Skip to main content

Posts

Tulus yang Kian Hangus

Jatuh cinta kepada orang yang sama bukanlah hal mudah. Apa lagi jika ada duka di masa lalu. Pantaskah rasa itu dipertahankan? Apakah cinta layak disemayamkan kepada yang pernah melukai? Atau mungkin hati telah membatu? Seolah berjuang menapaki masa depan yang semu. Padahal di belakang ia menyimpan pilu. Rasa yang sama, orang yang sama, kisah yang sama, luka yang sama. Ya, cinta telah membeku di dinding hati. Telah terbingkai senyumnya dengan indah menempel melekat. Bintang tak mampu bercahaya terkalahkan sinar bola matanya. Setiap jengkal langkahku selalu teringat tentangnya. Sebegitu dekat aku dengan kenangan, hingga aku kembali jatuh pada pelukan yang sama. Belati ini masih menancap karenanya. Entah pelukan ini akan membuat belati itu lepas atau menusukkan semakin lara. Pernahkah kau merasa tidak merasakan apa-apa? Hatimu benar-benar kosong. Tak ada seorangpun di dalamnya. Kau hidup hanya untuk dirimu sendiri. Pernahkah? Aku pernah. Selepas kepergiannya, mencintai terasa sulit. Seg...

Senja Berdua

Pagi mengalahkan egoku untuk tetap menikmati mimpi. Setidaknya di mimpi itu aku bisa bertemu denganmu. Di dunia yang aku adalah rajanya, kujadikan kau segalanya. Sebab dari segala karena. Bukan apa-apa, aku hanya jatuh cinta. Banyak orang menerka siapa orang beruntung yang mampu menjadi pertama di segala suasana. Apalagi tentangku, seorang anak dengan luar biasa keras kepalanya. Mampukah seseorang meluluhkan angkaranya? Adakah orang yang sanggup bertahan saat dirinya di ambang bahaya? Dan sungguh, keajaiban ternyata memang ada. Senja kala itu bergulir betapa manisnya. Kami duduk berdua pada rerumputan kota. Senyumnya masih tertata rapi di kepala. Berbagai cerita dan asa seraya merayakan betapa bahagianya kami berdua. Tak jarang muncul titik-titik kebisuan tanda aku tak tahu harus mulai dari mana. Hebatnya, ia mampu cairkan suasana. Entah berapa lama aku tak merasakan senja seindah dengannya. Kurasa laju ini akan menepi padanya. Senja tiada, malam tiba. Masih dengan senyumannya, memb...

Tuhan, Aku Ingin Sembuh

Malam ini hujan datang dengan rindunya. Selimut bergambar lucu milikku menggoda ingin aku menjelajahinya. Suara hujan di depan jendela memintaku mendengarkannya. Seolah ada pesan kepada hati yang memendam segalanya. Seperti pasangan pada umumnya, kukirim pesan untuk yang tercinta. Sedikit aroma agar romansa tetap berjalan tanpa adanya curiga. Balasan ala kadarnya kuterima. Lalu kubalas lagi dan hanya dibaca. Suara lirih radio kuperdengarkan sedari senja. Laptop kubiarkan menyala mempertunjukkan serial drama lama. Kurebahkan raga di tengah hujan yang belum reda. Seketika semua luka kembali basah seenaknya. Belum sembuh memang, namun setidaknya ia perlahan memudar. Ternyata berbeda dengan yang kuduga. Duka itu benar adanya. Ia tertawa di atas derai air mata, merajai segalanya. Sesak yang sungguh tiada habisnya. Aku bisa pergi darinya, tapi untuk mencintai seseorang yang baru, kurasa aku belum bisa. Mungkin itu sebabnya kami kembali bersama. Aku senang melihatnya tertawa. Saat itu pul...

Merayakan Luka

Masih sama seperti malam-malam biasanya, terbangun dan terjaga di jam ini adalah candu. Di sela tidur damaiku, aku harus berperang melawan semua sesak masa lalu. Tanpa aba-aba mereka datang begitu saja. Seketika damaiku musnah. Aku ingin tenang, sungguh. Akan sulit sepertinya jika begini adanya. Terus hidup dalam luka yang tak kutahu kapan sembuhnya. Seketika air mata mengalir membasuh sesak di dada. Duka masih tertawa di atas segalanya. Bahkan senyuman ini nampak palsu di depan nestapa. Ketika kau mencintai seseorang, kau akan menanggung risiko kebencian. Begitu kutipan salah satu tokoh anime kesukaan. Kurasa itu benar. Dalam mencintai sering kita dihadapkan dengan rasa benci. Membenci kita yang semakin menjauhi logika, membenci dunia yang selalu menyembunyikan tanda tanya tentangnya, hingga membenci orang tercinta. Percayakah? Aku pernah mencintai seseorang. Ya, pernah. Sering dia bilang cintanya begitu tulus padaku. Saat itu. Begitu berwarna dunia, senjaku tak hanya indah di depa...

Pada Akhirnya Kau Kembali

Pagi hari. Mungkin aku bukan orang pertama yang ucapkan selamat tahun baru untukmu. Perlukah itu? Menyambut awal baru, aku ingin mendampingimu. Berdua denganmu tanpa ada masa lalu. Dengan hati yang benarbenar baru. Sebab menerimamu bukan berarti siap menerima romansa ceritamu. Jauh di dalam raga ini masih ada luka yang belum terobati. Kau pasti tahu betul bagaimana terciptanya. Bagaimana bisa duka itu begitu lara. Ia singgah dan menetap entah berapa lama. Lama tak bersua, kau hadir membuka kisah lama. Aku ingin biasa saja. Ternyata aku tidak bisa. Aku belum bisa biasa saja di depanmu. Selalu ada celah kau masuk ke dalam hatiku. Tak peduli berapa lama kau pergi. Kau selalu tahu cara kembali. Kita. Kembali menjadi kita adalah pilihan yang begitu berat. Aku tertawa bersamamu sambil mengenang perihnya nestapa. Aku berharap selamanya kau bersamaku sambil sesak dada mengingat tangis yang mengiris. Ada duka di balik tawa. Luka bersembunyi di belakang canda. Setiap kata demi kata bahagia, ...

Kau Bahagiaku

Hai kamuku. Apa kabar? Sudahkah merindu? Kau tahu, beberapa hari terakhir ini aku memimpikanmu. Bukan hal biasa sejak kita memutuskan kembali menjadi kita. Merindumu memang candu, tapi memimpikanmu sungguh pilu. Kau selalu tahu cara kembali. Berbeda denganku, betapa aku malu karena tak paham bagaimana mencintai. Senyum ini mudah terurai di depanmu. Kau menutup segala pandangku. Di mataku hanya engkau yang benar-benar hidup. Jauh di sanubari cukup engkau lentera dalam temaram. Semesta mengirimmu tanpa pilihan. Kuterima datangmu dengan pelukan. Senyummu meneduhkan. Matamu menenangkan. Engkau, bahagiaku yang paling berharga.

Kita yang Sama

Menemukanmu bukanlah hal baru. Aku pernah melaluinya beberapa waktu lalu. Kau juga sama. Kita pernah meninggalkan, atau entah namanya. Setelah itu kita kembali menjadi kita. Memutar kenangan, melaluinya lagi bersama. Segala dosa seolah lenyap oleh tawa. Jauh di balik itu, tahukah engkau ada belati masih tertancap mesra memeluki hati. Lagi-lagi sesak nafas ini mengingatnya. Bukan inginku mengungkit masa lalu. Sungguh, jika bisa akan kuhapus segala luka. Bagaimana menghapus sedang engkau masih ada. Seolah tak rela jika melupakanmu harus dengan cara menyakiti diri sendiri. Lelah dengan air mata, melangkah saja tak bisa. Sering kau anggap aku berpikiran buruk padamu. Memang. Aku hanya belum siap terluka. Meski sudah kuberi kesempatan berdamai, tetap saja sama. Kupikir kau tahu betul kenapa. Kau pun paham benar bahwa kau selalu bisa membuatku bungkam. Sedari dulu. Memintamu pergi, menghapus segala tentangmu, membencimu, demi menjauhimu semua pernah kulakukan. Melepaskan, merelakan, melup...