Dini hari, aku belum lekas tidur. Rasa kantuk tak juga menyerang. Sejujurnya aku benci keadaan seperti ini. Bukan tentang apa-apa, aku terlalu takut pikiran tentangmu muncul lagi. Takapa jika bahagianya yang muncul. Sayangnya berbagai sesak itulah yang menyeruak terngiang di depan mata.
Saat itu aku takbosan berkata mencintaimu dengan sangat. Memang begitu adanya. Sebaliknya, kau juga sama. Kita berdua terlalu saling menyayangi. Kita takut saling meninggalkan. Kita adalah sebuah harmoni yang akan hambar ketika salah satu menghilang. Dunia tahu itu. Semesta taksanggup mengelak.
Kini semua berbalik. Engkau yang aku cintai berubah menjadi yang kubenci. Kau yang sempat singgah berbunga di taman hati, kini masih sama, tapi dengan perasaan berbeda. Tiada elok sama sekali. Ingin kumaafkan dan kulupakan semuanya, tapi entah kenapa aku takmampu. Sebab yang takkutemui sampai saat ini. Aku pernah menjadi pecinta ulung. Sekarang aku adalah seorang pembenci yang takpercaya lagi tentang cinta.
Kata orang, memaafkan adalah kunci hidup bahagia. Aku percaya. Kali ini berbeda. Memang aku pernah memaafkanmu dengan menerimamu kembali, tapi ternyata luka itu tak cukup sembuh hanya dengan kata maaf. Kecewa-kecewa itu masih ada. Sungguh melekat. Bahkan karena kebencian itu, aku lupa bagaimana cara memaafkan. Semakin aku mencintai seseorang, semakin akan aku membencinya ketika waktunya tiba.
Di saat seperti ini, air mata muncul dengan sendirinya. Sesak di dada mengingat segala nestapa. Pada setiap doa, aku meminta lupa. Hingga akhirnya aku duduk diam takmampu berkata-kata. Kubiarkan mata ini basah. Sambil terbayang seseorang, barangkali secangkir kopi tahu betapa teririsnya hati yang berduka. Selamat tinggal, kamu. Jangan pernah bahagia.
Saat itu aku takbosan berkata mencintaimu dengan sangat. Memang begitu adanya. Sebaliknya, kau juga sama. Kita berdua terlalu saling menyayangi. Kita takut saling meninggalkan. Kita adalah sebuah harmoni yang akan hambar ketika salah satu menghilang. Dunia tahu itu. Semesta taksanggup mengelak.
Kini semua berbalik. Engkau yang aku cintai berubah menjadi yang kubenci. Kau yang sempat singgah berbunga di taman hati, kini masih sama, tapi dengan perasaan berbeda. Tiada elok sama sekali. Ingin kumaafkan dan kulupakan semuanya, tapi entah kenapa aku takmampu. Sebab yang takkutemui sampai saat ini. Aku pernah menjadi pecinta ulung. Sekarang aku adalah seorang pembenci yang takpercaya lagi tentang cinta.
Kata orang, memaafkan adalah kunci hidup bahagia. Aku percaya. Kali ini berbeda. Memang aku pernah memaafkanmu dengan menerimamu kembali, tapi ternyata luka itu tak cukup sembuh hanya dengan kata maaf. Kecewa-kecewa itu masih ada. Sungguh melekat. Bahkan karena kebencian itu, aku lupa bagaimana cara memaafkan. Semakin aku mencintai seseorang, semakin akan aku membencinya ketika waktunya tiba.
Di saat seperti ini, air mata muncul dengan sendirinya. Sesak di dada mengingat segala nestapa. Pada setiap doa, aku meminta lupa. Hingga akhirnya aku duduk diam takmampu berkata-kata. Kubiarkan mata ini basah. Sambil terbayang seseorang, barangkali secangkir kopi tahu betapa teririsnya hati yang berduka. Selamat tinggal, kamu. Jangan pernah bahagia.
Comments
Post a Comment