Mimpi adalah sebuah cahaya yang akan selalu
bersinar meski semua sumber cahaya meredup. Tidak ada yang bisa mengalahkan
harapan dari sebuah mimpi. Seorang manusia mati tidak saat dia kehilangan
nyawanya, melainkan saat dia kehilangan mimpinya.
Prima, seorang mahasiswa yang melabuhkan dunianya
di bidang kependidikan. Mahasiswa yang dipenuhi dengan idealisme-idealisme
bercermin kaum intelek. Wanita berperawakan kurus tinggi yang bersedia memaknai
hidupnya di dalam mimpi. Mimpi yang tak pernah mati.
Layaknya seorang pujangga, Prima mengisi
hari-harinya dengan coretan-coretan angan pada sebuah kertas harapannya.
Berharap Tuhan membalas tulisan itu, Prima tak henti berkhayal tentang dunianya
yang abadi. Namun semua itu hanya mimpi. Ya, hanya sebuah mimpi dari seorang
anak berusia 20 tahun. Dewasa karbitan.
Pada sebuah kesempatan, Prima diundang seorang
teman untuk berdiskusi perihal mimpi. Ardi, sapaan temannya itu. Ardi, seorang
mahasiswa dari universitas yang sama dengan Prima, mencoba beradu idealisme
tentang mimpi. Apakah mimpi akan membuat seseorang menjadi abadi? Ataukah mimpi
hanya akan menjadi mimpi? Mimpi, jalan panjang, berliku dan menanjak yang harus
didaki manusia.
“Apa mimpimu?” Pertanyaan Ardi memecah keramaian
di sebuah kedai kopi dekat kampus mereka.
“Mimpiku? Aku ingin menjadi seorang pemimpi. Itu
saja.”
Jawaban singkat keluar dari mulut Prima, membuat
Ardi mengernyitkan dahi. Mencoba memahami jawaban temannya itu, Ardi kembali
melontarkan pertanyaan.
“Kenapa mimpimu hanya sebatas itu? Hanya menjadi
seorang pemimpi.”
“Aku ingin menjadi seorang pemimpi karena dengan
mimpiku, aku bisa menggapai apapun yang aku mau.”
“Mau jadi apa kau jika hanya bermimpi?”
Malam itu seakan menjadi malam di mana dua orang
sahabat beradu idealisme dalam bermimpi. Bukan tentang mencari jati diri,
tetapi mencoba saling memahami tentang mimpi masing-masing.
Keramaian kedai kopi yang menjadi kebanggaan anak
kampus menjadi hening tak bernada. Jejak pendapat yang mereka keluarkan
membunuh suara sorak para pengunjung saat itu. Bahkan salah satu dari mereka
mampu membuat perubahan pada kedai kopi itu. Hanya lewat mimpi. Hebat bukan?
“Aku punya mimpi. Aku ingin menjadi seorang
pemimpin bangsa ini. Kalau bisa, aku tidak hanya ingin menjadi seorang anggota
legislatif, tapi presiden. Dengan begitu aku mampu mengendalikan jalannya
pemerintahan di negeri ini,” Ardi menggebu-gebu mengungkapkan mimpinya pada
teman karibnya itu.
“Ya itu terserah kau saja. Aku tidak akan
menghalangimu untuk bermimpi.”
Kalimat sederhana yang muncul dari bibir kecil
Prima seraya membuat Ardi kembali mengerutkan dahi sambil sesekali mengangkat
alis tebalnya.
Semakin malam kedai kopi itu semakin ramai oleh
mahasiswa. Kebanyakan pengunjung adalah mahasiswa, sama seperti Prima dan Ardi.
Ada banyak tujuan mereka mengunjungi tempat yang buka khusus pada malam hari
itu. Ada yang ingin berpacaran, berkumpul dengan teman seperjuangan, bahkan ada
juga yang datang sendirian hanya untuk melepas penat dari dilema skripsi.
Dengan secangkir kopi, terlihat gelak canda tawa semua
manusia. Meski tidak banyak orang yang bisa menikmati manisnya kopi, namun
kemampuan kopi untuk menyatukan waktu memang luar biasa.
Tidak berbeda jauh dengan dua insan yang duduk di
kursi bawah pohon di dalam kedai, Prima dan Ardi, mereka sibuk beradu argumen
tentang mimpi.
Jarum jam menunjukkan pukul 23.00 menandakan waktu
sudah bergulir begitu cepat. Prima dan Ardi masih sibuk dengan dunia
masing-masing, menyiapkan berbagai argumen yang akan diadukan. Sementara itu
pengunjung kedai semakin diramaikan oleh berbagai komunitas sekitar kampus. Ada
komunitas fotografi yang para anggotanya berkalungkan kamera DSLR, komunitas
seni rupa yang para anggotanya berpakaian serba hitam, komunitas seni musik
yang sedang bersiap tampil di panggung.
Tidak hanya komunitas, kedai kopi itu juga dipakai
untuk ajang berkumpul dengan teman seperjuangan atau mengulas kenangan bersama
teman yang dulu pernah berjuang bersama. Seperti yang terlihat di sebelah kanan
panggung kecil di dalam kedai, ada sekelompok mahasiswa terlihat begitu gembira
bercanda gurau dengan teman-teman sekelilingnya. Memakai kaos yang bertuliskan PPL 2013,
menandakan bahwa para mahasiswa itu adalah partner
sewaktu mereka melakukan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Sedikit
bernostalgia memang menjadi alasan untuk mereka berkumpul setiap minggunya.
“Tidak adakah sekelompok anak manusia yang
membicarakan tentang mimpi?” Prima berkata sebelum meneguk secangkir coklat
panas di meja.
Ardi sedari tadi hanya memandangi Prima tanpa
berkata-kata. Melihat sahabatnya ini benar-benar tergila-gila dengan coklat,
apalagi coklat panas. Bagaimana tidak, hanya dengan meneguk minuman itu, Prima
langsung menuangkan ide tanpa berpikir panjang.
“Prima, sepertinya coklat sudah menjadi bagian
dari hidupmu. Bagaimana kau bisa mempunyai berbagai gagasan setelah kau meminum
minuman itu?” tanya Ardi terheran dengan kebiasaan sahabatnya itu.
“Aku? Hahaha...” Prima tertawa kecil saat
menyadari bahwa Ardi ternyata telah memperhatikan kebiasaannya itu.
Kedua sahabat karib ini memang sudah lama hidup
bersama. Rumah mereka yang berdampingan membuat mereka menjadi sepasang sahabat
yang tidak pernah terpisah. Kehadiran mereka, satu sama lain memberikan
semangat positif untuk mencapai mimpi mereka. Sampai mereka bisa melanjutkan
studi di satu kampus yang sama adalah buah dari keserasian mimpi yang telah
lama mereka bangun.
“Aku tidak
tahu. Yang pasti aku sangat menyukai coklat.” Jelas Prima yang sedari tadi
mengaduk-aduk cangkir coklat.
Kalimat padat dari Prima membuat Ardi tidak ingin
tahu banyak tentang alasan sahabatnya itu. Dari awal Ardi memang sudah tahu
tentang bagaimana sifat Prima. Terkadang Prima sangat cuek. Terkadang dia
sangat peduli. Tapi Ardi percaya, di balik kecuekan itu ada rasa peduli yang
jauh lebih dalam.
Jarum jam sudah menandakan waktu tengah malam.
Sudah biasa bahwa sepasang sahabat ini menghabiskan malam bersama di sebuah
kedai kopi. Tidak heran jika banyak orang yang menganggap mereka bukan sekadar
sahabat. Tentu saja anggapan itu ditepis oleh mereka berdua.
“Kau mengantuk?” tanya Ardi kepada sahabatnya.
“Tidak.”
“Tumben. Biasanya kau sudah pulas di jam-jam
begini.”
“Kau mau aku tinggal tidur?”
“Tidak.” Ardi tertawa melihat ekspresi yang
tersurat di wajah sahabatnya.
“Coklatku sebentar lagi habis.”
“Lalu?”
“Ayo pulang.”
Ardi mengernyitkan dahi seketika.
“Kau belum mengantuk kan? Kenapa pulang?”
“Kau tidak mau pulang?”
“Terserah kau saja.”
Kedua mahasiswa ini beranjak dari tempat duduk
menuju kasir. Malam ini adalah giliran Ardi untuk membayar pesanan mereka. Dari
awal, sepasang sahabat ini membuat perjanjian untuk selalu bertemu, apapun yang
terjadi. Ikatan yang mereka bangun sejak kecil tidak boleh putus begitu saja
ditelan waktu.
Ardi mengeluarkan dompet dari saku celananya. Dia
menghitung uang yang ada di dalam benda keramatnya itu. Tiba-tiba sebuah benda
tidak sengaja jatuh dari dalam dompetnya.
Mata Prima terbelalak kaget. Sebuah gambar diri
seseorang yang sangat dia kenal. Seorang wanita yang saat ini menjadi teman
seperjuangannya di kampus. Teman kuliah, teman mengerjakan tugas, bahkan teman
bolos kuliah.
Shinta, panggilan gadis itu.
Ardi memang mengenal Shinta dari Prima. Saat itu
Prima dan Shinta sedang mengerjakan tugas kelompok di sebuah kedai kopi yang
sekarang sudah tutup. Ketika itu pula Ardi berkunjung ke kedai itu. Akhirnya
Prima mengenalkan gadis cantik Shinta pada sahabatnya, Ardi.
“Apa yang kau lakukan dengan foto ini?” tanya
Prima dengan tatapan menggoda.
“Tidak apa-apa.” Ardi mencoba mengelak.
Prima mendekatkan bibirnya pada telinga Ardi.
Berbisik agar tidak diketahui banyak orang yang mengantre di meja kasir. “Jujur
saja kau! Apa kau menyukainya?”
“Tidak. Ini untuk temanku.” Suara Ardi terdengar
gugup.
“Kau yakin?”
“Sudahlah, ayo pulang!”
Buru-buru Ardi memasukkan kembali foto teman
sahabatnya ke dalam dompetnya. Ardi masih terlihat gugup dengan peristiwa tadi.
Dia menggandeng tangan Prima agar cepat-cepat keluar dari kedai.
“Ardi, kenapa kau terlihat begitu gugup?”
Ardi terdiam. Tanpa sepatah kata, dia menyalakan
motornya. Prima dengan gaya anggunnya menaiki motor gagah Ardi itu.
Jalanan begitu sepi. Hanya terlihat beberapa
warung yang masih ada pembeli. Warung seperti itu biasanya adalah kedai-kedai
kopi. Kadang mereka mengadakan nonton bareng (nobar) agar menarik perhatian
pengunjung.
“Baru kali ini aku sadar, bintang ternyata bisa
redup.” Tiba-tiba Prima membuka percakapan.
“Apa maksudmu?”
“Bintang terlihat indah saat bersinar. Apakah
keindahan itu akan bertahan walau mereka meredup?”
“Entahlah. Mungkin bintang terlihat indah karena
sinarnya. Jika dia tidak lagi bersinar, dia tidak akan menjadi indah.”
“Kau benar.”
Sepasang sahabat ini sudah terlalu sering beradu
kata-kata. Kata-kata indah keluar dari pikiran mereka. Beradu gagasan, saling
serang gagasan, warna-warni pendapat menjadi bumbu persahabatan mereka.
“Kau tahu, sampai saat ini aku masih bermimpi.”
Kata Prima kembali mencairkan suasana.
“Bermimpi apa?”
“Aku ingin kita seperti ini.”
Sejenak Ardi terdiam mencerna kalimat barusan.
Ardi dan Prima sudah lama membangun ikatan ini. tidak mungkin jika mereka
menginginkan sebuah perpisahan yang merenggut ikatan mereka.
Ketika sebuah rasa akan menghancurkan apa yang ada
selama ini. Saat itulah mungkin sepasang sahabat ini tidak lagi akan merasakan
malam yang sama. Mereka akan hidup di dunia yang berbeda. Jauh dari sekarang.
“Sekarang kita akan kemana?” lanjut Ardi berusaha
melenyapkan kesan tidak tahunya.
“Terserah kau saja.”
Kembali Prima dan Ardi terdiam di gemerlap cahaya
rumah di pinggir jalan. Tiang-tiang penyangga lampu jalanan ikut meramaikan malam.
Di alam pegunungan seperti itu, sudah pasti dingin menjadi hal biasa yang
dirasakan. Malam ini, dingin itu seketika hilang. Muncul kehangatan yang hanya
bisa dirasakan oleh sepasang sahabat ini.
Laju motor mengantarkan Prima dan Ardi menuju
sebuah gedung. Gedung yang biasa mereka lihat. Terletak di kampus, gedung itu
berdiri kokoh melambangkan fakultasnya. Dengan berbalut warna ungu, menjadi
ciri khas gedung itu. Gedung Dekanat Fakultas Bahasa dan Seni (FBS).
Laju motor berhenti tepat di pintu belakang gedung
Dekanat. Ada motor-motor lain yang memang sengaja diparkir di sana. Itu adalah
motor-motor dari para penjaga malam kampus.
Sengaja parkir motor di Dekanat, Ardi mengajak
Prima menuju gedung sebelah Dekanat. Gedung yang biasa dijadikan tempat kuliah
oleh mereka.
“Duduklah.” Kata Ardi sambil menunjuk ke salah
satu tempat duduk di bawah lorong yang menghubungkan antar gedung di kampus
itu.
Prima, seperti biasa, selalu menuruti apa kata
sahabatnya itu. Tanpa basa-basi, dia duduk di tempat yang barusan ditunjuk oleh
Ardi.
Dinginnya malam terhapus oleh kehangatan yang
mereka ciptakan berdua. Kehangatan yang tumbuh dalam ikatan persahabatan dua
anak manusia. Indah.
“Aku senang kita bisa seperti ini.” suara Ardi
terdengar pelan dan bergetar.
Prima hanya tersenyum. Timbul warna merah di
pipinya.
“Aku tidak ingin kehilangan engkau.”
Prima masih terdiam.
“Aku ingin selalu membaca puisimu tentang
persahabatan kita. Aku masih ingin memandangmu setiap hari. Aku masih ingin
berbicara tentang mimpi bersamamu. Aku tidak ingin kehilangan kenanganku
denganmu.”
Ardi semakin kehilangan suaranya. Semakin dia
melanjutkan perkataannya, semakin lirih suaranya. Bergetar, tidak seperti
biasanya.
“Kau kenapa?” tanya Prima mulai khawatir.
“Ah tidak.”
“Kenapa tiba-tiba kau berkata seperti itu seperti
esok kau tidak akan menemuiku lagi?”
“Bukankah aku selalu seperti itu?”
Kedua sahabat ini memang selalu mengumbar
kemesraan di semua tempat. Tidak lebih, mereka adalah sepasang sahabat yang
tidak luntur oleh noda waktu.
Ardi mencoba mengatur nafas dan mulai berbicara,
“Aku taku kehilangan kau.”
Ardi, seorang laki-laki dewasa, kuat dan tegar
seketika itu juga meneteskan air matanya.
“Kenapa kau menangis?” tanya Prima sambil
menghapus air mata Ardi.
“Prima, aku takut.”
“Takut kenapa, Ardi?”
Dinginnya malam kembali menusuk tulang. Kehangatan
yang baru saja tercipta kini memudar. Apakah dingin itu hanya firasat malam
ini? Ataukah di hari-hari berikutnya dingin itu tetap akan terasa?
Sahabat, satu kata yang membuat tegar penikmatnya.
Sahabat, manis dan indah seperti lolipop.
...................................................................................................................................................................
Lima tahun berlalu. Kehidupan seorang anak yang
menginjak kedewasaan mulai diuji. Aral seakan menjadi pemanis dalam usianya
yang menginjak 25 tahun. Seorang ibu rumah tangga yang hidup bergelimang harta,
lahir dan batin. Prima, seorang wanita sukses berhasil membangun rumah tangga
dengan suaminya, Adit, salah satu teman seperjuangan semasa kuliah.
Suami istri yang dikaruniai dua orang anak kembar
ini berhasil membuat iri pasangan lain. Bagaimana tidak? Mereka muda, kaya,
baik hati dan ramah. Sungguh, keluarga yang sempurna.
Hari Minggu menjadi hari yang paling ditunggu oleh
pasangan ini beserta kedua anaknya, Gani dan Gina. Minggu ini mereka sekeluarga
akan pergi ke sebuah tempat yang menyimpan banyak kenangan. Kenangan masa lalu
yang tidak akan pernah luntur kembali.
Perjalanan panjang mereka tempuh demi menyapa
salah seorang kenalan lama di kota tujuan. Seorang kenalan yang menjadi ‘tempat
sampah’ Prima dulu. Di dalam hubungan persahabatan Prima dan orang itu tumbuh.
Ardi, nama sahabat yang tidak akan pernah terlupakan.
Angin sepoi-sepoi mengalirkan udara sejuk di
daerah ini. Tanah kelahiran yang akan selalu membuat Prima meneteskan air mata.
Seperti lautan, batu nisan tersebar secara
beraturan. Sepertinya pemakaman ini terawat dengan baik.
Prima dan keluarga berjalan menelusuri jalan
setapak di antara batu nisan. Di sini terdapat jutaan kenangan. Kenangan dari
mereka yang masih bertugas di dunia, kenangan untuk mereka yang telah pergi
selamanya.
Tibalah mereka di sebuah makam yang memang dituju.
Hanya batu nisan yang menjadi penghubung mereka dengan nama yang tertulis di
nisan itu, Ardian Sinatra, begitu Prima kerap menyapanya Ardi.
Adit membiarkan Prima larut dalam kenangannya
bersama sahabat karibnya itu. Begitupun Gani dan Gina yang menebarkan bunga
tepat di atas rumput makam Ardi.
Prima tak sanggup lagi menahan air matanya.
Perlahan, bulir bening mengalir membasahi pipinya. Sambil menebarkan bunga,
Prima hanya menangis tak bicara. Kemudian dia meletakkan tangannya di batu
nisan Ardi. Hanya dengan cara ini dia bisa merasakan kehadiran Ardi, sama seperti
yang telah lalu.
Sahabat tercinta kini telah pergi. Sakit kanker
otak yang Ardi derita telah membuatnya menyerah. Kejamnya, Prima tak bisa
merasakan kebahagiaan saat mengenakan toga dengan sahabatnya itu. Janji mereka
untuk berfoto sambil mengenakan pakaian wisuda hilang sudah. Janji yang
sederhana. Tapi janji dan kenangan-kenangan itulah yang membuat Prima tak henti
meneteskan air mata.
Adit, tanpa berkata apapun, memeluk Prima,
berharap dia segera berhenti menangis. Tidak sia-sia, Prima mulai menghentikan
tangisnya demi suaminya dan kedua anaknya. Sudah saatnya dia melepas kepergian
Ardi. Dia yakin, Tuhan akan memberikan tempat terbaik untuk Ardi, surga. Kelak,
Prima percaya pula bahwa Tuhan akan mempertemukan mereka kembali di sana.
Kenangan-kenangan itu memang masih melekat, namun
itu hanyalah sebuah kenangan yang hanya bisa dilihat dari selaput mata. Tidak
tersentuh. Kehidupan yang sekarang akan melahirkan kenangan-kenangan baru yang
entah lebih menyenangkan ataukah menyedihkan. Tuhan selalu mengerti jalan mana
yang bisa ditempuh umatnya. Kehilangan.
Comments
Post a Comment