Aku mencintaimu tanpa sebab. Memelukmu setiap malam diiringi doa munajat. Segala bentuk berkas cahaya mewakili berbagai rasa. Kagum, rindu, entah tampak berliku. Senyum Nampak tercipta setiap aku melihat dirimu. Jengkal demi jengkal indahmu barangkali boleh kuanggap mutiara. Hanya aku yang pantas memilikinya.
Malam ini sengaja kuliburkan
mata. Enggan menodai senja dari makhluk luar biasa sepertimu. Kau adalah kau. Tak
kubiarkan pula senja mengganggu tempat duduk kita. Senja adalah senja. Kau dan
senja tak boleh bersama. Aku tak sekuat itu. Aku terlalu kacau di hadapan
kalian, Sayang.
Larut petang kumanjakan telinga
dengan asupan karya-karya Dave Kov. Raguku mengaku kau tak paham kegemaranku. Alunan
melodi apa yang masuk akrab di telinga. Kecap masakan apa yang bersedia hinggap
di lidah. Warna langit apa yang mampu menarik mata tanpa enggan berkedip. Tak apa.
Kau punya dunia.
Di dalam duniamu ada aku yang
fana. Langit bumiku mengatasnamakan kau.
Jauh pada senyum simpulmu,
berbagai pandangan datang mendekat dan memuji. Lengkung bibirku cukup terwujud
kala memandangmu di kejauhan.
Bundar bola matamu membius semesta,
mengakui sinar lembutnya. Mataku terlalu pengecut untuk sekadar menatapnya.
Pertiwi bergetar mendengar
suaramu. Entah hatiku hancur berapa juta keeping hingga menyusut terbuang dan
tersingkir di lubang hitam. Semesta sungguh indah saat lembayung senja mewarnai
langit berkanvas sisa-sisa energiku yang hancur. Bukti kenang katanya.
Ah, kau adalah pusat semesta bagi
aku yang secuil debu di kaki gunung. Adakah angin yang bersedia mengantarku
menuju singgasanamu? Tiadakah tangga di sini? Ingin kudaki apapun yang menjadi
aral. Asal kau berada di genggamku.
Tunggulah di sana. Jaga tempatku.
Comments
Post a Comment