parah. Entah ia akan sembuh atau tetap membekas. Di saat aku melangkah, lagi-lagi kau datang. Membawa semua seperti sedia kala. Seolah tak ada dosa, kau tawarkan bahagia. Jalanku berhenti di sana.
Aku menerimamu. Aku mampu tertawa bersamamu. Tapi sayatan-sayatan tentangmu masih menjadi hantu. Di saat ada tawa tercipta, saat itu pula air mata tertahan di sudut mata. Menunggu malam datang memecahkannya. Akan sangat melelahkan jika kembalinya kita berhias masalah-masalah yang sama. Di sisi lain, hati ini masih tak mampu melangkah. Apalagi kembali. Yang harus kau tahu, isi dari genggaman tanganmu adalah kunci pintu yang sempat kau ambil dulu. Datanglah jika kau ingin menyembuhkan. Enyahlah jika itu terlalu menyakitkan. Aku lelah.
Comments
Post a Comment