Bulan ini, tepatnya tanggal delapan, usia bertambah satu angka. Tidak ada yang istimewa, hari-hari berjalan seperti biasa. Ingin sekali menceritakan bagaimana saya memaknai momen bertambahnya usia dari tahun ke tahun. Segalanya berubah. Dalam perubahan itu, sosok saya menjelma manusia dewasa dengan segala keping drama.
Ada beberapa perbedaan perayaan bertambahnya usia dari tahun ke tahun. Dulu berbagai jenis kado atau kue menghiasi pagi. Penuh keramaian dan keceriaan. Peringatan hari lahir adalah satu dari sekian banyak hari paling menyenangkan, bahkan harus jadi yang teristimewa setiap tahun. Saya rasa, hari itu adalah hari di mana saya dapat tersenyum dengan amat lebar. Paling lebar.
Lalu, apa bedanya dengan sekarang? Saya ingin menikmatinya sendiri. Benar-benar sendirian. Hanya menghabiskan waktu dengan diri sendiri. Berbicara dengan diri sendiri. Apa yang selama ini dirasakan, dinginkan, dan dilakukan. Semasa hidup, adakah yang dapat dibanggakan? Jangan-jangan ada penyesalan yang diam-diam tersimpan? Sederhana. Saya ingin jujur kepada diri saya sendiri.
Tidak ada kue coklat spesial atau kado warna-warni. Sepiring jagung serut pedas, sengaja pesan sangat pedas meski bukan tipe penyuka pedas, dan segelas es coklat menutup angka delapan bulan dua tahun dua ridu dua tiga.
Cerita di balik jagung bakar serut menurut saya cukup haru jika diceritakan. Dulu kakek nenek suka sekali menyiapkan jagung bakar demi cucu tercintanya ini. Berhubung waktu itu kami masih memasak menggunakan tungku, rasanya mudah bakar jagung di rumah. Tidak hanya satu dua, saya bisa menghabiskan lebih dari tiga. Tiada bosan memakannya. Tiap ada bekas hitam menempel di gigi, sengaja saya tunjukkan ke mereka. Seketika tawa tercipta. Sesederhana itu anak kecil bahagia. Tak ketinggalan doa untuk kakek nenek saya agar tetap bahagia di surga Yang Kuasa.
Jika jagung bakar berhubungan dengan masa kecil, coklat menjadi pengait cerita saat tumbuh dewasa. Saat saya masih menjadi anak rantau di Semarang, saya sering ke alun-alun Ungaran demi membelu coklat panas. Tidak ada tempat lain yang mampu menyaingi rasanya. Manis, pahit, kental, pekat, ah, dengan menulis ini, seolah saya mengecapnya.
Menghadapi kejenuhan tidaklah mudah. Salah satu penghilangnya adalah dengan memanjakan lidah. Begitulah awal tubuh saya merasa cocok dengan coklat panas itu. Walaupun harus menempuh satu jam perjalanan, itu bukan kesia-siaan belaka. Sruput demi sruput ampuh menguapkan himpitan-himpitan tekanan. Sedikit mata memejam, segalanya selesai.
Begitulah jagung dan coklat menjadi elemen penting di masa sekarang. Cukup dua hal ini. Tidak lebih. Jagung bakar sebagai jelmaan butir mimpi yang ingin segera dicapai. Cokal menandakan pahit dan manis hidup tetap dijalani.
Selamat bertambah usia, Prima!
Comments
Post a Comment