Mencintai seseorang begitulah
menyenangkan. Bagaimana tidak? Dengan memandangnya dari kejauhan, bergetar rasa
di dada. Semakin besar irama detak jantung seiring dengan waktu mendekatnya
dia. Senyumnya membuat kaki melemas. Hanya matanya yang mampu menimbulkan efek
bius setara dengan tinggi langit ketujuh. Sesederhana itu. Ya, aku mecintainya
dengan sederhana, dengan caraku.
Lembaran-lembaran hari tertulis
sempurna. Ada cerita di mana aku dengannya mengendarai motor berdua,
berboncengan memamerkan kepada seluruh isi jalanan bahwa kami sedang bahagia.
Sesekali tangannya kuat mengait jemariku. Di saat sama, kami juga bernyanyi
lagu-lagu ceria tentang cinta. Aku ingin dunia tahu kami sedang jatuh cinta,
sedang sayang-sayangnya.
Bahagia bukan berarti tiada
perselisihan. Beberapa kali kami beradu pendapat. Entah tentang aku yang gila
kerja, ia yang menungguku makan, atau tempat mana yang dikunjungi ketika malam
minggu. Lucu.
Adapun pertengkaran hebat
melibatkan batin. Muncul manusia-manusia pengganggu. Barangkali terlalu kasar
disebut pengganggu jika aku hanya membenarkan cemburu. Berkali-kali ia
meyakinkanku bahwa tiada yang istimewa dari perkenalan itu. Terkadang saling
menggenggam tangan, diam, dan memandang adalah cara ampuh menenangkan amarah.
Dari matanya aku melihat
ketulusan, meski pancaran mataku mengisyaratkan ketakutan. Takut kehilangan.
Tangan yang digenggam, hati yang tercengkeram. Sebuah aliran magis mengaliri
tubuh. Hormon kebahagiaan meletup kencang. Tubuhku menggila atas sensasinya.
Perlahan kami tersenyum bersamaan, masih dalam diam. Dalam peluk kami berikrar,
cinta kami adalah yang paling benar.
Comments
Post a Comment