Skip to main content

Posts

Jeda

Ada kata lelah di setiap langkah. Terkadang jengah menjadikan resah. Duduk di tepian sembari melihat mentari tenggelam dengan gagah. Serangkai prosa tercipta saat memikirkan ia yang menjadi rumah. Setia kopi menjadi alasan bagaimana engkau masih terasa ramah. Aku duduk dalam bayang pemikiran. Terpejam mata sesaat engkau berjalan. Bersandar sebentar melihat sebuah kepergian. Pelan-pelan. Hingga kau menghilang di tengah harapan. Seseorang menantikan engkau pulang di ujung penantian. Panjang memang, namun Semesta jauh lebih tahu bagaimana menyatukan dua hati yang masih berperasaan. Memori berdatangan mengoyak tumpah ruah. Bagaimana mungkin senja selalu menghadirkan kisah yang sebatas berujung pernah. Dalam diam, tulisan ini muncul di tengah perasaan yang kian bungah. Berpasrah dalam pisah. Pada suatu titik, aku percaya kisah kita akan abadi dalam rekah.

Senyawa Pertama perihal Kita

Menjelang dini hari pada Senin pertama aku menulis di 2020. Cerita baru telah dimulai. Lembar demi lembar kertas kosong siap tertulisi pena warna-warni. Merah, hitam, kuning, hijau, abu-abu, segala rupa terjadi masih bertudung. Pelan-pelan terbuka, senyuman manja berkaca, tampak sepasang bola mata ingin berbicara. Semesta, izinkan dia menegakkan kepala. Huruf demi huruf rapi tersusun. Tak lepas dari biasanya, kopi selalu menjadi senyawa yang mustahil dihapus. Masihkah ada kopi tahun ini? Kita lihat, tanpa kopi tak mungkin rasanya penulis berdiri. Kopi lah yang selama ini menemaninya dari pagi ke pagi. Jauh di dalam pekat kopi, ada satu sorot mata yang masih melekat di hati. Kopi, ada kah hal lain yang membuat penulis jatuh hati? Barangkali kita bisa menyebutnya Senja. Adalah senja-senja lalu dengan tokoh utama yang masih sama. Sebuah nama yang entah kapan mampu dibiarkan pergi dari tertutupnya pintu hati. Satu kesatuan utuh sebagai awal mula pikiran yang terus tersakiti. Luka itu c...

Mengagumimu

Aku mengagumimu. Setiap kali aku selalu menginginkan kesempatan mencuri pandangmu. Diam-diam aku mengamatimu. Melihatmu dari kejauhan. Memuja senyumanmu. Hatiku bergetar hebat meski kita berjarak. Kau tahu, barangkali benar yang rupawan banyak, namun yang mampu menggetarkan hati hanya satu. Adakah kesempatan berbincang denganmu? Kadang aku berpikir, melihatmu dari kejauhan saja hatiku bergetar hebat, bagaimana jika kita duduk semeja? Bagaimana kalau kita melihat senja berdua? Maukah kau menikmati senja sambil secangkir kopi menemani pergulatan batin ini? Jika itu terjadi, kopi akan terasa pahit. Sungguh. Kau kejam sekali merebut manis kopiku. Selama ini satu hal yang mengajarkanku arti diam adalah senja. Lalu kau datang mengajarkan bahwa senja telah salah. Untuk apa diam jika mengucap namamu di dalam doa menjadi keharusan? Secangkir kopi memang menenangkan. Kopi hangat diminum bersama buku sebagai bacaan demi pikiran yang tetap hidup. Sekarang aku paham betul, ternyata tanpa memb...

Surat Untukmu dari Masa Depan

Hai, kepadamu aku ingin selalu bercerita. Tentu kau ingat bagaimana mengajariku menjadi seseorang yang mampu mengungkapkan segalanya. Perasaan khususnya. Benar adanya bahwa kaulah yang mengubah semuanya. Kuakui kau mampu menenggelamkanku pada rasa percaya. Hal itu berbanding lurus dengan segala kecewa. Lucu sekali bila sampai hari ini aku masih jelas mengingatnya. Tertawalah. Aku tak akan menyangkal. Lagipula kau memang terlibat. Ingin kusudahi semua tentangmu. Ternyata tak semudah yang kuduga. Kaki yang terluka ini harus dipaksa melangkah. Mata yang sayu ini selalu siap membendung air mata. Bibir ini tak habis berdoa meminta luka di dada segera sirna. Sekali lagi, berbenah membutuhkan rasa kebal dari jengah. Biarlah semestaku menikmati senja-senja baru tanpamu. Meski tak melupa, setidaknya izinkan aku merelakanmu, serta yang sudah-sudah. Terkadang aku ingin menertawai semua ini. Betapa bahagia dapat musnah dalam sekejap mata. Berkuasalah duka dengan segala nestapanya. Ri...

Aku Tentangmu

Aku mencintaimu. Dalam. Sedalam samudera menciptakan palung demi hidupi ikan-ikan misterius. Aku mencintaimu. Angkuh. Seangkuh mentari sampaikan rindunya kepada bumi melalui rembulan. Aku mencintaimu. Murka. Semurka dendam, janjiku padamu akan kubayar tuntas. Aku mencintaimu. Sungguh. Sesungguh Rahwana kepada Shinta. Aku (masih) mencintaimu.

Rasa yang Kehilangan

Tengah malam. Di waktu-waktu seperti ini namamu selalu muncul. Cinta telah mengalahkan segalanya. Aku buta, memilih bertahan meski penderitaan di depan mata. Pikiranku melayang ke masa kita pertama kali berjumpa. Biasa saja. Mana mungkin hati sekeras batu ini mampu dilunakkan? Mustahil, katanya. Dengan ego sebesar ini, seolah hanya aku manusia yang hidup di dunia. Berawal dari sebatas pesan, kau memulai dengan bertanya hal tak begitu penting. Kubalas seadanya. Kau mengirimku pesan lagi. Jemariku tak henti memijat ponsel demi melayangkan jawaban singkat padamu. Begitu seterusnya. Percakapan kita berlangsung setiap malam. Sampai tiba hari kita sepakat bertemu. Aku ingat betul waktu itu kita menonton film. Film apa tepatnya, dan apa yang terjadi di sana biarlah kita yang merasa. Sejak saat itu kita menjadi lebih intens berkomunikasi. Pergi bersama membelah jalanan. Waktu tak menghalangi batas berjumpa. Tak peduli tengah malam, semesta tetap ada untuk kita. Sepasang anak manusia ya...

Tentang Hati yang Masih Enggan Pergi

Hai, apa kabar? Lama tak mendengar suaramu. Apakah senyummu masih sama meski bukan lagi tertuju padaku? Sudah adakah hati yang jatuh ke pelukanmu sembari aku masih menyiksa diri dengan luka tentang kepergianmu? Maaf, kau bukan pergi, melainkan aku yang melepasmu. Aku mengaku. Sendu. Garis tangan kita telah terhubung. Di antara kita ada jarak yang memaksaku tetap merindukanmu. Tepat di belakangku ada segudang kenangan yang siap kita jelajahi kembali. Lalu di hadapanku, jalan berkabut tetap menunggu lenteranya kuambil di arahmu. Tidakkah cukup melelahkan saat kau tahu hidup ini hanya berputar-putar dengan kau sebagai porosnya? Seperti bianglala, senang, takut, sedih, kecewa, harapan, air mata, semuanya berjalan teratur pada satu sumbu. Kamu. Malam demi malam kucoba mengalihkan pikiran. Secangkir kopi semakin menyiram luka dengan segala ketenangannya. Sedang pikiran bergelut mengibaratkan senja dengan penantian tentangmu. Meski lama tak menikmati senja, rona jingga yang menggantungi l...