Skip to main content

Posts

Kau Bahagiaku

Hai kamuku. Apa kabar? Sudahkah merindu? Kau tahu, beberapa hari terakhir ini aku memimpikanmu. Bukan hal biasa sejak kita memutuskan kembali menjadi kita. Merindumu memang candu, tapi memimpikanmu sungguh pilu. Kau selalu tahu cara kembali. Berbeda denganku, betapa aku malu karena tak paham bagaimana mencintai. Senyum ini mudah terurai di depanmu. Kau menutup segala pandangku. Di mataku hanya engkau yang benar-benar hidup. Jauh di sanubari cukup engkau lentera dalam temaram. Semesta mengirimmu tanpa pilihan. Kuterima datangmu dengan pelukan. Senyummu meneduhkan. Matamu menenangkan. Engkau, bahagiaku yang paling berharga.

Kita yang Sama

Menemukanmu bukanlah hal baru. Aku pernah melaluinya beberapa waktu lalu. Kau juga sama. Kita pernah meninggalkan, atau entah namanya. Setelah itu kita kembali menjadi kita. Memutar kenangan, melaluinya lagi bersama. Segala dosa seolah lenyap oleh tawa. Jauh di balik itu, tahukah engkau ada belati masih tertancap mesra memeluki hati. Lagi-lagi sesak nafas ini mengingatnya. Bukan inginku mengungkit masa lalu. Sungguh, jika bisa akan kuhapus segala luka. Bagaimana menghapus sedang engkau masih ada. Seolah tak rela jika melupakanmu harus dengan cara menyakiti diri sendiri. Lelah dengan air mata, melangkah saja tak bisa. Sering kau anggap aku berpikiran buruk padamu. Memang. Aku hanya belum siap terluka. Meski sudah kuberi kesempatan berdamai, tetap saja sama. Kupikir kau tahu betul kenapa. Kau pun paham benar bahwa kau selalu bisa membuatku bungkam. Sedari dulu. Memintamu pergi, menghapus segala tentangmu, membencimu, demi menjauhimu semua pernah kulakukan. Melepaskan, merelakan, melup...

Teruntuk yang Terindah

Rasa kepadamu tak tergoyahkan. Setelah melewati berbagai suasana senja, semua masih sama. Ribuan jingga tetap mengangkasa laksana cerita kita. Di samudera sana, ada namamu kuat menggoyahkan kapal para perompak. Di lapisan langit terluar terdapat senyummu magis merasuki nadi. Lalu, ada sepasang mata yang ingin kujaga. Tak akan kubiarkan sekecil apapun air mata keluar darinya. Biar bahagia terpatri di sinarnya. Di antara beribu jingga, kenangan bersamamu adalah yang terindah. Berhari-hari purnama melenggang, bundar bola matamu kurasa paling bersinar. Pelangi-pelangi ciptaan Tuhan tak sanggup duakan warna lengkung senyum bibirmu. Semesta tahu, di segalaku ada engkau yang tak pernah padam. Kau tahu, seberapa sakit nafas ini saat masa lalu datang? Sesak di dada saat segala nestapa itu melintas. Perih mata ini menahan air mata yang tak ingin ku hadirkan di depanmu. Ternyata semuanya masih sama. Perasaan ini, harapan ini, mimpi ini, duniaku masih berpusat padamu. Hanya saja, masih ada luka ...

Seutas Lalu

Sampai Jumpa

Mencintaimu tanpa aba-aba. Itu bukanlah keharusan. Namun nampaknya aku takluk. Perlahan-lahan aku mulai merindukanmu. Aku merindukan gaya bicaramu. Aku mengenang senyummu setiap malam sebelum tidur. Berharap esok kan bertemu. Rentetan kata ini berujung pada kenangan. Masa lalu kita terlalu indah kusinggahi kembali, pikirku. Setidaknya dengan tulisan ini aku akan mengabadikan kita yang sempat bahagia bersama. Meski berujung pisah, kurasa kita tak harus berpasrah. Mari memaknai kehilangan dengan yang baik-baik. Aku yakin semua itu butuh perjuangan dan kerja keras. Sudah saatnya kita belajar melangkah tanpa alasan yang sama. Bagaimana kau dan aku akan hidup? Seperti apa aku dan kau di masa depan? Apa yang kau lakukan sekarang? Pertanyaan-pertanyaan kecil menghinggapi kepala. Wajar saja, kita baru saja berpisah. Kebiasaan bersama di hari-hari lalu tak mudah hilang begitu saja. Kita butuh waktu. Bukan sekadar seperti dulu, mencintai, kita juga butuh waktu untuk saling melepaskan, ...

Hitam Putih

Kau begitu menggoda. Dengan secangkir kopi buatanmu kau mencandu. Tatapan matamu sendu. Dan aku tertipu. Senyummu merekah seperti senja. Meski mudah meninggalkan, ia selalu aku utamakan. Begitulah aku padamu. Tak lelah mendamba, walau peluru derita kerap mendera.

Senja dan Isinya

Senja kembali datang. Tak lama kemudian ia kembali pergi. Esok berulang lagi. Namun tak bosan aku menyambutnya. Selalu ada secangkir kopi di tengah jumpa dengannya. Sampai langit menjadi gelap, aku enggan beranjak. Sampai tinggal ampas yang terendap. Seperti rindu yang masih tak mau lepas. Warna langit di ujung sana masih memukau. Indah memanjakan mata. Tak heran banyak pujangga mengagungkan sang jingga. Pesonanya tiada dua. Satu warna melekat di dada. Dengan mengelilingi sebuah bola siap tenggelam itu mengingatkanku tentang sepasang bola mata yang tak ingin kulepas. Sinar matanya memburuku hingga petang. Sebelum esok jumpa, diamnya cukup kuartikan lewat pandangnya. Kuiringi senja kali ini dengan sepotong kue manis bikinan bunda. Tentu saja kopi tak pernah lupa. Aku memilih diam menikmati hidangan. Manis, pahit. Seperti mata uang, hidup punya dua sisi yang akan selalu berdampingan. Manis, ketika apa yang aku mau ada di depan mata. Pahit, begitu nyatanya adalah sebaliknya. Manis pula ...