Skip to main content

Posts

Menjelang Lebaran

Menjelang lebaran. Mohon maaf lahir batin.   

Bersua Melipur Lara

Sekian malam kita menghabiskan malam tanpa bersua. Kau dengan hidupmu. Begitu pula aku dengan duniaku. Kita terlalu lelah hanya untuk bercengkerama. Pekerjaan sehari-hari habis memeras peluh. Entah karena tidak ada waktu atau perasaan kita saja yang malas memulai. Hingga pada suatu titik, semua melebur menjadi kepingan kenangan utuh, berpendar bersamaan langit yang merona menjadi jingga. Di antara malam-malam itu sama sekali tidak ada pikiran atau keinginan untuk menghubungimu. Untuk apa, kataku. Aku berniat melupakanmu sejak saat itu. Malam di mana batin bergulat hebat dengan perasaan memaksa baik-baik saja. Nyatanya aku tidak sebaik itu. Amat melelahkan ketika memilikimu dengan segala luka yang belum selesai. Padahal, memilihmu bukanlah keharusan, bukan? Akhir-akhir ini hal itu meledakkan tawaku. Ternyata aku bisa sebegitunya dibuat olehmu. Bukan berarti aku menyesal. Sebaliknya, terima kasihku padamu tak akan habis mengalir. Aku paham betul apa yang membuatku menjadi seperti sek...

Ia yang Mampu Melakukan Semuanya dan Semaunya

Pertemuan dengannya telah berhasil memangkas hari-hari saya yang terasa kosong. Jika biasanya saya menghabiskan sore dengan menunggui mentari terlelap, sekarang saya puas dengan sesederhana duduk berdua dengannya tanpa melakukan apa-apa. Tidak perlu muluk-muluk. Seperti itu terasa lebih dari cukup. Tidak pernah terbayang hal ini sebelumnya. Barangkali karena saya tak punya minat ke arah sana. Untuk apa? Kenapa harus menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain? Saya merasa punya kemampuan independen untuk membahagiakan diri sendiri. Demikianlah saya hidup pada masanya. Idealis, angkuh, merasa tegar meski tak bertubuh kekar. Tanpa pertanda atau firasat berarti, ia mampu menghancurkan sistem pertahanan yang telah lama saya bangun. Hanya dengan satu senyuman, semuanya runtuh seketika. Satu tatapan mata sayu, lutut ini tak mampu menahan beratnya raga. Jari-jari tangannya mengait erat tangan saya. Di saat bersamaan saya berharap ia tidak mendengar detak jantung saya. Saya rasa, sebentar...

Ingin

Aku ingin berpuisi Menari-nari pada bayang siang hari Lalu terlelap dalam peluk pekat melati Menuju rumah penuh ilusi

Lekat

Ada saat di mana aku merasa lelah. Waktu-waktu aku berpikir keras tentang apa yang harus dilakukan. Seberapa cepat aku berjalan, tujuan tak juga terlihat. Seberapa hati-hati aku melangkah, cahaya tak datang secercah pun. Aku lelah. Aku hilang. Aku pasrah. Senja hampir setia menemani langkah pulang. Sepanjang perjalanan otakku selalu terisi hal-hal yang entah penting atau tidak. Berbagai isi pikiran muncul seketika, tanpa kuasa. Seperti ilalang di tepian, ia bergoyang pasrah diterpa angin. Begitulah aku yang hanya bisa menerima alur dunia tanpa mampu berontak. Apakah ingin berubah? Tentu! Bisakah? Setiap malam dalam mimpiku tak pernah berhenti sedikit pun mata memandangmu. Banyak orang mengakui melihat arti lain melalui caraku menatapmu. Benar. Aku mengakuinya. Begitu teguh rasaku padamu. Sejak saat itu aku rela jatuh ke dalammu. Dalam dekapmu yang amat rengkuh. Dalam harimu yang sungguh semu. Dalam cerita khayal seorang pembual.

Menetap?

Manusia. Beberapa datang dan pergi tanpa diminta. Beberapa lainnya meminta izin atas tinggalnya. Namun hukum alam mengatakan bahwa setiap datang akan menemukan pergi. Mereka yang pergi pun dapat terganti oleh yang datang. Lalu, kapan menetap? Apakah tetap adalah sementara? Jika demikian, apa arti sesungguhnya atas kata "tetap"?  Barangkali menetap tidaklah mudah. Upaya dan waktu harus berjalan seirama. Bagaimana caranya? Bukankah satu yang abadi di dunia ini adalah ketidakabadian? Bukankah hal paling pasti adalah ketidakpastian? Kenapa semua serba paradoks? Terlalu rumit bagi mata telanjang yang hanya ingin dimanjakan.  Di antara sajak-sajak kebingungan ada kalanya seseorang menerka seluruh kepala. Bagaimana memahami mata berbicara. Cara mengerti sesimpul senyum. Gerik jemari mengetuk meja. Hingga laku langkah serta anggukan kepala. Sebagai pengamat dan penikmat, hal-hal tersebut cukup mengasyikan. Selanjutnya, bagaimana? Siapkah menetap? 

Kita

Di dalam rumitnya hidup, aku menyimpan beberapa masa lalu yang belum usai. Pendar kisah lama muncul tiba-tiba menghasilkan rentetan nama yang familiar, tapi cukup asing di masa sekarang. Tidak bosan aku membicarakannya. Barangkali jika ada yang bertanya tentang kisah paling menyedihkan, aku tetap menceritakannya. Kisah lama yang tak habis dimakan masa. Sebuah cerita akan nama seseorang. Nama yang selalu mengaliri nadi. Menggenjotkan sejuta perasaan beraneka ragam. Sial. Hanya dengan membayangkannya saja tanganku bergetar. Nafasku sesak. Nyeri menjejal. Bendungan air mata sepertinya tak sanggup bertahan lagi. Taka pa. Kubiarkan air mata berjatuhan. Beningnya bagai pernak-pernik mengkilat memanjakan mata. Bertahun-tahun aku memendam. Sekian lama gejolak tertahan. Diam membuat semakin tak tenang. Sungguh menyebalkan setiap melihat ia bersama pasangan. Meski hubungan mereka berusia sebentar, tetap saja aku merasa muram. Gumpalan awan kelabu berselimut sayu. Sungguh kasihan. Aku iba ...