Skip to main content

Posts

Duniaku Baik-Baik Saja

Tidak ada salahnya mengagumi seseorang. Diungkapkan atau tidaknya perasaan itu adalah keputusan pribadi. Tidak ada norma hitam putih yang mengaturnya. Pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada diri sendiri. Perihal menyukai seseorang dari jauh, aku pernah merasakannya.   Hari-hari berjalan begitu indah setiap kali memandangnya. Meski dari kejauhan, aku rasa itu tidak masalah. Selama masih dapat menikmati pemandangan mempesona itu, dunia akan baik-baik saja. Tidak ada alasan untuk saling mengenal lebih jauh. Pada dasarnya aku dan dia sejak lama tahu keberadaan masing-masing. Tentu ia tahu tentangku. Beberapa kali kami bertemu dalam satu kesempatan. Punya latar belakang berbeda tidak menghalangiku sesekali bertatap mata dengannya. Indah, bukan? Masih ingat betul setiap kali aku melihat matanya dari kejauhan. Kedua bola mata itu berbicara syahdu. Apakah aku menyukainya? Tentu. Apakah aku merindukannya? Sangat. Salah satu kesempurnaan yang kuagungkan.

Menjelang Lebaran

Menjelang lebaran. Mohon maaf lahir batin.   

Bersua Melipur Lara

Sekian malam kita menghabiskan malam tanpa bersua. Kau dengan hidupmu. Begitu pula aku dengan duniaku. Kita terlalu lelah hanya untuk bercengkerama. Pekerjaan sehari-hari habis memeras peluh. Entah karena tidak ada waktu atau perasaan kita saja yang malas memulai. Hingga pada suatu titik, semua melebur menjadi kepingan kenangan utuh, berpendar bersamaan langit yang merona menjadi jingga. Di antara malam-malam itu sama sekali tidak ada pikiran atau keinginan untuk menghubungimu. Untuk apa, kataku. Aku berniat melupakanmu sejak saat itu. Malam di mana batin bergulat hebat dengan perasaan memaksa baik-baik saja. Nyatanya aku tidak sebaik itu. Amat melelahkan ketika memilikimu dengan segala luka yang belum selesai. Padahal, memilihmu bukanlah keharusan, bukan? Akhir-akhir ini hal itu meledakkan tawaku. Ternyata aku bisa sebegitunya dibuat olehmu. Bukan berarti aku menyesal. Sebaliknya, terima kasihku padamu tak akan habis mengalir. Aku paham betul apa yang membuatku menjadi seperti sek...

Ia yang Mampu Melakukan Semuanya dan Semaunya

Pertemuan dengannya telah berhasil memangkas hari-hari saya yang terasa kosong. Jika biasanya saya menghabiskan sore dengan menunggui mentari terlelap, sekarang saya puas dengan sesederhana duduk berdua dengannya tanpa melakukan apa-apa. Tidak perlu muluk-muluk. Seperti itu terasa lebih dari cukup. Tidak pernah terbayang hal ini sebelumnya. Barangkali karena saya tak punya minat ke arah sana. Untuk apa? Kenapa harus menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain? Saya merasa punya kemampuan independen untuk membahagiakan diri sendiri. Demikianlah saya hidup pada masanya. Idealis, angkuh, merasa tegar meski tak bertubuh kekar. Tanpa pertanda atau firasat berarti, ia mampu menghancurkan sistem pertahanan yang telah lama saya bangun. Hanya dengan satu senyuman, semuanya runtuh seketika. Satu tatapan mata sayu, lutut ini tak mampu menahan beratnya raga. Jari-jari tangannya mengait erat tangan saya. Di saat bersamaan saya berharap ia tidak mendengar detak jantung saya. Saya rasa, sebentar...

Ingin

Aku ingin berpuisi Menari-nari pada bayang siang hari Lalu terlelap dalam peluk pekat melati Menuju rumah penuh ilusi

Lekat

Ada saat di mana aku merasa lelah. Waktu-waktu aku berpikir keras tentang apa yang harus dilakukan. Seberapa cepat aku berjalan, tujuan tak juga terlihat. Seberapa hati-hati aku melangkah, cahaya tak datang secercah pun. Aku lelah. Aku hilang. Aku pasrah. Senja hampir setia menemani langkah pulang. Sepanjang perjalanan otakku selalu terisi hal-hal yang entah penting atau tidak. Berbagai isi pikiran muncul seketika, tanpa kuasa. Seperti ilalang di tepian, ia bergoyang pasrah diterpa angin. Begitulah aku yang hanya bisa menerima alur dunia tanpa mampu berontak. Apakah ingin berubah? Tentu! Bisakah? Setiap malam dalam mimpiku tak pernah berhenti sedikit pun mata memandangmu. Banyak orang mengakui melihat arti lain melalui caraku menatapmu. Benar. Aku mengakuinya. Begitu teguh rasaku padamu. Sejak saat itu aku rela jatuh ke dalammu. Dalam dekapmu yang amat rengkuh. Dalam harimu yang sungguh semu. Dalam cerita khayal seorang pembual.

Menetap?

Manusia. Beberapa datang dan pergi tanpa diminta. Beberapa lainnya meminta izin atas tinggalnya. Namun hukum alam mengatakan bahwa setiap datang akan menemukan pergi. Mereka yang pergi pun dapat terganti oleh yang datang. Lalu, kapan menetap? Apakah tetap adalah sementara? Jika demikian, apa arti sesungguhnya atas kata "tetap"?  Barangkali menetap tidaklah mudah. Upaya dan waktu harus berjalan seirama. Bagaimana caranya? Bukankah satu yang abadi di dunia ini adalah ketidakabadian? Bukankah hal paling pasti adalah ketidakpastian? Kenapa semua serba paradoks? Terlalu rumit bagi mata telanjang yang hanya ingin dimanjakan.  Di antara sajak-sajak kebingungan ada kalanya seseorang menerka seluruh kepala. Bagaimana memahami mata berbicara. Cara mengerti sesimpul senyum. Gerik jemari mengetuk meja. Hingga laku langkah serta anggukan kepala. Sebagai pengamat dan penikmat, hal-hal tersebut cukup mengasyikan. Selanjutnya, bagaimana? Siapkah menetap?