Aku mengagumimu. Setiap kali aku selalu menginginkan kesempatan mencuri pandangmu. Diam-diam aku mengamatimu. Melihatmu dari kejauhan. Memuja senyumanmu. Hatiku bergetar hebat meski kita berjarak. Kau tahu, barangkali benar yang rupawan banyak, namun yang mampu menggetarkan hati hanya satu.
Adakah kesempatan berbincang denganmu? Kadang aku berpikir, melihatmu dari kejauhan saja hatiku bergetar hebat, bagaimana jika kita duduk semeja? Bagaimana kalau kita melihat senja berdua? Maukah kau menikmati senja sambil secangkir kopi menemani pergulatan batin ini? Jika itu terjadi, kopi akan terasa pahit. Sungguh. Kau kejam sekali merebut manis kopiku.
Selama ini satu hal yang mengajarkanku arti diam adalah senja. Lalu kau datang mengajarkan bahwa senja telah salah. Untuk apa diam jika mengucap namamu di dalam doa menjadi keharusan?
Secangkir kopi memang menenangkan. Kopi hangat diminum bersama buku sebagai bacaan demi pikiran yang tetap hidup. Sekarang aku paham betul, ternyata tanpa membaca, pikiran akan tetap hidup. Hidup dalam pikiran-pikiran tentangmu.
Aku lebih suka siang daripada malam. Kerlip lampu menutup kebisingan. Bintang bersinar indah menggantung di langit. Tak mau kalah, rembulan anggun menampakkan sinarnya. Seratus bintang di langit begitu indah. Kau, satu, istimewa. Pancaran matamu mengalahkan jutaan bintang dan bulan yang angkuh di angkasa. Malamku tersingkirkan oleh siang. Terik yang kau ubah menjadi sebuah alasan tetap berada.
Di setiap aspek kehidupan, manusia tak lepas dari seni. Dari berbagai kesenian, duniaku terisi oleh alunan melodi yang sepakat diberi nama musik. Konon seseorang yang mendengarkan berbagai aliran musik memiliki pemikiran lebih terbuka dibandingkan yang hanya mendengarkan satu aliran. Kurasa hal itu benar. Pikiranku tertutup, mataku memandang satu arah, kemauan tak mudah goyah, semua terjadi karena aku mendengar suaramu. Satu suara yang mengalahkan jutaan melodi dunia. Sederhana dan bermakna.
Ketahuilah kau begitu berharga. Di manapun engkau, ada seseorang yang mengagumimu. Tanpa aba-aba, ia meminta dunianya hanya berisikan kamu. Tidak memaksa, rasanya terus tumbuh seiring diamnya. Pikirannya tertuju padamu seperti cangkir kopinya yang memberi wadah khayalnya. Siang malam berbalik sudah demi pertemuan singkat dari kejauhan. Suaramu telah memenuhi isi kepalanya. Salamnya dari seorang pecinta yang menjadikanmu tujuan ia mengabadikan rasa.
Adakah kesempatan berbincang denganmu? Kadang aku berpikir, melihatmu dari kejauhan saja hatiku bergetar hebat, bagaimana jika kita duduk semeja? Bagaimana kalau kita melihat senja berdua? Maukah kau menikmati senja sambil secangkir kopi menemani pergulatan batin ini? Jika itu terjadi, kopi akan terasa pahit. Sungguh. Kau kejam sekali merebut manis kopiku.
Selama ini satu hal yang mengajarkanku arti diam adalah senja. Lalu kau datang mengajarkan bahwa senja telah salah. Untuk apa diam jika mengucap namamu di dalam doa menjadi keharusan?
Secangkir kopi memang menenangkan. Kopi hangat diminum bersama buku sebagai bacaan demi pikiran yang tetap hidup. Sekarang aku paham betul, ternyata tanpa membaca, pikiran akan tetap hidup. Hidup dalam pikiran-pikiran tentangmu.
Aku lebih suka siang daripada malam. Kerlip lampu menutup kebisingan. Bintang bersinar indah menggantung di langit. Tak mau kalah, rembulan anggun menampakkan sinarnya. Seratus bintang di langit begitu indah. Kau, satu, istimewa. Pancaran matamu mengalahkan jutaan bintang dan bulan yang angkuh di angkasa. Malamku tersingkirkan oleh siang. Terik yang kau ubah menjadi sebuah alasan tetap berada.
Di setiap aspek kehidupan, manusia tak lepas dari seni. Dari berbagai kesenian, duniaku terisi oleh alunan melodi yang sepakat diberi nama musik. Konon seseorang yang mendengarkan berbagai aliran musik memiliki pemikiran lebih terbuka dibandingkan yang hanya mendengarkan satu aliran. Kurasa hal itu benar. Pikiranku tertutup, mataku memandang satu arah, kemauan tak mudah goyah, semua terjadi karena aku mendengar suaramu. Satu suara yang mengalahkan jutaan melodi dunia. Sederhana dan bermakna.
Ketahuilah kau begitu berharga. Di manapun engkau, ada seseorang yang mengagumimu. Tanpa aba-aba, ia meminta dunianya hanya berisikan kamu. Tidak memaksa, rasanya terus tumbuh seiring diamnya. Pikirannya tertuju padamu seperti cangkir kopinya yang memberi wadah khayalnya. Siang malam berbalik sudah demi pertemuan singkat dari kejauhan. Suaramu telah memenuhi isi kepalanya. Salamnya dari seorang pecinta yang menjadikanmu tujuan ia mengabadikan rasa.
Comments
Post a Comment