Menemukanmu adalah bukti semesta maha baik. Masa lalu memang mengajarkanku banyak hal. Dan, di masa kini maupun yang akan datang aku tak ingin mengulanginya. Cukup terjadi dengan diikuti kata “pernah”.
Mataku selalu berhenti kepadamu. Setiap kali melihat sorot pandangmu, dalam hati bergetar hebat. Tak perlu berpura-pura, lambung perutku terasa panas saat menulis ini. Betapa luar biasa engkau. Padahal kita berdua tahu, hal ini terjadi tahun-tahun sebelum ini. Tepat tiga belas tahun berlalu.
Entah kenapa aku suka sekali mengingat masa-masa itu. Ketika aku melihatmu dari kejauhan. Saat kau berbincang dengan teman-temanmu yang notabene aku kenal juga. Ditambah sungguh beruntung aku mengetahui kau juga melihatku. Bukan sekilas, tapi sejak saat itu mata kita saling bertatap dalam diam. Reflek senyum berbuah manis di bibirku. Pun bibirmu.
Di saat yang sama, kita berdua beradu di atas kekuatan masing-masing. Kau dengan prinsipmu, aku dengan idealismeku. Ruang-ruang dan koridor menjadi saksi bisu betapa bungkam kedua pasang bibir kita. Satu sama lain enggan bicara. Tak ada satu pun yang berniat memulai.
Pernah suatu kali aku duduk di taman sambil membaca buku. Firasatku berkata seseorang sedang mengamatiku. Berharap itu kau, mataku mencari-cari. Kutemukan di ujung jendela, matamu bertemu dengan gemetar jantungku. Mataku tak mau kalah menemui kencang detak nadimu. Dunia membeku.
Titik mula bak drama. Aku menunggu kedatanganmu. Aku terlalu lemah demi menghampirimu. Seketika kupalingkan wajahku. Merah merona seperti tomat matang siap petik. Memalukan sekaligus menyenangkan.
Sedikit lirikan kusematkan lagi kepadamu. Kau masih melihatku. Kemarilah. Pikirku.
Waktu habis. Aku harus kembali. Ada banyak hal yang harus dilakukan. Hari itu menjadi salah satu bagian terbaik seumur hidup. Aku berharap kau pun demikian.
Selama perjalanan kembali, pikiranku terus beradu tentangmu. Seseorang yang mampu menghampiri malam-malamku, dan hadir di mimpiku. Kadang kau menjelma sebagai seekor kupu-kupu warna-warni cantik jelita. Tidak jarang kau menjadi secangkir kopi hangat siap kucumbu di tepi pantai. Tepat waktu itu aku menemukan alasan menyukai kopi.
Entah berapa lama kita saling menanggung ragu. Hari silih berganti, bulan beralih, kita tetap tak beranjak. Sedikit pun kita tak melangkah. Diam di tempat. Membatu. Sulit sekali rasanya berkompromi. Tubuh mematung setiap mendapatimu berjalan, entah ke arahku atau bukan. Jantung seakan akan meledak tiap melihat sorot matamu, tak peduli tertuju padaku atau bukan. Semua tentangku ada padamu.
Jauh lebih dari hari dan bulan, tahun demi tahun terlewati. Kini 2021 menjadi angka akrab tertulis di setiap agenda. Tiga belas tahun berlalu begitu saja. Sama sekali tak ada yang terjadi antara kita. Bahkan perkenalan singkat pun hening didapat. Semua hanya angan belaka. Tak tersisa. Nelangsa.
Sejauh kaki melangkah, rasa ini tersimpan rapi bersama pahit kopi. Tahukah engkau, terdapat satu ruang yang di sana terpahat namamu seorang. Nama yang sejak awal menjadi penghias dindingnya. Lukisan wajah yang tak pernah terhapus oleh lupa. Kenangan-kenangan manis yang sengaja kuabadikan menjadi relief seagung gambaran Borobudur. Percayalah, ruang itu sengaja kucipta untukmu. Demi sebuah kisah yang hanya berpasrah dalam lelah.
Comments
Post a Comment