Skip to main content

Posts

Pedas Manis

Beberapa waktu terakhir, tubuh sedang menyeleksi asupan. Makanan pedas tiba-tiba menjadi sungguh menggugah selera. Ditambah minuman manis sebagai penyempurnanya. Demi memuaskannya, tak masalah jika bolak-balik kamar mandi menjadi risikonya.  Selain cabai, Bon Cabe turut masuk daftar belanjaan dapur. Entah sejak kapan ingin melepaskan diri dari belenggu micin, benda berbotol kecil ini mampu mengalihkan niat. Beruntung, masakan ibu saya di rumah sudah bebas micin. Anaknya saja yang kadang kala bandel menaburi bubuk pedas tadi di atas hidangannya.  Habis pedas terbitlah manis. Sejak awal saya kurang suka minuman manis. Sedikit sekali campuran gula di setiap gelas kopi yang saya seduh. Susu seusai sarapan juga enggan ditambahkan gula barang sepucuk sendok teh. Tapi, sekali lagi tapi, jika ada orang berbaik hati memberi kopi kekinian macam Janji Jiwa, Kulo, atau Kenangan, tentu dengan senang hati saya terima. Hahaha!  Ada yang baru saya temui sore ini. Di toko berwarna khas me...

Setetes Kopi di Minggu Pagi

Lama tak mengunjungi gudang aksara di dalam benak. Kesekian kali, mencoba menulis tentang apa pun.  Minggu pagi ini berencana melakukan pergantian cara mencerna pikiran. Alih-alih menghirup udara pantai, saya mencoba peruntungan lain dengan memilih dataran lebih tinggi. Pilihan jatuh pada J-Cottage. Salah satu kafe yang terletak di desa Tempur, Kembang, Jepara. Jawa Tengah, ya.  Bicara soal makanan, rasa tidak pernah bohong. Perkopian tidak diragukan. Pemandangan jangan ditanya. Tempur adalah salah satu desa wisata di dataran tinggi Jepara. Bahkan, ini masuk ke lereng Muria. Berminat ke puncak gunung Muria? Tempur dapat dijadikan satu opsi rute perjalanan.  Saya mencicipi vietnam drip buatan barista J-Cottage. Tetesan kopinya membuat saya mengerti bahwa terkadang tidak ada salahnya menunggu sesuatu. Entah akan berakhir dengan penyesalan atau tidak, sebagai manusia tentu dipaksa menikmati proses atau menjajali sakit. Demi hasil adukan gula dan kopinya terasa pas. Manis, pa...

Duniaku Baik-Baik Saja

Tidak ada salahnya mengagumi seseorang. Diungkapkan atau tidaknya perasaan itu adalah keputusan pribadi. Tidak ada norma hitam putih yang mengaturnya. Pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada diri sendiri. Perihal menyukai seseorang dari jauh, aku pernah merasakannya.   Hari-hari berjalan begitu indah setiap kali memandangnya. Meski dari kejauhan, aku rasa itu tidak masalah. Selama masih dapat menikmati pemandangan mempesona itu, dunia akan baik-baik saja. Tidak ada alasan untuk saling mengenal lebih jauh. Pada dasarnya aku dan dia sejak lama tahu keberadaan masing-masing. Tentu ia tahu tentangku. Beberapa kali kami bertemu dalam satu kesempatan. Punya latar belakang berbeda tidak menghalangiku sesekali bertatap mata dengannya. Indah, bukan? Masih ingat betul setiap kali aku melihat matanya dari kejauhan. Kedua bola mata itu berbicara syahdu. Apakah aku menyukainya? Tentu. Apakah aku merindukannya? Sangat. Salah satu kesempurnaan yang kuagungkan.

Menjelang Lebaran

Menjelang lebaran. Mohon maaf lahir batin.   

Bersua Melipur Lara

Sekian malam kita menghabiskan malam tanpa bersua. Kau dengan hidupmu. Begitu pula aku dengan duniaku. Kita terlalu lelah hanya untuk bercengkerama. Pekerjaan sehari-hari habis memeras peluh. Entah karena tidak ada waktu atau perasaan kita saja yang malas memulai. Hingga pada suatu titik, semua melebur menjadi kepingan kenangan utuh, berpendar bersamaan langit yang merona menjadi jingga. Di antara malam-malam itu sama sekali tidak ada pikiran atau keinginan untuk menghubungimu. Untuk apa, kataku. Aku berniat melupakanmu sejak saat itu. Malam di mana batin bergulat hebat dengan perasaan memaksa baik-baik saja. Nyatanya aku tidak sebaik itu. Amat melelahkan ketika memilikimu dengan segala luka yang belum selesai. Padahal, memilihmu bukanlah keharusan, bukan? Akhir-akhir ini hal itu meledakkan tawaku. Ternyata aku bisa sebegitunya dibuat olehmu. Bukan berarti aku menyesal. Sebaliknya, terima kasihku padamu tak akan habis mengalir. Aku paham betul apa yang membuatku menjadi seperti sek...

Ia yang Mampu Melakukan Semuanya dan Semaunya

Pertemuan dengannya telah berhasil memangkas hari-hari saya yang terasa kosong. Jika biasanya saya menghabiskan sore dengan menunggui mentari terlelap, sekarang saya puas dengan sesederhana duduk berdua dengannya tanpa melakukan apa-apa. Tidak perlu muluk-muluk. Seperti itu terasa lebih dari cukup. Tidak pernah terbayang hal ini sebelumnya. Barangkali karena saya tak punya minat ke arah sana. Untuk apa? Kenapa harus menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain? Saya merasa punya kemampuan independen untuk membahagiakan diri sendiri. Demikianlah saya hidup pada masanya. Idealis, angkuh, merasa tegar meski tak bertubuh kekar. Tanpa pertanda atau firasat berarti, ia mampu menghancurkan sistem pertahanan yang telah lama saya bangun. Hanya dengan satu senyuman, semuanya runtuh seketika. Satu tatapan mata sayu, lutut ini tak mampu menahan beratnya raga. Jari-jari tangannya mengait erat tangan saya. Di saat bersamaan saya berharap ia tidak mendengar detak jantung saya. Saya rasa, sebentar...

Ingin

Aku ingin berpuisi Menari-nari pada bayang siang hari Lalu terlelap dalam peluk pekat melati Menuju rumah penuh ilusi