Skip to main content

Posts

Masih Ada Luka di antara Tawa

Malam bergeming, hujan temaram, gemintang malas menerawang. Seorang anak terbaring pada ingatan. Di tengah samudera air mata. Di antara liku asmara. Di atas pedih menganganya luka. Ngilu ia menatap kaca. Bayang orang tercinta setia di hadapan mata. Ingin lupa namun tak bisa. Seolah candu, kata mesra terlintas kelu. Sebentar sebentar ia mengalir. Tak butuh waktu lama ia berdamai. Waktu tak berpihak, memori hadir kembali. Dingin tak terhingga. Sembrana pula ia titipkan rasa. Ia terima kembali kecewanya. Yang berujung patah segalanya. Kasihan. Semakin ingin melupakan, semakin pula kuat di ingatan. Rabu, 2-22-2017, tanggal cantik di bulan cantik. Tempat segala angan tergantung di langit. Tepat saat memori tentangmu muncul. Dan satu novel yang masih belum habis kubaca.

Disini Merenungi Kau yang Pergi

Mencintaimu bukanlah hal yang aku sengaja. Merindukanmu tidaklah yang aku rencanakan sebelumnya. Memilikimu dalam situasi terburukku adalah anugerah semesta. Aku terlahir sakit, menemukanmu yang mengobati. Kau mengajarkan hidup lebih hidup. "Kita akan menjadi lebih hidup ketika mencintai seseorang." Katamu. Kenyataan memang begitu adanya. Cinta yang kurasa sempurna kau hempas begitu saja. Malam itu, aku mengingatnya. Belati menancap memaksa kepergianmu. Bertubi-tubi ingin aku terbangun dari mimpi. Menyesakkan. Jika kau pergi meninggalkan luka, bolehkah aku menitipkan karma?

Kepada Ilusi yang Ingin Kukemasi

Menerawang angkasa. Merajut asa. Menuai luka. Agar bahagia. Harap-harap tak ada air lagi terjatuh dari sudut mata. Kau kembali. Munculkan memori. Kau hampiri hati yang mau pergi. Aku permisi. Luka belum mengering. Masih menganga. Pilu, ngilu, kelu menjadi satu. Peraduan masa lalu. Denganmu yang aku ingin segera berlalu. Satu tempat, kau masih tersimpan. Tempat lain kau layak dibuang. Mana yang harus terpilih. Mati segan hidup tak mau. Lelah. Jika harus dibiarkan mati, matilah. Jangan tumbuh lagi. Kubur segala nyeri dan ilusi.

Pengiring Hujan Hari Ini

Cerita yang Masih Sama, Luka

Ketika melupakan masa lalu tak semudah bercandamu tentang kita. Lelah sudah perjalanan ini tercipta. Demi beranjak dari luka, kulakukan segalanya. Apapun kusemogakan asal kau bisa kulupa. Mencoba hal-hal baru agar tak mengusik ceritamu. Pantai, gunung, jalanan, semua membantuku. Tidak dengan seseorang. Tidakkah alam punya cara sendiri untuk membantuku melupakan? Tidak dengan cerita seseorang yang hari demi hari hadir mengisi malam. Semesta masih menjebakku dalam buaian masa tentangmu. Bahkan, untuk menjalin kisah baru pun sulit sekali rasanya. Bukan tak bisa pindah. Ada yang merasa lelah dan takut kecewa untuk kesekian kalinya. Senja kali ini aku habiskan di kota kelahiran, Jepara. Jingganya menenangkan. Pesonanya mengalahkan segalanya. Karenanya aku mencoba lahir kembali. Aku yang baru. Aku yang tanpamu. Aku yang membencimu. Lupakan itu. Rasa itu biar aku yang tanggung. Kau tak perlu memikirkan. Senja masih setia menungguku pulang. Ia sedia mendengar keluh. Tak ragu kadang peluh ikut...

Buat Kamu yang Ingin Kulupakan

Kenapa melupakanmu begitu berat? Apakah aku masih setia pada masa lalu? Tak bisakah kupandang lurus ke depan? Sayang, kau selalu hadir di setiap sudut mata memandang. Harap kata ingin melepaskan, yang ada ternyata hanya lelah. Ingin diri merelakan, apa dikata hati masih sayang. Doa lekas melupakan, tapi rindu tetaplah rindu. Candu tetaplah candu. Rindu dan candu menyatu. Kamu.

Berawal dari Hujan

Hujan. Apakah kau sama merindu? Tentang kita dan hujan. Malam pertama menghabiskan waktu bersama. Di bawah tenda beralas tikar. Pukul 12.00 malam kita bercengkerama. Membunuh waktu. Berteduh lelah. Hujan dengan deras membanjir. Kau dan aku masih setia berbekal seporsi mie rebus. Dingin di luar. Ada hangat menyelimut diam-diam. Di antara perbincangan sederhana. Berbalut tatap mata manja. Berakhir senyum sipu. Membekas rindu. Akhirnya kau mencandu.