Pagi ini aku kembali teringat bayangmu. Sorot matamu yang penuh rasa ingin
tahu tentangku, senyum yang pertama kali kau berikan padaku, dan gaya bicaramu
yang berlogat tak sama denganku, semua itu masih membekas dalam memoriku.
Kau tahu, diam-diam aku melihatmu. Diam-diam aku mengamatimu dari jauh. Aku
tak berani mendekatimu. Setiap bertemu denganmu, aku selalu memasang muka tak
peduli. Seolah aku tak melihatmu, sebenarnya aku berharap kau menyapaku. Aku terlalu
takut untuk menyapamu lebih dulu. Bukan takut, mungkin lebih ke gengsi.
Aku pernah diam-diam mencari identitasmu. Waktu itu aku belum tahu siapa
engkau. Namamu pun aku tak tahu. Lalu aku melihat sebuah foto mirip denganmu. Ya,
itu engkau, lengkap dengan jaket yang selalu kau kenakan. Jaket yang menandakan
kau menyukai warna itu.
Aku tidak percaya pada apa yang ku lihat. Namun akhirnya aku
mempercayainya. Apa yang bisa ku andalkan dari rasa percaya pada diriku? Barangkali
dengan foto-foto itu aku akan bisa mengenalmu lebih dekat.
Tidak cukup sampai di situ. Aku masih berkeliaran di kampus tercinta. Aku tidak
menunggumu. Aku mencoba melupakanmu. Tapi kali ini berbeda. Ketika dulu
terlihat aku yang memperhatikanmu, sekarang kau sepertinya telah menyadarinya. Kau
mulai mencari tahu tentangku.
Sebenarnya ini lucu!
Pagi itu aku duduk di lorong dalam kampus. Aku bercanda dengan
teman-temanku. Saat itu pula aku baru tahu informasi terbaru tentangmu.
Aku duduk di bangku panjang dengan temanku yang lain. Karena lelah tertawa,
aku beralih ke handphone. Handphone-ku mengalihkan pandanganku
dari dunia sekitar. Mataku memang terfokus pada layar handphone, tapi aku masih bisa melihat kanan kiriku dengan kedua
mataku. Sepertinya aku kenal seseorang yang akan lewat tepat di hadapanku. Kau!
Kau berjalan dari tangga. Aku bisa melihatmu. Aku berusaha tidak peduli.
Kau mencari tempat kosong untukmu dan teman-temanmu. Aku masih berusaha tak
peduli.
Kau masuk ke dalam ruang kelas. Aku menarik nafas panjang, berusaha tak
mempedulikanmu.
Kau sibuk dengan laptopmu. Aku kembali bercanda dengan teman-temanku.
Aku dan teman-temanku duduk di lantai sambil makan snack yang sengaja dibawa untuk bersama. Kami berbincang tentang
segala sesuatu yang mungkin tak ada gunanya. Tapi karena tak ada gunanya itulah
kami bisa tertawa bersama. Karena bahagia kami lebih berharga jika dinikmati
bersama. Tak peduli obrolan kami hanya basa-basi yang basi atau hanya sekadar
gosip alay.
Sesekali aku memisahkan diri dari gerombolan. Aku berjalan kesana-kemari mencari
angle yang bagus untuk difoto. Lelah menjadi
paparazi, aku kembali bergabung dengan gerombolan dan mengambil seteguk air.
Aku masih tak mempedulikanmu.
Kau masih di dalam sana.
Akhirnya yang kami tunggu kelar sudah. Aku sudah berubah menjadi seorang jurnalis
handal lengkap dengan selembar daftar pertanyaan untuk narasumber. Tepat di
depan pintu kelasmu yang terbuka, aku berdiri mengangkat kamera, merekam
aktivitas teman-temanku.
Aku masih tak mempedulikanmu. Ku rasa, saat ini ada hal lebih penting yang
harus aku pedulikan. Dan itu bukan engkau.
Masih berselimut tawa, aku dan geromolanku masuk ruangan. Aku dibingungkan
oleh pengambilan foto yang akan kami lakukan. Siapa yang akan memegang kamera? Kami
kan harus terlihat lengkap di foto.
Aku keluar mencari bantuan. Aku berniat masuk ke tempatmu dan minta bantuan
padamu atau salah satu temanmu. Niatku bukan sekadar mencari bantuan, tapi agar
bisa sedikit tahu bagaimana warna suaramu.
Sirna niat ulungku ketika rasa maluku lebih besar daripada keinginanku. Aku
lihat ada seorang temanmu di depan ruangan. Sebenarnya aku mengenal dia, tapi
aku berusaha terlihat tidak kenal. Dia mau membantuku.
Di dalam ruangan, di saat sesi pemotretan, aku dan teman-temanku tertawa
bersama. Momen ini sangatlah kami rindukan. Bukan hanya aku saja yang
merindukannya, tapi ternyata kami semua sangat merindukan saat-saat seperti
ini.
Sampai di situ, aku dan teman-temanku berpisah. Pulang, makan, kuliah,
bimbingan, pada akhirnya kami sibuk dengan urusan masing-masing.
Ceritaku tentangmu belum selesai.
Beberapa hari setelahnya aku pergi ke kampus dengan warna senyuman yang tak
biasa. Berusaha terlihat ramah dengan warna pakaian cerah yang ku kenakan,
sepertinya aku terlihat aneh. Turun dari motor, aku lagi-lagi melihatmu. Pandanganku
hanya fokus padamu, bukan teman-temanmu.
Lagi, aku bersikap tak peduli.
Aku berjalan mondar-mandir mengurus surat penelitian. Lelah.
Aku duduk di kursi, mengobrol dengan temanku dan sesekali melihat ke
arahmu.
Aku tak peduli dengan lelahku. Aku kembali memasuki gedung keramat di
kampus kita. Keluar dari sana, sedikit-sedikit aku melihatmu. Mengejutkan! Tepat
saat itu kau melihat ke arahku. Mata kita saling berpandangan. Aku tak tahu apa
yang harus aku lakukan. Aku berusaha mengalihkan keadaan yang membuat perutku
mulas seperti ini.
Kau menunjukku dengan jari telunjukmu. Dan kau bertanya pada temanmu siapa
aku. Aku tahu apa yang aku lakukan. Tepat seperti yang aku pikirkan.
Aku berusaha berjalan tenang. Lewat di depanmu, kau melihatku penuh tanda
tanya. Aku tertawa dalam hati.
Cukup ngampus hari ini, aku ingin kembali ke kos membawa harapan baru. Dan hal
itu terulang lagi.
Sepertinya hari itu adalah hari kita. Tuhan sengaja menyatukan jalan
pikiran kita agar kita bertemu satu sama lain.
Kita bertemu lagi. Kau berjalan dan aku naik motor. Aku berusaha tidak
melihatmu. Aku berusaha staycool di
depanmu. Dan itu berhasil. Seperti biasa, aku bisa menyembunyikan perasaanku. Dan
karena terlalu dalam ku sembunyikan, rasanya menjadi sakit.
Hari ini biarlah ditutup dengan rasa penasaran yang kita miliki. Aku ingin
tahu tentangmu, kau juga sebaliknya. Suatu hari nanti, rasa itu akan berbuah
pada perkenalan manis. Percayalah, dunia kita masih sama. Kau dan aku punya
satu hal yang akan selalu berhubungan.
- Cerita ini hanya fiktif belaka yang penuh rekayasa. Terima kasih untuk kampus ungu yang bersedia menjadi latar fiksi sederhana ini. -
Comments
Post a Comment