Sekian malam kita menghabiskan malam tanpa bersua. Kau dengan hidupmu. Begitu pula aku dengan duniaku. Kita terlalu lelah hanya untuk bercengkerama. Pekerjaan sehari-hari habis memeras peluh. Entah karena tidak ada waktu atau perasaan kita saja yang malas memulai. Hingga pada suatu titik, semua melebur menjadi kepingan kenangan utuh, berpendar bersamaan langit yang merona menjadi jingga.
Di antara
malam-malam itu sama sekali tidak ada pikiran atau keinginan untuk
menghubungimu. Untuk apa, kataku. Aku berniat melupakanmu sejak saat itu. Malam
di mana batin bergulat hebat dengan perasaan memaksa baik-baik saja. Nyatanya
aku tidak sebaik itu. Amat melelahkan ketika memilikimu dengan segala luka yang
belum selesai. Padahal, memilihmu bukanlah keharusan, bukan?
Akhir-akhir ini
hal itu meledakkan tawaku. Ternyata aku bisa sebegitunya dibuat olehmu. Bukan
berarti aku menyesal. Sebaliknya, terima kasihku padamu tak akan habis
mengalir. Aku paham betul apa yang membuatku menjadi seperti sekarang.
Beruntunglah aku pernah mengenalmu, mencintaimu, memilikimu, dan apakah
melepaskan serta merelakanmu dapat kusebut keberuntungan, aku tak tahu.
Sebagian diriku adalah endapan cinta, lara, juga cita-cita atas jatuhnya asa
pada hati yang kurelakan pergi ke dunianya.
Terima kasih.
~ Ditulis pada Minggu siang saat rebahan membuat berjuta kenangan muncul terirama. Tak lupa segelas kopi sebagai teman menjalani pahitnya bertambah dewasa.
Comments
Post a Comment