Sebuah perjalanan akan terasa menakjubkan jika dibumbui perjuangan keras di dalamnya. Lama atau singkat waktu hanya ukuran angka. Hubungan yang lama tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas pertemuannya. Walaupun sebagian besar benar adanya.
Aku mengenalnya dalam rentang waktu relatif singkat. Berawal dari tatap, segala isi dunia berubah tak lagi sederhana. Racikan tiga sendok kopi dan satu sendok gula pasir membutuhkan berbagai ramuan ekstra. Lamunan, rindu, bayangnya, serta konspirasi semesta lainnya. Empat sehat lima sempurna ditambah dirinya menjadi istimewa.
Hari-hari berjalan indah. Sungguh indah. Terlalu indah sampai aku tak menyadari bahwa intensitas aku tertawa bertambah tinggi. Sepeda motorku dan jalanan menjadi saksi bisu betapa senyumku tak berhenti merekah. Keindahan itu tampak nyata. Senyata mentari menyiangi bumi. Sejelas bulan setia mengitari bumi. Sepasrah bumi ditempa sinar mentari dan digantikan rembulan. Pun denganku, aku berserah kepada hati yang menanti pengisi.
Keberuntungan kugenggam. Tanpa peluh kudapatkan kenyataan cinta tak bertepuk sebelah tangan. Hari bahagia datang. Kita saling mengungkap sayang. Angkasa berdendang lagu kemenangan. Dua hati dalam diri anak manusia telah saling menemukan.
Dunia ikut berbahagia. Melihat kita utuh berdua. Segala rupa canda tawa menghias mengudara. Sempat beberapa kali perdebatan kecil amat kentara. Namun kita percaya bahwa cinta akan berlabuh ke muara. Emosi-emosi menjadi kekuatan magis menuju surga. Adalah ikatan kita menjadikan segala sesuatu tampak sempurna.
Lama waktu berjalan, beberapa sekat dunia memilih hubungan berkesudahan. Ada bagian di mana kita harus mendapatkan izin dalam menjalin satu ikatan. Keluarga, saudara, teman. Beberapa dari mereka kupikir diperlukan. Dengan demikian, satu pertanyaan muncul ke permukaan. Siapkah kita melawan?
Sebagai bentuk komitmen, kita menjanjikan ketulusan. Sebagian lagi adalah bentuk pertanggungjawaban. Tepat saat itulah dunia tak lagi terasa aman. Tampak kata-kata manis dibarengi bualan. Satu sisi berupa sanjungan, sisi lain mengungkap penyesalan. Tak kusangka, awal manis dapat berubah pahit jika hitam putih dunia masih menjadi alasan.
Satu langkah awal kita mengambil waktu sendiri. Memikirkan bagaimana baiknya melalui itu dan ini. Keputusan apa yang tepat dijalani, tanpa melukai. Walaupun aku memilih enggan menyudahi, menyatukan dua hati bukan melulu bicara tentang dua hati itu sendiri, kan? Ada hal-hal lain ikut menjadi isi. Isi yang tak dapat diurai. Isi yang dibawa hingga mati.
Kita berdua hebat, mampu berjalan sejauh ini. Berbagai cerita dan warna turut menggenapi. Ada saat di mana kita bermimpi. Ada pula waktu kita saling menangisi persepsi. Tibalah orang ketiga mengatur dunia yang telah kita kemasi. Ia meminta kita pergi. Ia memaksa kita berjalan berlawan arah dan saling memunggungi. Ia terus menekan kita agar tak lagi saling berbalik dan menepi. Cerita kita segera disudahi.
Racikan tiga sendok kopi dan satu sendok gula pasir itu tak ada lagi. Tersisa tiga sendok kopi tanpa gula bertabur rapi. Empat sehat lima sempurna berubah meja kosong tak bernyawa. Sepeda motor dan jalanan yang sempat menjadi saksi bisu betapa senyumku tak berhenti merekah menjadi ruang sunyi penuh gundah. Keinginan tidak saling melukai ternyata menggoreskan duka dalam yang terlalu sesak untuk ditangisi. Barangkali pergi adalah pilihan terbaik bagi kita yang berbeda gerak tangan ketika sebuah doa teramini.
Comments
Post a Comment