Skip to main content

Pernak-Pernik Pena 90

 

Maret 2015. Kala itu saya adalah mahasiswa akhir yang satu tahun lebih berkutat pada skripsi. Tugas maha mulia ini saya kerjakan sejak kira-kira Februari 2014. Dengan berbagai intrik dan segala drama, skripsi menjadi teman setia sepanjang malam. Penat dan jenuh menjadi pengisi irama mengerjakannya. Tak tertinggal, segala bentuk tawa pereda bersama teman-teman seangkatan yang berjuang bersama.

Target satu semester luput. Molor berbulan-bulan. Sampai saya sendiri malas menghitung. Hal ini menjadikan semester-semester akhir terasa lama. Ingin lekas mengakhiri, tapi skripsi tak kunjung berakhir. Bermaksud lulus berpredikat lulusan termuda, ternyata semua asa menjadi sia-sia.

Adalah kebiasaan saya dan teman-teman saya berkumpul. Sekadar makan bersama di zaman semester tua menjadikannya nikmat luar biasa. Melihat beberapa teman di jurusan lain mulai mengangkat toga, saya masih bercengkerama mesra dengan skripsi. Ada saatnya saya merasa kalah. Namun, katanya, setiap manusia punya jalan masing-masing. Saya mengiyakan dengan hela napas panjang.

Suatu sore matahari enggan kembali ke peraduan. Bumi masih terang, dan terik. Lelah dengan revisi, saya bergegas mengunjungi salah satu kawan di tempat kerjanya. Ia melakukan kerja paruh waktu di sebuah kedai susu di sekitar kampus. Oh, iya, bagi yang belum tahu, saya adalah mahasiswa Universitas Negeri Semarang, saat itu. Tentu sekarang status saya bukan lagi mahasiswa, melainkan alumni. Tepatnya Prodi Pendidikan Bahasa Perancis. Saya anak pendidikan, lho. Tidak menyangka, bukan? Saya juga.

Segelas es coklat tersaji. Buku Donald Duck membuat bibir saya tertawa ringan, meski hati menangis pelan. Bagaimana tidak, skripsi saya saat itu sudah menginjak Article. Artinya jika tahap ini selesai, saya dapat segera mendaftar sidang. Selangkah lagi. Namun saya merasa langkah yang harus saya ambil terlalu panjang. Entah atau saya yang tidak sabaran, atau memang sudah bukan jatahnya saya menyandang status mahasiswa.

Sembari menunggu pelanggan, kawan saya menemani saya duduk semeja. Ia bertanya kelanjutan skripsi saya. Kupikir tidak ada jawaban tersedia. Sejauh mata memandang, tidak ada perkembangan. Pertanyaan sama saya lemparkan padanya. Meski kami saling tahu jawabannya, setidaknya saling bertanya adalah bentuk kepedulian. Baik peduli terhadap teman, atau nasib yang stagnan.

“Kenapa skripsi kita tidak berjalan lancar? Kita tidak pernah absen bimbingan. Revisi selalu dikerjakan meski begadang semalaman. Kumpulan teori kuat disatukan. Penelitian dan olah data cukup menjadi bahan. Saran dan kesimpulan? Saya kira itu bukan hambatan. Article tinggal memperbaiki grammaire.”

Setumpuk keluh saya tumbahkan di atas segelas es coklat dan buku Donald Duck. Serta tak lupa mentari sore menyeringai di ujung sana. Seolah tak ingin meninggalkan momen kesedihan seorang mahasiswa akhir.

Frustasi? Tidak juga. Saya punya kemampuan independen dalam membahagiakan diri sendiri. Hanya saja otak dipenuhi pikiran mengganjal. Berbagai tindak agamis tak luput dilakukan. Tetap saja, gelar sarjana masih belum tampak hilalnya. Kurang apa?

Semburat jingga menjawab pertanyaan lusuh seorang pemimpi yang haus gelar. “Mungkin kita harus mencari jalan Tuhan.”

Hipotesis sederhana mengalir begitu saja. Bisa dibilang ada benarnya. Namun entah dengan cara seperti apa.

Jika menelusur ke belakang, doa yang saya panjatkan selalu sama. Tentang selesainya skripsi, lancar kehidupan asmara, dan doa-doa baik perihal orang tua dan kehidupan selanjutnya. Ya, selalu itu. Apakah Tuhan bosan dengan doaku?

Saat itu tercengang di benak saya bahwa saya adalah makhluk egois. Paling egois di muka bumi. Mengapa demikian? Setiap kali berdoa, saya hanya mendoakan diri sendiri. Saya hanya ingin Tuhan mengabulkan doa saya, yang itu-itu saja. Tidak variatif sekali. Sama sekali nihil unsur sosialis. Selama saya hidup, saya baru menyadari hal ini. Seketika saya berpikir barangkali Tuhan akan senang mendengar doa hambanya yang mendoakan orang lain. Paling tidak, saling mendoakan.

Saya dan sahabat saya ini mencari cara mendapatkan doa dari orang lain. Apa lagi kalau bukan bakti sosial (baksos)? Kami pikir itu adalah cara ampuh.

Kata kunci didapat lagi setelah doa orang lain. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah baksos dengan kemasan seperti apa? Terasa kurang seru jika baksos hanya menyalurkan barang-barang donasi. Ada saatnya demikian, tapi berhubung kami sedang semangat, alangkah lebih baik jika kegiatan ini dikemas apik.

Prodi kependidikan seringkali kami tenteng di pundak. Bahasa asing – saya kuliah ambil bahasa Perancis – tak jarang pula kami junjung di setiap kegiatan. Terbesitlah kemasan penuh nuansa pendidikan yaitu mengajarkan bahasa Perancis kepada anak-anak panti asuhan. Panti asuhan kami jadikan sasaran baksos melihat banyaknya panti asuhan di Kota Semarang yang masih luput perhatian. Ditambah kami memang punya relasi dari panti-panti tersebut. Pasalnya sewaktu masih ikut organisasi kampus, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), beberapa acara dilakukan di panti asuhan.

Mengingat peminat bahasa Perancis cukup kecil di lingkup anak-anak, kami mengurungkan niat tersebut. Sempat waktu itu acara BEM di panti dan yayasan mengusung tema pembelajaran. Saya mengajar bahasa Perancis kepada anak-anak. Karena waktunya singkat, hasilnya kurang optimal. Akan lebih bagus jika pembelajaran dilakukan secara berkelanjutan dan rutin. Namun sekali lagi, acara baksos ini memakan waktu hanya sehari. Tidak mungkin hal itu dilaksanakan.

Menjelang malam, kami berdua berpikir keras mengenai konsep. Saya pribadi ingin acara ini orisinal. Artinya tidak mencomot ide orang atau komunitas lain. Tentu saja saya juga ingin acara ini melekat di kenangan setiap peserta.

Entah pada teguk keberapa, di dalam pikiran terbit ilusi permainan tradisional. Benar saja, sejauh ini belum ada acara baksos berkemas pelestarian permainan tradisional. Komunitasnya ada, kemasan baksosnya yang belum ada. Itu bedanya.

Sebuah konsep terkunci rapat. Selanjutnya adalah nama kegiatan. Cukup sulit saat itu. Sekali lagi ego saya ingin acara ini melekat dan orisinal. Tentu dari awal kuliah semua mahasiswa diajarkan tidak plagiat, kan? Hehehe.

Malam harinya, sebelum tidur, saya mencoret-coret kertas putih kosong di dalam binder. Berbagai opsi nama tertulis di atasnya. Sampai hari ini saya lupa berapa nama terpikir malam itu. Yang saya ingat hanya hasil akhir di mana saya menaruh hati pada Pena 90, akronim cantik dari Pesta Dolanan ’90-an. Saya pikir nama ini indah. Tidak hanya saya, kawan saya pun mengakuinya.

Saatnya tidur. Saya memimpikan betapa menyenangkannya bisa kembali aktif merancang, dan membuat suatu kegiatan. Pasalnya setelah semester tujuh, saya hanya menjadi penonton acara kampus. Melihat kesibukan panitia menjadikan bahan nostalgia. Belum lagi menikmati euforia peserta atau penonton. Sungguh, peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan seorang pegiat acara. Kesuksesan sebuah acara salah satunya dapat dilihat dari antusiasme penikmatnya.

Tidak sabar saya dan kawan-kawan menantikan hari H. Lama tidak membuat kegiatan sendiri membuat kami sedikit lupa ilmunya. Namun kesempatan ini tidak akan sia-sia. Pena 90, mari berbagi bahagia!

Comments

Popular posts from this blog

KATA-KATA JRX SID

Kali ini Prima akan mengutip kata demi kata yang pernah dipermainkan oleh sang penggebuk drum di band perompak, Superman Is Dead. Kata-kata JRX SID Buat yg suka mlesetin 'ormas' dgn 'omas'. Sumpah joke kalian ga lucu. Dibayar pun ga akan ada yg ketawa. Adu petarung terbaik yg dimiliki rakyat dgn petarung terbaik milik ormas. Pakai cara purba ketika berurusan dgn manusia purba. Banyak yg setuju: duel adalah cara efektif mengusir ormas dari RI. Saya juga yakin, ormas akan menolak cara itu dgn sejuta alasan. Susah debat sama ormas. Mending ajak duel satu-satu, yang kalah keluar dari Indonesia. Cuma itu bahasa yg mereka mengerti. Kalian yg koar2 menuduh SID menjual fashion ketimbang musik, saya tanya balik, CD SID kalian apakah original? Band bukan parpol. Kalau parpol senang kaos nya di dibajak, band (yg ga berpikir spt parpol) akan kesal jika kaos nya dibajak. Baru saja mengalami pengalaman yg cukup sinematik: mengendarai ombak di bawah hujan lebat. It was fuk

RPP Bahasa Perancis (KTSP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN Satuan Pendidikan          : SMA Mata Pelajaran               : Bahasa Perancis Kelas/Semester              : XI/1 Keterampilan                  : Membaca Alokasi Waktu               : 1x45 menit STANDAR KOMPETENSI Membaca Memahami wacana tulis berbentuk paparan atau dialog sederhana tentang “La Vie Familliale”. Kompetensi Dasar Membaca 1.        Memperoleh informasi umum, informasi tertentu dan atau rinci dari wacana tulis sederhana secara tepat. 2.        Membaca nyaring kata, frasa dan atau kalimat dalam wacana tulis sederhana secara tepat. Indokator I.                     Kognitif A.       Produk 1.        Siswa mampu menentukan informasi tertentu dalam teks yang bertema “La Vie Familliale”. (KD 1) 2.        Siswa mampu menggunakan adjectif possessif ke dalam kalimat. B.       Proses 3.        Siswa mampu menafsirkan makna kata di dalam teks yang bertema “La Vie Familliale”. (KD 1) 4.        Siswa mampu

Menemui Arti

Seperti seekor hamster, aku berlari di atas roda putar. Meski rasanya lelah, nyatanya aku tidak berpindah tempat. Hanya menghabiskan waktu dan tenaga yang sia-sia. Semakin kencang aku berlari, semakin tak terarah apa yang kuingini. Di saat aku ingin berhenti, dunia sama sekali tak menunjukkan kabar baik. Hari-hariku terkesan biasa saja. Tidak hujan, tidak cerah. Biasa saja. Terlalu biasa. Tanpa sisa. Seketika aku sedang menepi tanpa mencari, kau datang tanpa permisi. Kehadiranmu sungguh terasa pas walaupun bukan itu yang aku cari saat ini. Apakah mungkin justru ketidaksengajaan inilah yang membuat jalan kita begitu serasi?