Skip to main content

Posts

Hari di Februari

Malam berlalu dengan pekat. Di antara keputusan kau dan aku yang tak pernah sepakat. Jingga menyerah. Berbalik arah dengan sebuah hubungan yang perlahan berubah. Bagaimana mungkin kopiku bertahan dalam hangat. Sedangkan engkau masih enggan berpadu dalam dekat. Malam ini, hari terakhir Februari. Kenangan menari-nari menghidupi nadi. Segelas kopi belum habis. Jauh di dalam hati yang masih menangis. Bagaimana hidupmu kini? Baik-baik sajakah tanpa aku temani? Rindukah tentang kita yang berdua hampir setiap hari? Atau kau lupa bagaimana kita menenangi ego dalam diri? Tak apa. Lupakanlah. Jauh pada sujud malam buta, Kusematkan nama kita dalam doa kuberserah.

Rindu Lebam

Senja merona Menandakan petang datang Mengisyaratkan tunggu Mengabarkan rindu Untuk kesekian kalinya Kutulis kata tentang rindu Bukan sembarang rindu katanya Hanya setitik harapan kepada seseorang yang menginginkan satu Semakin malam Semakin tenggelam Mata enggan memejam Menatap nanar rintik sendu menghujam Kepada siapa rindu ini berlabuh Kepada hati yang entah di mana ia mengharap Teruntuk siapa rasa ini menderu Teruntuk pemilik mata sendu yang enggan mendekap

Sama dengan Sebelumnya

Aku ingin kita saling jatuh cinta. Seperti berada di dalam ruang kedap suara. Hanya ada kita berdua di dalamnya.Tanpa mendengar segala suara dari luar sana. Biar hanya kita yang punya dunia. Cukup aku dan engkau setia menyimpan rasa. Singkat cerita, aku bermimpi tentang kehadiran seseorang di malam penuh renjana. Sederhana, namun bukankah itu paling bermakna? Bagaimana jika semua hanya ilusi belaka? Tidak cukupkah sakit yang telah diderita? Menjelang cerita yang sama, aku tak sanggup mengulanginya. Jika sama berasa, bukankah lebih baik kita menanggungnya? Jadi bukan hanya aku atau engkau saja yang tersiksa. Bicara tentangmu tak kan ada habisnya. Masa perihal kita masih ada. Belum usai dengan sempurna. Di sela-sela agenda, kata demi kata terajut tanpa niatan asmara. Nostalgia. Senyum yang masih bernada, mata yang tetap bersinar apa adanya, gaya bicara riang seperti sedia kala. Adakah yang lebih mulia dari permata, selain melihatmu bahagia? Sembari menulis, tertinggal ampas ...

Jeda

Ada kata lelah di setiap langkah. Terkadang jengah menjadikan resah. Duduk di tepian sembari melihat mentari tenggelam dengan gagah. Serangkai prosa tercipta saat memikirkan ia yang menjadi rumah. Setia kopi menjadi alasan bagaimana engkau masih terasa ramah. Aku duduk dalam bayang pemikiran. Terpejam mata sesaat engkau berjalan. Bersandar sebentar melihat sebuah kepergian. Pelan-pelan. Hingga kau menghilang di tengah harapan. Seseorang menantikan engkau pulang di ujung penantian. Panjang memang, namun Semesta jauh lebih tahu bagaimana menyatukan dua hati yang masih berperasaan. Memori berdatangan mengoyak tumpah ruah. Bagaimana mungkin senja selalu menghadirkan kisah yang sebatas berujung pernah. Dalam diam, tulisan ini muncul di tengah perasaan yang kian bungah. Berpasrah dalam pisah. Pada suatu titik, aku percaya kisah kita akan abadi dalam rekah.

Senyawa Pertama perihal Kita

Menjelang dini hari pada Senin pertama aku menulis di 2020. Cerita baru telah dimulai. Lembar demi lembar kertas kosong siap tertulisi pena warna-warni. Merah, hitam, kuning, hijau, abu-abu, segala rupa terjadi masih bertudung. Pelan-pelan terbuka, senyuman manja berkaca, tampak sepasang bola mata ingin berbicara. Semesta, izinkan dia menegakkan kepala. Huruf demi huruf rapi tersusun. Tak lepas dari biasanya, kopi selalu menjadi senyawa yang mustahil dihapus. Masihkah ada kopi tahun ini? Kita lihat, tanpa kopi tak mungkin rasanya penulis berdiri. Kopi lah yang selama ini menemaninya dari pagi ke pagi. Jauh di dalam pekat kopi, ada satu sorot mata yang masih melekat di hati. Kopi, ada kah hal lain yang membuat penulis jatuh hati? Barangkali kita bisa menyebutnya Senja. Adalah senja-senja lalu dengan tokoh utama yang masih sama. Sebuah nama yang entah kapan mampu dibiarkan pergi dari tertutupnya pintu hati. Satu kesatuan utuh sebagai awal mula pikiran yang terus tersakiti. Luka itu c...

Mengagumimu

Aku mengagumimu. Setiap kali aku selalu menginginkan kesempatan mencuri pandangmu. Diam-diam aku mengamatimu. Melihatmu dari kejauhan. Memuja senyumanmu. Hatiku bergetar hebat meski kita berjarak. Kau tahu, barangkali benar yang rupawan banyak, namun yang mampu menggetarkan hati hanya satu. Adakah kesempatan berbincang denganmu? Kadang aku berpikir, melihatmu dari kejauhan saja hatiku bergetar hebat, bagaimana jika kita duduk semeja? Bagaimana kalau kita melihat senja berdua? Maukah kau menikmati senja sambil secangkir kopi menemani pergulatan batin ini? Jika itu terjadi, kopi akan terasa pahit. Sungguh. Kau kejam sekali merebut manis kopiku. Selama ini satu hal yang mengajarkanku arti diam adalah senja. Lalu kau datang mengajarkan bahwa senja telah salah. Untuk apa diam jika mengucap namamu di dalam doa menjadi keharusan? Secangkir kopi memang menenangkan. Kopi hangat diminum bersama buku sebagai bacaan demi pikiran yang tetap hidup. Sekarang aku paham betul, ternyata tanpa memb...

Surat Untukmu dari Masa Depan

Hai, kepadamu aku ingin selalu bercerita. Tentu kau ingat bagaimana mengajariku menjadi seseorang yang mampu mengungkapkan segalanya. Perasaan khususnya. Benar adanya bahwa kaulah yang mengubah semuanya. Kuakui kau mampu menenggelamkanku pada rasa percaya. Hal itu berbanding lurus dengan segala kecewa. Lucu sekali bila sampai hari ini aku masih jelas mengingatnya. Tertawalah. Aku tak akan menyangkal. Lagipula kau memang terlibat. Ingin kusudahi semua tentangmu. Ternyata tak semudah yang kuduga. Kaki yang terluka ini harus dipaksa melangkah. Mata yang sayu ini selalu siap membendung air mata. Bibir ini tak habis berdoa meminta luka di dada segera sirna. Sekali lagi, berbenah membutuhkan rasa kebal dari jengah. Biarlah semestaku menikmati senja-senja baru tanpamu. Meski tak melupa, setidaknya izinkan aku merelakanmu, serta yang sudah-sudah. Terkadang aku ingin menertawai semua ini. Betapa bahagia dapat musnah dalam sekejap mata. Berkuasalah duka dengan segala nestapanya. Ri...