Malam ini hujan datang dengan rindunya. Selimut bergambar lucu milikku menggoda ingin aku menjelajahinya. Suara hujan di depan jendela memintaku mendengarkannya. Seolah ada pesan kepada hati yang memendam segalanya.
Seperti pasangan pada umumnya, kukirim pesan untuk yang tercinta. Sedikit aroma agar romansa tetap berjalan tanpa adanya curiga. Balasan ala kadarnya kuterima. Lalu kubalas lagi dan hanya dibaca.
Suara lirih radio kuperdengarkan sedari senja. Laptop kubiarkan menyala mempertunjukkan serial drama lama. Kurebahkan raga di tengah hujan yang belum reda. Seketika semua luka kembali basah seenaknya. Belum sembuh memang, namun setidaknya ia perlahan memudar. Ternyata berbeda dengan yang kuduga. Duka itu benar adanya. Ia tertawa di atas derai air mata, merajai segalanya. Sesak yang sungguh tiada habisnya.
Aku bisa pergi darinya, tapi untuk mencintai seseorang yang baru, kurasa aku belum bisa. Mungkin itu sebabnya kami kembali bersama.
Aku senang melihatnya tertawa. Saat itu pula jauh di dalam sini ada hati menjerit iba. Rindu kepadanya kian meraksasa. Di tengah sana aku merasa lara kembali mengangkasa. Aku mencintainya, seseorang yang pernah memberi duka tak terhingga. Di antara ribuan kata, ia masih menjadi pusat semesta. Lantas apakah aku masih bisa bertahan dengan orang yang sama jika bahagia dan duka hanya berjarak tepat di depan mata?
Tuhan, sembuhkan aku dari lara yang menyiksa. Aku lelah menangisi malam tiada guna. Aku benci diriku yang mencinta terlalu dalam. Kenapa aku menjadi diriku yang sekarang? Seenaknya saja cinta merubah segalanya. Bisakah luka itu saja Kau lenyapkan? Sungguh, aku buta.
Comments
Post a Comment