Tengah malam. Di waktu-waktu seperti ini namamu selalu muncul. Cinta telah mengalahkan segalanya. Aku buta, memilih bertahan meski penderitaan di depan mata.
Pikiranku melayang ke masa kita pertama kali berjumpa. Biasa saja. Mana mungkin hati sekeras batu ini mampu dilunakkan? Mustahil, katanya. Dengan ego sebesar ini, seolah hanya aku manusia yang hidup di dunia.
Berawal dari sebatas pesan, kau memulai dengan bertanya hal tak begitu penting. Kubalas seadanya. Kau mengirimku pesan lagi. Jemariku tak henti memijat ponsel demi melayangkan jawaban singkat padamu.
Begitu seterusnya. Percakapan kita berlangsung setiap malam. Sampai tiba hari kita sepakat bertemu. Aku ingat betul waktu itu kita menonton film. Film apa tepatnya, dan apa yang terjadi di sana biarlah kita yang merasa.
Sejak saat itu kita menjadi lebih intens berkomunikasi. Pergi bersama membelah jalanan. Waktu tak menghalangi batas berjumpa. Tak peduli tengah malam, semesta tetap ada untuk kita. Sepasang anak manusia yang sedang dirundung asmara.
Panjang cerita kita sanggup kuingat. Betapa bahagia dan menyedihkan ingatanku itu. Mulai dari aku yang benar-benar jatuh hati padamu, hingga aku yang sangat merasa kecewa pada suatu malam karenamu. Semua jelas tertera dalam tetes air mata.
Kau mengajariku berjuang dalam mencintai. Berkali-kali kau katakan bahwa kau tulus mencintaiku. Berulang kali pula kau memintaku tak akan meninggalkanmu. Bagaimana mungkin aku mampu berdiri sendiri, sedangkan ada hati yang aku singgahi? Saat itu aku merasa hidup semenyenangkan ini ketika bertemu denganmu, seseorang yang aku sayangi dengan sungguh.
Semua perjuanganku, kepercayaanku, dan perasaanku lenyap tiba-tiba pada suatu malam. Malam terdingin dan tersunyi di hidupku. Betapa kebahagiaan dan harapan masa depan hancur begitu saja. Aku jatuh sejatuh-jatuhnya. Tak ada lagi alasan aku berdiri kembali. Seorang yang aku cintai berbalik menjadi yang kubenci. Benar, besarnya cinta akan sebanding dengan kecewa yang didapat.
Sejak malam itu, setiap malam aku hanya merenung sendiri di dalam kamar pribadi. Hidup seadanya tanpa makna. Dengan kaki terluka aku melangkah. Semua foto kenangan kita kuhapus begitu saja tanpa sisa. Selama ini aku tak tahu bahwa ternyata aku bisa membenci seseorang seperti ini. Dengan sangat.
Cintaku padamu sangatlah besar. Dengan jalan cerita kita yang sedemikian rupa, betapa hati ini masih sanggup menerimamu kembali setelah dirundung duka berkali-kali. Tidakkah itu bodoh bagi seseorang yang pernah dikhianati? Entah.
Perasaanku tak pernah berubah terhadapmu. Rasa yang sama tentang bahagia dan terluka. Sungguh aku tak mampu menghapusmu. Engkaulah yang sampai sekarang mengisi ruang dalam hati. Tak ada yang mampu menggantikamu. Sungguh.
Jujur, aku takut. Benar-benar takut. Bertemu denganmu saja seolah aku tak mampu. Aku takut semua cerita itu akan terulang. Aku terlalu takut untuk jatuh lagi. Pindah ke hati lain pun aku enggan. Kau terlalu mampu membuatku bertekuk lutut. Sungguh, hanya engkau satu-satunya yang aku tatap. Mata, hati, dan doaku tertuju padamu.
Apakah bisa kita bersama menjalin kisah asmara sampai maut memisahkan? Sedang kau adalah alasan aku bisa berada di titik ini. Bagaimana bisa aku melupakanmu? Bagaimana mungkin aku menghapus semuanya tentangmu jika kau menjadi alansanku ingin menaklukan dunia? Bagaimana? Hah!? Jawab!!
Aku mencintaimu, entah sampai kapan. Pegang jantungku, rasakan detaknya. Ambillah jika kau ingin pergi dariku. Dengan begitu kau akan tahu hidupku pulalah yang kau bawa lari. Semoga semesta tahu bagaimana mengabadikan kita.
Aku sedang lelah.
Pikiranku melayang ke masa kita pertama kali berjumpa. Biasa saja. Mana mungkin hati sekeras batu ini mampu dilunakkan? Mustahil, katanya. Dengan ego sebesar ini, seolah hanya aku manusia yang hidup di dunia.
Berawal dari sebatas pesan, kau memulai dengan bertanya hal tak begitu penting. Kubalas seadanya. Kau mengirimku pesan lagi. Jemariku tak henti memijat ponsel demi melayangkan jawaban singkat padamu.
Begitu seterusnya. Percakapan kita berlangsung setiap malam. Sampai tiba hari kita sepakat bertemu. Aku ingat betul waktu itu kita menonton film. Film apa tepatnya, dan apa yang terjadi di sana biarlah kita yang merasa.
Sejak saat itu kita menjadi lebih intens berkomunikasi. Pergi bersama membelah jalanan. Waktu tak menghalangi batas berjumpa. Tak peduli tengah malam, semesta tetap ada untuk kita. Sepasang anak manusia yang sedang dirundung asmara.
Panjang cerita kita sanggup kuingat. Betapa bahagia dan menyedihkan ingatanku itu. Mulai dari aku yang benar-benar jatuh hati padamu, hingga aku yang sangat merasa kecewa pada suatu malam karenamu. Semua jelas tertera dalam tetes air mata.
Kau mengajariku berjuang dalam mencintai. Berkali-kali kau katakan bahwa kau tulus mencintaiku. Berulang kali pula kau memintaku tak akan meninggalkanmu. Bagaimana mungkin aku mampu berdiri sendiri, sedangkan ada hati yang aku singgahi? Saat itu aku merasa hidup semenyenangkan ini ketika bertemu denganmu, seseorang yang aku sayangi dengan sungguh.
Semua perjuanganku, kepercayaanku, dan perasaanku lenyap tiba-tiba pada suatu malam. Malam terdingin dan tersunyi di hidupku. Betapa kebahagiaan dan harapan masa depan hancur begitu saja. Aku jatuh sejatuh-jatuhnya. Tak ada lagi alasan aku berdiri kembali. Seorang yang aku cintai berbalik menjadi yang kubenci. Benar, besarnya cinta akan sebanding dengan kecewa yang didapat.
Sejak malam itu, setiap malam aku hanya merenung sendiri di dalam kamar pribadi. Hidup seadanya tanpa makna. Dengan kaki terluka aku melangkah. Semua foto kenangan kita kuhapus begitu saja tanpa sisa. Selama ini aku tak tahu bahwa ternyata aku bisa membenci seseorang seperti ini. Dengan sangat.
Cintaku padamu sangatlah besar. Dengan jalan cerita kita yang sedemikian rupa, betapa hati ini masih sanggup menerimamu kembali setelah dirundung duka berkali-kali. Tidakkah itu bodoh bagi seseorang yang pernah dikhianati? Entah.
Perasaanku tak pernah berubah terhadapmu. Rasa yang sama tentang bahagia dan terluka. Sungguh aku tak mampu menghapusmu. Engkaulah yang sampai sekarang mengisi ruang dalam hati. Tak ada yang mampu menggantikamu. Sungguh.
Jujur, aku takut. Benar-benar takut. Bertemu denganmu saja seolah aku tak mampu. Aku takut semua cerita itu akan terulang. Aku terlalu takut untuk jatuh lagi. Pindah ke hati lain pun aku enggan. Kau terlalu mampu membuatku bertekuk lutut. Sungguh, hanya engkau satu-satunya yang aku tatap. Mata, hati, dan doaku tertuju padamu.
Apakah bisa kita bersama menjalin kisah asmara sampai maut memisahkan? Sedang kau adalah alasan aku bisa berada di titik ini. Bagaimana bisa aku melupakanmu? Bagaimana mungkin aku menghapus semuanya tentangmu jika kau menjadi alansanku ingin menaklukan dunia? Bagaimana? Hah!? Jawab!!
Aku mencintaimu, entah sampai kapan. Pegang jantungku, rasakan detaknya. Ambillah jika kau ingin pergi dariku. Dengan begitu kau akan tahu hidupku pulalah yang kau bawa lari. Semoga semesta tahu bagaimana mengabadikan kita.
Aku sedang lelah.
Comments
Post a Comment