Ketika buku menjadi teman menghabisi senja.
Ketika segelas frappe coklat suguhkan kenikmatan luar biasa.
Ketika sepotong donat bisa menghangatkan salju di hati yang beku.
Ketika itu pula senyummu luluh di hadapanku.
'Dian yang Tak Kunjung Padam' buku karya STA. Alisjahbana ini menjadi temanku dalam memperkosa senja kali ini. Teringat masa putih abu-abu, kala buku, sastrawan dan angkatannya menjadi kudapan. Hampir tiap hari aku tenggelam oleh permainan kata para maestro sastra Indonesia.
Kata-kata yang memanja menjelma menjadi buai dan belai. Lembut menerawang rasuki rusuk. Menjadikan kepingan puzzle yang begitu pas mengisi kekosongan. Tidak sempurna memang. Tapi bukankah akan lebih indah bila ruang kosong itu kini ada yang mengisi?
Senja kali ini mendadak bisu. Ia hening, sunyi. Entah.
Aku tahu di dunia ini tidak ada diam yang benar-benar diam. Tidak ada hening yang benar-benar hening. Dalam diam dan hening ada suara bisik yang tetap terdengar. Mereka memaksa masuk melalui lubang telinga hingga membunuh otak untuk bicarakan tiada. Mereka, ada yang seringkali ditiadakan.
Di senja kali ini semua terdiam. Aku menikmati bukuku. Entah orang-orang di luar sana. Mereka lalu-lalang memecah kebisuan di tengah guratan jingga perlahan mengoyak dikejar malam.
Tiba-tiba hujan datang. Bagai kenangan, ia datang tiba-tiba, tanpa diundang. Tapi sungguhlah baik hatinya, ia datang saat ada yang merindukannya. Ya, ia selalu datang kapanpun ada kata rindu dan kenangan. Hujan tahu itu.
Senja dan hujan, dua hal yang tak ingin aku lihat bersamaan. Dan hari ini mereka datang beriringan. Jingga yang aku inginkan kali ini terbunuh oleh hujan. Dan senja, ia selalu menyisakan sisi magisnya. Ia tetap menjadi cerita untuk lembar berikutnya. Ia tetap layak untuk dicinta.
Untuk senja hari ini, terima kasih telah mengajarkanku bagaimana jatuh cinta. Jatuh cinta sangat menyenangkan. Meski kadang yang tersisa belum tentu bahagia. Melainkan luka.
Comments
Post a Comment