Tidak bosan aku membicarakannya. Barangkali jika ada yang bertanya tentang kisah paling menyedihkan, aku tetap menceritakannya. Kisah lama yang tak habis dimakan masa. Sebuah cerita akan nama seseorang. Nama yang selalu mengaliri nadi. Menggenjotkan sejuta perasaan beraneka ragam.
Sial. Hanya dengan membayangkannya saja tanganku bergetar. Nafasku sesak. Nyeri menjejal. Bendungan air mata sepertinya tak sanggup bertahan lagi. Taka pa. Kubiarkan air mata berjatuhan. Beningnya bagai pernak-pernik mengkilat memanjakan mata.
Bertahun-tahun aku memendam. Sekian lama gejolak tertahan. Diam membuat semakin tak tenang. Sungguh menyebalkan setiap melihat ia bersama pasangan. Meski hubungan mereka berusia sebentar, tetap saja aku merasa muram. Gumpalan awan kelabu berselimut sayu.
Sungguh kasihan. Aku iba kepada diriku sendiri yang terlampau sakit menahan perasaan. Seringkali afirmasi kulafalkan demi beraninya aku mengutarakan. Namun bibir ini sulit sekali bekerja sama. Bodohnya, kurelakan mata ini hanya memandanginya dari titik kejauhan. Tanpa berani mendekat.
Terkadang, dulu, setiap melihat punggungnya, aku ingin menggapainya. Menyentuh bahunya seraya menyapanya. Melihat senyumnya. Matanya yang seirama lengkung bibirnya. Lalu, suaranya riang menghunuskan panah asmara tepat di jantungku. Khayalan yang sempurna, bukan?
Sesal ini masih berlanjut. Tanpa tahu akhir, aku hanya pasrah merasakan resah. Jemari tanganku masih aktif mencari kabarnya. Sedikit banyak aku mengetahuinya. Angin segar berhembus mesra. Sayang, sekali lagi, aku diam terbata.
Barangkali benar doa adalah bahasa paling sederhana, aku berharap ia bahagia. Semoga tercipta jalan untuk kembali. Tak peduli apa, sekian lama aku memendam cinta, aku selalu ingin kita bersama. Tak pernah ada tepi untuk ini.
Kau baik-baik saja, kan?
Cr: Pinterest |
Comments
Post a Comment