Masih sama seperti malam-malam biasanya, terbangun dan terjaga di jam ini adalah candu. Di sela tidur damaiku, aku harus berperang melawan semua sesak masa lalu. Tanpa aba-aba mereka datang begitu saja. Seketika damaiku musnah.
Aku ingin tenang, sungguh. Akan sulit sepertinya jika begini adanya. Terus hidup dalam luka yang tak kutahu kapan sembuhnya. Seketika air mata mengalir membasuh sesak di dada. Duka masih tertawa di atas segalanya. Bahkan senyuman ini nampak palsu di depan nestapa.
Ketika kau mencintai seseorang, kau akan menanggung risiko kebencian. Begitu kutipan salah satu tokoh anime kesukaan. Kurasa itu benar. Dalam mencintai sering kita dihadapkan dengan rasa benci. Membenci kita yang semakin menjauhi logika, membenci dunia yang selalu menyembunyikan tanda tanya tentangnya, hingga membenci orang tercinta. Percayakah?
Aku pernah mencintai seseorang. Ya, pernah. Sering dia bilang cintanya begitu tulus padaku. Saat itu. Begitu berwarna dunia, senjaku tak hanya indah di depan mata. Malamku tak berbintang, cukup dengan cahaya di matanya. Pelangiku tak lagi berwarna, cukup senyum simpul melengkung di bibirnya. Betapa indah dunia cinta. Aku dan dia bersama. Saat waktunya tiba, luka menjadi buah ranum yang siap dipetik setelah romansa.
Sial. Hampir setiap hari air mata tumpah sia-sia. Menangisi luka sama halnya dengan membunuh asa. Berdukalah jika memang perlu, asal ingat waktu, kataku pada kaca. Sungguh semesta bahagia melihat seorang anak manusia yang sedang tergila-gila dengan cinta tiba-tiba jatuh di tengah asmaranya dengan kecewa. Alam tertawa. Aku, tak usah ditanya.
Berapa lama luka itu bersemayam, sungguh ku tak bisa jabarkan. Berapa kali kusampaikan keinginan sembuh, sekali lagi ia datang. Kembali dengan senyuman, membuka nestapa yang sempat tenggelam. Ternyata ia masih ada. Menganga sempurna, menunggu diterkam di waktu berikutnya. Luka ini masih basah, biarlah kuhadapi dengan pasrah.
Comments
Post a Comment