Pernah aku katakan ‘aku
mencintaimu’ di kala malam masih menggantungi atap dunia. Saat itu taburan
kembang api menjelma warna-warni mengalahkan bintang. Kemerlapnya indah,
seperti perasaanku yang sebentar lagi meledak. Bahkan bintang-bintang di langit
itu terlihat lebih kecil daripada biasanya. Apa karena kembang api yang begitu
dekat dengan kita? Atau karena mataku mulai buta oleh perasaan yang semakin tak
menentu?
Malam tahun baru 2015 itu
kuhabiskan dengannya. Sengaja kupilih tempat di atas bukit agar ia dan aku bisa
melihat keheningan gemerlap kembang api. Di sinilah aku juga ingin mengatakan
sesuatu padanya. Perasaan yang sudah lama mengendap dalam lubuh hati. Sakit
yang tak tertahankan.
Waktu menunjukkan pukul 23.30.
Lama sekali rasanya. Hal apa lagi yang harus kukatakan untuk membuka percakapan
dengannya? Saat ini aku benar-benar tak mampu lagi berkata-kata.
Sejenak, sambil menikmati sepoi
angin, kupandang pekat wajahnya. Rambutnya indah tersapu angin. Matanya sedikit
berkedip akibat angin datang tanpa permisi. Terlukis senyum simpul di bibirnya.
Seandainya aku adalah angin, aku adalah orang paling bahagia di dunia karena aku
bisa dengan semauku membelainya. Bisa kurasakan elok parasnya.
“Ada apa?” tanyanya tiba-tiba.
Ilusiku tentangnya buyar. “Tidak.”
Aku kembali menatap ke depan.
Otakku berputar keras tentang apa yang akan kukatakan nanti. Sepertinya
kurasakan tanganku bergetar. Apa aku takut?
“Terima kasih ya.”
Hatiku tertusuk bertanya-tanya.
Kenapa tiba-tiba ia berkata terima kasih? Apakah esok atau lusa ia akan
meninggalkanku? Aku terus berpikir kemungkinan yang bisa saja terjadi. Aku
belum siap kehilangannya. Perasaanku masih menginginkan jawaban.
“Malam ini aku senang sekali. Aku
bisa menikmati kembang api yang lama tak kulihat. Biasanya malam tahun baru
seperti ini aku di rumah, duduk menonton tv atau mungkin sudah tidur.”
Aku masih mencerna kalimatnya.
Aku menebak-nebak apa lagi yang akan ia katakan.
“Kau tahu, sudah lama aku
menginginkan hal seperti ini. Aku ingin seperti orang lain yang bisa dengan
seenaknya menikmati malam pergantian tahun. Tapi aku tak bisa.”
Satu bulir bening menetes dari
matanya. Aku melihatnya. Dari tadi aku masih menerka apa yang akan ia katakan.
Kenapa ia menangis? Batinku tak menentu.
“Maaf, aku jadi menangis begini.”
Ia tersenyum sambil mengusap air
matanya. Aku tahu senyuman itu pura-pura.
Aku ingin memeluknya. Aku ingin
membuatnya tenang. Aku ingin menghapus air matanya. Aku ingin menyembuhkan luka
yang ia rasakan. Aku ingin menjadi segalanya untuknya.
Usai mengusap air mata, tiba-tiba
ia menyandarkan kepalanya padaku, tepat di bahuku. Andaikan ia tahu, bahu ini
telah lama menunggunya untuk bersandar. Aku senang, tapi aku diam.
Aku tak tahu apa yang harus aku
lakukan. Kubiarkan ia tenang. Kunikmati angin malam dengan pujaan hatiku.
23.59, tinggal beberapa hitungan
detik lagi tahun akan berganti. Aku menghitung dalam hati seraya menghitung
waktu untuk mengungkapkan perasaanku.
Nafasku memburu. Ada getaran kuat
dari dalam diriku. Ketika jatuh cinta, tubuh seakan tak sanggup menahan gaung
cinta dari dalam hati. Cinta begitu agung hingga mampu menyatukan dua hati yang
berbeda.
3... 2... 1... kembang api dengan
bebas menyala di langit malam. Gempita keriuhan malam tahun baru dapat
kuibaratkan sebagai perasaan di dalam hatiku yang bercampur aduk. Cinta, malu,
takut, entah apa lagi. Saat ini aku merasa menjadi seseorang yang berada di
jurang hidup dan mati. Baiklah!
“Kau ingat beberapa bulan lalu
saat pertama kita berkenalan? Kau tahu, itu adalah hari istimewa buatku. Kukira
surga telah kehilangan satu bidadarinya. Beruntungnya aku, bidadari itu ada
tepat di hadapanku.”
Sepertinya wajahku memerah.
Kucoba memilah kata untuknya. Kali ini aku lebih berhati-hati.
“Pertemuan yang hanya sebentar
itu membuahkan rindu berkepanjangan. Tak hentinya aku memikirkanmu. Semakin
hari aku semakin merindukanmu. Aku ingin bersamamu.”
Aku berhenti sejenak,
membiarkannya mencerna kalimat demi kalimat yang aku lontarkan.
“Rindu ini tumbuh tanpa seizin
tuannya. Di dalam hati penuh rindu, ada cinta perlahan hadir. Saat kusadari
cinta itu ada, aku menjadi orang paling pengecut di dunia. Aku takut kau
diambil orang lain. Aku takut kau tak lagi ada di sampingku. Aku takut kau
berpaling dariku. Aku takut hal-hal buruk menimpamu.”
“Aku mencintaimu. Apa kau mau
menjadi bagian dari hati yang menginginkanmu ini?”
Mataku terpejam. Akhirnya aku
sanggup mengatakannya.
Dingin angin malam semakin panas
menusuk pori-poriku. Kembang api masih
berkelebat merajai langit. Ia masih bersandar di bahuku, tanpa kata.
Pikiranku melayang. Kenapa ia
diam? Apa dia tidak mendengar kata-kataku? Apa dia menolakku?
Kuberanikan diri menoleh
kepadanya. Matanya tertutup. Apa yang terjadi? Mungkin ia tidur. Kubiarkan ia
merasa nyaman bersandar padaku.
Tangannya mengisyaratkan agar aku
menggenggamnya. Mungkin ia kedinginan. Kupegang tangannya. Berharap ia lebih
nyaman lagi.
Tangannya dingin. Perasaanku tak
enak. Aku tak berani berpikir macam-macam.
Terpaksa kubangunkan dia dari
tidurnya.
“Bangun! Bangun!” pintaku.
Ia tak bergeming. Bergerak
sedikit pun tidak. Matanya masih belum membuka.
“Kau kenapa? Ayo bangun!”
Masih tak ada jawaban. Kulihat
tangan kanannya menggenggam sesuatu, seperti kertas kecil.
“Terima kasih untuk malam ini dan malam-malam sebelumnya. Kau membuatku
mengerti arti menunggu dan merindu. Saat kau membaca tulisan ini, mungkin aku
sudah tidak ada lagi. Aku sudah pergi dari dunia ini. Aku pergi ke tempat
dimana aku tak perlu menunggu waktu makan lagi agar kita bisa bersama. Di sana
aku bisa melihatmu kapanpun aku mau. Aku bisa menemanimu kapanpun kau
merindukanku. Ya jika kau merindukanku.
Terima kasih untuk tahun ini. Sungguh penghujung tahun yang indah
bersamamu. Bersama cinta yang kupendam entah berapa lamanya.
Dari hati yang penuh rindu, aku untukmu. Aku mencintaimu.”
Waktu seakan berhenti. Gemuruh
suara ledakan kembang api sama sekali tak terdengar. Mataku terpaku pada
goresan pena di selembar kertas usang itu. Tanpa kusadari, di kertas itu
perlahan muncul bulatan-bulatan air yang menetesinya. Air mataku.
Hatiku sakit, sangat sakit. Saat
aku yakin aku mencintainya, ia pergi meninggalkanku untuk selamanya. Saat aku
akan mengungkapkan isi hatiku, hanya dari coretan pena itu aku mampu menerka
jawabannya.
Kenapa waktu begitu kejam untuk
dua hati yang saling mencintai? Tidak bisakah ia tinggal lebih lama lagi?
Bisakah Kau mengambil kami berdua agar tak ada salah satu di antara kami yang
terluka?
Aku sendirian. Pedih mengingat
luka tentangnya. Langit seakan tahu kesedihanku. Padanya muncul bayang wajahnya
yang kurindukan. Ia tersenyum melambaikan tangan padaku. Ia, kekasih tanpa
tanda cinta.
Comments
Post a Comment