Jika cinta itu suci, kenapa air
mata menetes karenanya?
Jika cinta itu tak menuntut
apapun, kenapa ada orang yang menginginkan pengorbanan dengan mengatasnamakan
cinta?
Jika cinta itu abadi, mengapa
sepasang kekasih tak mampu mempertahankannya?
Apakah cinta sesempurna itu?
Ini bukan cerita tentang dua
orang yang saling mencintai atau cinta segitiga antar remaja yang rumit. Ini
hanyalah bualan belaka tentang cinta dari seorang anak yang merindukan
kemesraannya.
Hidup yang gelap membuatnya
menangis sendirian. Rasa takut menceritakan isi hati pada orang lain membuatnya
jatuh ke dalam jurang yang gelap dan dalam, mungkin itu yang kadang ia sebut
kesendirian.
Pagi hari ia terbangun dari tidur
dan melihat langit-langit kamar yang berdebu. Siang hari ia tak mampu menatap
kekuatan surya. Senja menjelang, ia hanya duduk terdiam di antara bebatuan dan
ilalang yang hanya bergoyang diterpa angin. Di malamnya ia hanya menghabiskan
waktu dalam lamunan abadinya. Kasihan sekali dia.
Ia jatuh ke dalam jurang yang ia
gali sendiri. Atau entah ada apa di masa lalunya yang membuatnya seperti itu.
Terkadang sendiri memang diperlukan untuk menenangkan perasaan. Dan ia terjatuh
dalam perkataannya sendiri. Ia tenggelam dalam kesendirian yang ia ciptakan.
Siapa yang mampu bertahan dalam
situasi semacam itu? Hanya dia yang mampu. Ia menyalakan sendiri lentera untuk
menerangi gelap hari-harinya. Meski redup, cahaya itulah satu-satunya penerang
hidupnya. Meski akan mati tertiup nafas, lilin itu setia menemaninya.
Seolah hidup di dalam istana
megah, ia membangun kesendirian yang hanya ia sadari. Tak ada satu orangpun
tahu kesendirian yang dialami anak itu. Ia takut. Ia takut dengan dunia luar.
Ia tidak berani memandang sekelilingnya. Hanya memandangpun tak mampu, apalagi
menyapa.
Sebenarnya teman-temannya sudah
menunggu ceritanya. Sayang sekali, anak itu tak tahu harus memulai dari mana.
Ia tak punya kepandaian untuk berkata-kata. Bahkan untuk sekadar basa-basi, itu
terlalu basi.
Sebuah potret tentang drama
kesendirian. Kesendirian bukanlah tentang kenyataan, tapi tentang perasaan.
Anak kecil itu, ia yang seharusnya sekarang menikmati cerita-cerita indah dunia
luar, sayang sekali harus terbelenggu dalam gelap yang ia ciptakan sendiri.
Gelap yang tercipta dari diamnya.
Satu hal yang ia yakini,
terkadang butuh gelap untuk melihat terang cahaya. Gelap dan cahaya itu ia
ciptakan sendiri. Gelap dan cahaya yang menjadi kehidupannya. Di dalam
kesendirian, gelap dan cahaya itu menjadi jalan untuk menembusnya. Bukankah itu
terasa menyedihkan? Ya, terkadang sendiri memang menyedihkan.
Comments
Post a Comment